Fiqih Ibadah
Beranda » Berita » Sanksi Peminum Alkohol dari Perspektif Islam dan Hukum positif

Sanksi Peminum Alkohol dari Perspektif Islam dan Hukum positif

Ilustrasi larangan Minuman keras

SURAU.CO – Minuman beralkohol atau khamar bukanlah fenomena baru dalam kehidupan manusia. Sejak zaman kuno, berbagai bangsa sudah mengenalnya, termasuk masyarakat Arab pra-Islam. Hingga kini, alkohol masih banyak dijumpai, meski para ahli sudah banyak membuktikan dampaknya terhadap kesehatan, moral, dan sosial.

Dalam Islam, Allah memandang khamar sebagai sesuatu yang haram. Al-Qur’an secara tegas menyebut minuman keras sebagai perbuatan keji yang harus dijauhi. Allah berfirman dalam Surat Al-Ma’idah ayat 90:

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.

Islam mengharamkan alkohol karena bisa merusak fisik, merusak moral dan akhlak manusia. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Khamar adalah sumber dari segala keburukan.” (HR.Daruquthni).

Alkohol juga menimbulkan efek buruk dalam kehidupan sosial. Banyak kecelakaan lalu lintas, tindak kriminal, hingga kekerasan rumah tangga berawal dari pengaruh minuman keras. Oleh karena itu, Islam mengharamkan konsumsi alcohol dan juga menetapkan sanksi tegas bagi peminumnya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Sanksi bagi Peminum Alkohol dalam Islam

Hukum Islam menggolongkan perbuatan meminum khamar sebagai dosa besar dan menetapkan hukum had. Para ulama sepakat menjatuhkan hukuman cambuk kepada peminum khamar, meskipun mereka berbeda pendapat mengenai jumlah cambukan.

Pada masa Nabi Muhammad SAW, beliau menjatuhkan hukuman cambuk dengan pelepah kurma dan sandal. Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian menetapkan hukuman 40 kali cambukan. Umar bin Khattab menaikkan jumlah cambukan menjadi 80 kali setelah bermusyawarah dengan para sahabat, karena masyarakat semakin banyak mengonsumsi khamar.

Riwayat Anas bin Malik dalam Shahih Muslim menjelaskan praktik ini dengan jelas. Umar, setelah menimbang kondisi sosial saat itu, memutuskan hukuman 80 kali cambukan sebagai bentuk ijtihad demi menjaga perdamaian dan moral masyarakat.

Al-Mawardi dalam Al-Hawi al-Kabir menjelaskan tiga konsekuensi hukum bagi peminum alkohol. Pertama, ia menanggung dosa karena melanggar syariat. Kedua, masyarakat memperkirakan fasik sehingga masyarakat tidak bisa menerima kesaksiannya. Ketiga, hakim wajib menjatuhkan hukuman. Penjelasan ini menunjukkan bahwa konsumsi alkohol tidak hanya merusak moral pribadi, tetapi juga meruntuhkan kredibilitas sosial seseorang.

Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj menegaskan bahwa hukuman 40 cambukan yang Nabi SAW dan Abu Bakar berlakukan tetap sah, sementara keputusan Umar menetapkan 80 cambukan termasuk kebijakan sesuai situasi. Ia menyebut kedua keputusan itu sebagai sunnah yang berlaku, meski sebagian ulama lebih condong pada jumlah 40 cambukan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dengan demikian, Islam menekankan bahwa sanksi terhadap peminum merupakan hal preventif. Hukuman ini berfungsi mencegah umat Islam melakukan perbuatan yang membuka pintu berbagai keburukan.

Sanksi bagi Peminum Alkohol dalam Hukum Positif Indonesia

Hukum positif di Indonesia berbeda dengan hukum Islam. Pemerintah belum menetapkan sanksi pidana khusus bagi orang yang mengonsumsi alkohol. Regulasi yang ada lebih menekankan pengendalian peredaran, distribusi, dan penjualan minuman beralkohol.

Wacana mengenai larangan dan sanksi bagi peminum alkohol sempat muncul melalui Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU LMB). DPR telah membahas RUU ini sejak periode 2009–2014, dilanjutkan pada periode 2014–2019, dan kembali dimasukkan pada periode 2019–2024. Namun hingga kini, DPR belum mengesahkan rancangan tersebut.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian sanksi pidana bagi peminum alkohol masih menjadi perdebatan di tingkat legislatif. Sementara itu, aturan yang sudah berlaku, seperti Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol, masih menekankan pentingnya pengendalian distribusi. Perpres bertujuan mencegah dampak negatif alkohol terhadap kesehatan, kesepakatan umum, dan generasi muda.

Dengan kata lain, hukum positif Indonesia baru mengatur peredaran alcohol, bukan sanksi individu peminum alkohol. Aparat hukum tidak bisa menjerat orang yang meminum alkohol di ruang pribadi, kecuali jika tindakannya melanggar hukum lain, seperti mengganggu rekaman atau menyebabkan kecelakaan.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Refleksi dan Urgensi Regulasi

Meski hukum positif Indonesia belum menjatuhkan sanksi pidana terhadap peminum alkohol, data sosial sudah menunjukkan dampak buruk minuman keras. Banyak tindak kriminal, kecelakaan lalu lintas, hingga kereta rumah tangga berawal dari pengaruh alkohol. Oleh karena itu, negara sangat membutuhkan regulasi yang tegas.

Islam menyebut khamar sebagai ummul khabā’its atau induk segala keburukan. Artinya, dari alkohol bisa muncul berbagai kerusakan moral dan sosial. Pandangan ini sejalan dengan kebutuhan hukum positif untuk melindungi masyarakat dari bahaya alkohol.

Idealnya, peraturan hukum di Indonesia tidak hanya mengatur distribusi, tetapi juga menyentuh aspek konsumsi. Hukuman yang bersifat preventif dapat membantu menekan angka kriminalitas dan menjaga keselamatan umum. Di sisi lain, pemerintah juga perlu menyeimbangkan penerapan sanksi dengan pendekatan sosial dan edukasi agar masyarakat lebih sadar akan bahaya alkohol.

Jika kita melihat dari perspektif Islam dan hukum positif, masalah alkohol memerlukan penanganan yang seimbang antara aspek moral, sosial, dan hukum. Alkohol, pintu masuk berbagai keburukan yang mengancam kesehatan, keamanan, dan masa depan bangsa.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement