SURAU.CO – Bismillah, Koreksi Ilmiyah Atas Pernyataan KH Marzuqi Mustamar (MM) yang Menyimpulkan Bahwa : ‘MEMBACA SURAT “YAASIN“ YANG DIHADIAHKAN BACAANNYA UNTUK MAYAT HADITSNYA SHOHIH, DAN ITU ADALAH SUNNAH’
Untuk menjawab pertanyaan di atas, agar mudah dipahami ana susun dalam beberapa sub judul berikut
BENARKAH HADITS TERSEBUT SHOHIH ?
Berikut rincian pembahasannya :
REDAKSI HADITS
اقْرَؤُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس
“Bacakanlah atas orang yang mati diantara kamu dengan (Surat) YAASIN“.
TERKAIT MAKNA مَوْتَاكُمْ
Ada 3 pengertian yang disampaikan ulama atas makna MAWTAA pada hadits tersebut.
Pertama : ORANG YANG TELAH MATI
Kalau dari sisi bahasa, MAWTAA ini adalah fi’il madhi yang artinya ORANG YANG TELAH MATI.
Makanya sebagaian ulama memasksudkan hadits di atas ditujukan sebagai anjuran membacakan Yasin atas orang yang TELAH MATI.
Ini diantaranya pendapat dari :
Ibnu Rofi’ah, Kifaayatut Tanbih (V:12);
Kedua: Diartikan sebagai SAAT AKAN MATI (NAZA) dan SAAT SETELAH MATI
Ini diantaranya pendapat dari :
Al Qurthubi rohimahulloh, at Tadzkiroh Fii Ahwaalil Mawta (hal.90)
Ketiga: Dibaca Saat di KUBURAN
Ini dikatakan oleh :
Abul ‘Abbas al Wansyarisi rohimaulli, al Mi’yaar al Mu’rob (I:313)
PERIWAYAT HADITS
• Abu Dawud [3121];
• Ibu Majah [1448];
• Ahmad [20.316];
• Ibnu Hibban [3002];
• Thobroni dalam al Kabir [510]; dll
JALUR PERIWAYATAN HADITS DI ATAS
Perlu ana sampaikan dulu bahwa :
Semua hadits di atas, walau diriwayatkan dari EMPAT JALUR PERIWAYATAN -sebagaimana rinciannya akan ana rinci di bawah-, NAMUN BERPOROS PADA SATU ORANG, yakni
معقل بن يسار (MA’QIL BIN YASAAR) rodhialloohu ‘anhu.
Dan ternyata ini ‘AMBURADUL’ periwayatannya, yang rinciannya sebagai berikut:
JALUR PERIWAYATAN PERTAMA
Diriwayatkan :
dari ABI ‘UTSMAN,
dari BAPAKNYA (BAPAKNYA ABU ‘UTSMAN -pent.),
dari MA’QIL BIN YASAAR rodhialloohu ‘anhu,
dari NABI shollalloohu ‘alaihi wa sallam.
Dalam ilmu hadits ini disebut hadits MARFU’, yakni BERSAMBUNG SAMPAI NABI shollalloohu ‘alaihi wa sallam.
Ini adalah yang diriwayatakan oleh Ibnu Majah [1448] dll.
JALUR PERIWAYATAN KEDUA
Kalau jalur periwayatan PERTAMA itu disebutkan dari ABU ‘ UTSMAN, dari AYAHNYA (YAKNI AYAHNYA ABU ‘UTSMAN)
Namun pada JALUR KEDUA periwayatannya itu TIDAK DISEBUTKAN “DARI AYAHNYA”!
Lengkapnya sebagai berikut:
dari ABU ‘UTSMAN,
dari MA’QIL BIN YASAAR rodhialloohu ‘anhu (tanpa menyebut dari “BAPAK” NYA ABU ‘UTSMAN),
dari MA’QIL,
dari NABI shollalloohu ‘alaihi wa sallam !
Ini diantaranya diriwayatkan oleh al Baghowi dalam Syarhus Sunnah [1464] dll.
JALUR PERIWAYATAN KETIGA
Diriwayakan :
dari SESEORANG (TIDAK DISEBUT NAMANYA !)
dari BAPAKNYA (Juga tak disebutkan siapa “BAPAKNYA“) itu,
dari MA’QIL BIN YASAAR,
dari NABI shollalloohu ‘alaihi wa sallam !
