SURAU.CO. Di zaman ketika notifikasi media sosial berdenting nyaring hampir setiap menit, kita sering merasa terdorong untuk selalu menanggapi apa saja yang sedang viral. Mulai dari berita politik, gosip selebriti, hingga isu-isu keagamaan semua terasa mengundang jempol kita untuk mengetik komentar. Padahal, tidak semua yang viral layak mendapatkan respons. Bahkan, sering kali diam justru lebih mulia daripada terburu-buru berbicara.
Ada pepatah bijak yang mengatakan, “Manusia hanya butuh dua tahun untuk belajar bicara, tapi butuh seumur hidup untuk belajar diam.”
Fenomena ini semakin terlihat jelas di era digital. Ketika sebuah kabar viral menyebar, banyak orang langsung ikut berkomentar tanpa menyaring kebenaran informasinya. Sayangnya, komentar yang terburu-buru itu justru bisa memperkeruh suasana, memicu perdebatan yang tidak sehat, bahkan menimbulkan fitnah. Lalu, bagaimana Islam memandang sikap terlalu mudah bicara ini?
Lisan, Anugerah yang Bisa Menjadi Ujian
Dalam ajaran Islam, lisan bukan sekadar anggota tubuh yang berfungsi untuk berbicara, tetapi ia merupakan amanah besar yang menentukan keselamatan akhirat seorang Muslim. Dengan lisan, manusia bisa mengucapkan kalimat tauhid yang membuka jalan menuju surga, namun dengan lisan pula seseorang bisa terjerumus ke dalam murka Allah.
Rasulullah ﷺ mengingatkan hal ini dalan sabdanya, “Barangsiapa yang mampu menjaga apa yang berada di antara dua janggutnya (lisannya) dan apa yang berada di antara dua kakinya (kemaluannya), maka aku akan menjamin baginya surga.” (HR. Bukhari).
Hadis ini menegaskan bahwa pengendalian lisan menjadi kunci utama dalam meraih keselamatan. Bahkan ulama besar seperti Al-Fudhail bin ‘Iyadh menasihati bahwa banyak berbicara bisa mengeraskan hati, sebagaimana berlebihan dalam makan melemahkan ruhani. Dengan kata lain, ucapan yang tidak terarah bukan hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga menggerogoti kesehatan spiritual.
Lisan memiliki daya yang luar biasa, ia bisa menumbuhkan cinta, mendamaikan hati, dan menyebarkan ilmu. Tetapi juga bisa menyalakan api kebencian, merusak persaudaraan, bahkan menghancurkan reputasi seseorang. Karena itu, seorang Muslim dituntut untuk menimbang setiap kata sebelum keluar dari mulutnya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menjaga lisan berarti menjaga martabat, menjaga hubungan dengan sesama, dan menjaga kebeningan hati. Setiap kata yang terucap sejatinya adalah cermin dari isi hati dan tingkat ketakwaan seseorang. Maka, orang beriman akan menjadikan lisannya sebagai sarana untuk mendekat kepada Allah, bukan sebagai alat untuk menjerumuskan diri dalam dosa.
Tidak Semua Orang Layak Berkomentar
Fenomena yang kerap muncul di era media sosial adalah dorongan setiap orang untuk merasa berhak berbicara tentang apa saja, meskipun ia tidak memiliki kompetensi di bidang tersebut. Padahal, Islam sejak awal telah menekankan pentingnya berbicara dengan ilmu dan otoritas. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani mengingatkan: “Barangsiapa berbicara tentang sesuatu yang bukan bidangnya, maka ia akan memunculkan banyak keanehan.” (Fathul Bari, 3:584). Pesan ini menegaskan bahwa ucapan tanpa dasar ilmu hanya akan melahirkan kebingungan.
Ketika orang awam ikut berkomentar dalam perkara yang rumit, masalah biasanya tidak terselesaikan. Justru muncul simpang siur informasi, perdebatan tak berujung, bahkan fitnah yang meresahkan masyarakat. Inilah sebabnya Islam menganjurkan kehati-hatian dalam berbicara.
Allah ﷻ berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra’: 36). Ayat ini menegaskan bahwa kita harus mempertanggungjawabkan setiap kata yang keluar dari lisan, sehingga berbicara tanpa ilmu bukan hanya kesalahan etika, tetapi juga dosa besar.
Kekinian, ucapan tidak hanya segala yang keluar dari mulut, tetapi juga segala yang dituliskan di media sosial. Status ataupun komentar di media sosial bukan hal sepele yang tidak perlu perhatian. Komentar yang asal-asalan, meski sekadar candaan, bisa meninggalkan jejak digital sekaligus dosa yang berat.
Sikap bijak yang harus ditempuh seorang Muslim adalah menahan diri ketika tidak memiliki kapasitas. Biarkan para ulama, ilmuwan, peneliti, dan pihak berwenang yang memberikan penjelasan, karena merekalah yang memiliki otoritas dalam bidangnya. Adab ini bukan tanda kelemahan, melainkan bukti kerendahan hati dan kecerdasan dalam menjaga stabilitas sosial.
Dengan demikian, menjaga lisan di ruang publik berarti menjaga kehormatan diri, melindungi masyarakat dari kekacauan, sekaligus menegakkan ajaran Islam yang selalu menekankan berbicara dengan ilmu. Tidak semua orang layak berkomentar, dan justru dengan menyadari batasan ini, kita bisa berperan menjaga ketenangan dan keberkahan dalam kehidupan bersama.
Bahaya Menyebar Tanpa Tabayyun
Kebiasaan lain yang sering muncul di era viral adalah sikap “asal share” tanpa mengecek kebenaran berita. Padahal Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan, “Cukuplah seseorang dianggap berdusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim).
Hadis ini seakan menggambarkan kondisi kita hari ini. Sering kali orang langsung membagikan kabar hanya karena viral, padahal faktanya belum tentu benar. Inilah pintu masuk hoaks yang merusak tatanan masyarakat. Lebih jauh lagi, berita benar sekalipun tidak selalu harus disebarkan.
Nabi sendiri pernah menahan Mu’adz bin Jabal untuk tidak segera menyampaikan kabar gembira tentang jaminan surga bagi orang yang bersyahadat dengan jujur. Alasannya, jika mengumumkan berita itu saat itu, umat bisa salah paham dan menjadi malas beramal. Dari sini, kita bisa mengambil pelajaran, tidak semua kebenaran layak diumumkan, apalagi kebohongan. Harus ada pertimbangan maslahat dan mafsadat.
Al-Qur’an memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana kita menyikapi berita. Allah berfirman, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan jika mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka…” (QS. An-Nisa: 83).
Ayat ini menunjukkan bahwa tidak semua kabar harus langsung disebarkan ke publik. Islam mengajarkan prinsip tabayyun yaitu memeriksa, mengklarifikasi, dan memastikan kebenaran berita sebelum menyebarkannya.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menafsirkan ayat tersebut dengan sangat indah. Beliau menjelaskan bahwa Allah sedang mendidik hamba-Nya agar berhati-hati dalam menyampaikan berita, terutama yang berkaitan dengan kepentingan umum. Urusan penting harus diserahkan kepada pemimpin, ulama, dan orang-orang berilmu. Mereka lah yang bisa menimbang apakah sebuah informasi layak disebarkan atau justru lebih baik disimpan.
Diam yang Bernilai Pahala
Tidak semua komentar membawa kebaikan, tapi setiap diam yang dilakukan dengan niat menjaga diri bisa bernilai pahala. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini memberi kita pedoman sederhana namun mendalam. Jika komentar kita tidak memberi manfaat, lebih baik kita menahan diri. Diam bukan berarti pasif, melainkan wujud kedewasaan dan kebijaksanaan dalam bersikap.
Di era serba cepat, di mana satu berita bisa viral hanya dalam hitungan detik, kita dituntut semakin bijak dalam menggunakan lisan dan jari. Jangan sampai keinginan untuk terlihat eksis di media sosial membuat kita jatuh pada dosa besar, menyebarkan hoaks, menyulut fitnah, atau menyinggung orang lain.
Kebijaksanaan bukan terletak pada siapa yang paling cepat berkomentar, tetapi pada siapa yang mampu menahan diri, memilih kata yang tepat, dan tahu kapan harus diam. Dengan menjaga lisan dan hati, kita bukan hanya menyelamatkan diri di dunia maya, tapi juga di hadapan Allah kelak.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
