SURAU.CO – Yusuf Al-Qaradhawi lahir pada 9 September 1926 di Shafat Turab, sebuah desa di Mesir bagian barat. Nama lengkapnya Muhammad Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf. Keluarganya menggunakan gelar “Al-Qaradhawi” yang berasal dari nama daerah al-Qardhah.
Sejak kecil, Al-Qaradhawi menunjukkan kecerdasan luar biasa. Pada usia lima tahun, ia sudah belajar menulis dan menghafal Al-Qur’an. Dalam waktu lima tahun, ia berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an dengan fasih. Suara indah dan kemahirannya dalam tilawah membuat masyarakat menemukan “Syekh” meski masih kecil.
Ia semakin menonjol ketika mulai belajar sastra tasawuf. Ia mempelajari Minhaj al-Abidin karya Imam Al-Ghazali dari pamannya, Syekh Tanthawi Murad. Ia juga mendalami Ihya ‘Ulum al-Din bersama seorang murid ulama Mesir terkenal, Syekh Muhammad Abu Syah. Kedua karya itu membentuk landasan spiritual yang mempengaruhi perjalanan intelektualnya.
Al-Qaradhawi menempuh pendidikan formal di Universitas Al-Azhar Kairo. Ia memilih jurusan agama di Ushuluddin dan meraih Syahadah ‘Aliyah pada tahun 1953. Ia melanjutkan pendidikan di jurusan Bahasa Arab selama dua tahun. Pada tahun 1957, ia menuntaskan ijazah bidang bahasa dan sastra Arab di Ma’had Al-Buhuts wa Al-Dirasat Al-Arabiyah Al-Aliyah.
Pada tahun 1960, Al-Qaradhawi menuntaskan program magister di bidang Tafsir Hadis di Universitas Al-Azhar dengan predikat sangat baik. Ia lalu melanjutkan studi doktoral dengan menulis disertasi tentang zakat dan dan pengaruhnya dalam memecahkan problematika sosial
Karier Akademik dan Kontribusi Internasional
Perjalanan intelektual Al-Qaradhawi sarat tantangan politik. Saat menulis disertasi doktoralnya, penguasa militer Mesir menahannya selama dua tahun atas tuduhan pro dengan gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun.
Setelah bebas dari penjara, ia memilih hijrah ke Doha, Qatar. Di negeri itu, ia mendirikan Al-Ma’had al-Dini, sebuah lembaga pendidikan yang menjadi cikal bakal Fakultas Syariah Universitas Qatar. Ia merintis lembaga tersebut bersama Ibrahim Kadhim hingga berkembang pesat. Kemudian ia diangangkat menjadi Dekan Fakultas Syariah. Pada tahun 1990–1991, dia ditugaskan oleh pemerintah Qatar untuk menjadi dosen tamu di Al-Jazair.
Selain mengajar di Universitas Qatar, ia juga aktif berceramah dan mengajar di berbagai masjid. Ia menjadi pengawas akademi para imam di bawah Kementerian Wakaf Mesir. Setelah itu, ia bekerja di bagian Administrasi Umum bidang budaya Islam di Universitas Al-Azhar.
Sebagai ulama internasional, ia mengikuti berbagai muktamar di banyak negara, mulai dari Libya, Beirut, India, Kanada, hingga Amerika Serikat. Dalam setiap forum, ia menyuarakan pentingnya fiqih kontekstual yang mampu menjawab tantangan zaman.
Gagasan Fiqih dan Pemikiran Syekh Yusuf Al-Qaradhawi
Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dikenal sebagai ahli fiqih dengan pendekatan moderat. Ia menyatakan tidak mengikat pada satu mazhab, meskipun secara formal ia mempelajari mazhab Hanafi. Baginya, fiqih tidak berhenti sebagai kumpulan hukum kaku, tetapi berfungsi sebagai jalan ijtihad untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ia menegaskan bahwa seorang mujtahid harus membuka diri terhadap berbagai sumber bacaan, termasuk karya pemikir non-Muslim. Menurutnya, ulama hanya bisa memperluas pemahaman hukum Islam dengan membaca di luar karya ulama klasik. Pandangan ini membuatnya dianggap sebagai pembaharu dalam fiqih kontemporer.
Selain membahas fiqih, Al-Qaradhawi menulis banyak karya dalam bidang ekonomi Islam, pendidikan, dan tasawuf. Salah satu kontribusinya yang penting adalah gagasan tentang zakat. Ia menilai zakat merupakan instrumen sosial yang mampu mengatasi kemiskinan.
Pengaruhnya di Dunia Islam
Al-Qaradhawi menulis ratusan buku sepanjang hidupnya. Kitab-kitabnya diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Pada tahun 2007, ia mengunjungi Indonesia bersama Menteri Agama RI Maftuh Basyuni. Dalam kunjungan itu, ia mendatangi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta. KH Hasyim Muzadi, KH Ma’ruf Amin, KH Said Aqil Siroj, KH Maghfur Utsman, dan KH Nazaruddin Umar menyambutnya dengan hangat. Pertemuan tersebut mempererat hubungan intelektual antara ulama internasional dan ulama Nusantara.
Warisan Intelektual
Syekh Yusuf Al-Qaradhawi meninggalkan warisan besar, tidak hanya berupa karya tulis, tetapi juga pemikiran Islam yang moderat dan aplikatif. Dalam fatwa dan kajiannya, ia selalu berusaha menghadirkan wajah Islam yang keren, relevan, dan solutif, sebagaimana Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Ia menekankan pentingnya ijtihad modern, penekanan fungsi zakat dalam sistem ekonomi, serta menampilkan fiqih kontemporer yang kontekstual. Melalui gagasan-gagasan itu, ia menunjukkan bahwa ulama bukan hanya menjaga tradisi, melainkan juga menggerakkan perubahan.
Melalui karya dan pemikirannya, Al-Qaradhawi mewariskan intelektual Islam yang tetap hidup hingga hari ini. Ia sebagai ulama dan juga sebagai pembaharu, jembatan antara tradisi dan modernitas, sekaligus teladan bagi generasi Muslim di seluruh dunia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