Ini diriwayatkan oleh at Thoyaalisi [931] dll.
JALUR PERIWAYATAN KEEMPAT
Diriwayatkan dari MA’QIL BIN YASAAR, tetapi TIDAK BERSAMBUNG KEPADA NABI shollalloohu ‘alaihi wa sallam, tetapi ‘hanya perkataan yang disandarkan pada MA’QIL BIN YASAAR rodhialloohu ‘anhu !
Dalam ilmu hadits ini disebut MAUQUF (terhenti pada sahabat)!
Nah, KEKACAUAN PERIWAYATAN hadits di atas dalam ilmu hadits disebut IDHTIROB (GONCANG), dan hadits yang goncang ini termasuk DHO’IF / LEMAH !
lantas bagaimana akan di katakan hadits ini SHOHIH ?!
Disamping GONCANGNYA PERIWAYATANNYA, dalam hadits di atas juga terdapat KELEMAHAN LAINNYA.
UNTUK JALUR PERTAMA dan JALUR KEDUA
ABU ‘UTSMAN dan AYAHNYA yang meriwayatkan hadits di jalur pertama dan jalur ke dua di atas, maka TIDAK DIKETAHUI IDENTITASNYA, SIAPAKAH DIA ?
Hal ini sebagaimana ditandaskan oleh Imam ADZ DZAHABI rohimahulloh dalam Mizaanul I’tidaal [IV:550], dan juga oleh IMAM NAWAWI rohimahulloh dalam Al Adzkaar [hal.132]
Dalam ilmu hadits perawi yang tidak diketahui identitasnya itu disebut MAJHUL.
Rawi yang majhul JELAS TIDAK BISA DITERIMA !
UNTUK JALUR KETIGA
“Lebih parah lagi keadaannya dibanding dari jalur pertama dan jalur kedua, karena bahkan pada jalur ketiga, mereka benar-benar menyembunyikan identitasnya tanpa menyebutkan nama atau inisial sedikit pun!”
Hanya dikatakan ‘DARI SESEORANG’, dari ‘BAPAKNYA’. Siapa ‘SESEORANG’, dan apalagi ‘SIAPA BAPAKNYA SESEORANG’ tersebut tentu lebih tidak jelas lagi.
Dengan penjelasan tambahan di atas, lantas bagaimana akan dikatakan hadits tersebut shohih ?
Nah. Karena itulah sejumlah ahli hadits telah MELEMAHKAN HADITS TERSEBUT BAIK DENGAN SEBAB KACAUNYA SANADNYA MAUPUN KELEMAHAN PERAWINYA TERSEBUT !
PERNYATAAN PARA AHLI HADITS YANG MELEMAHKAN HADITS
IMAM NAWAWI rohimahulloh dalam Al Khulaashoh [II:925] berkata : “SANADNYA LEMAH, DALAM SANADNYA ADA DUA RAWI YANG TAK DIKENAL (yakni Abu Utsman dan ayahnya tersebut -pent.)!“
IBNUL ‘AROBI rohimahulloh dalam ‘Aaridhotul Ahwaadzi [VI:34] : “TIDAK SHAH !“
IBNUL QOTHTHON rohimahulloh dalam al Wahmu wal Iihaam [V:49] : “TIDAK SHAH !“;
SYAIKH BIN BAAZ rohimahulloh dalam Fataawaa Nuur ‘ala Darb [XIV:261] : “DHO’IF/LEMAH !“;
Al ‘UTSAIMIN rohimahulloh dalam Majmu’ Fataawaa al ‘Utsaimin [XVII:74] : “LEMAH !“
AL ALBANI rohimahulloh dalam Takhrij Misykaatul Mashoobih [1565] : “LEMAH, MAUQUF, DAN GONCANG !“
‘ALI BIN HASAN AL HALABI AL ATSARI hafizhohulloh sampai menyusun buku kecil khusus menyoroti KELEMAHAN hadits ini dengan judul : ‘AL QOULUL MUBIIN FII DHO’FI HADITS AT TALQIIN WA IQROO’U ‘ALAA MAWTAAKUM YAASIN“.
SYUBHAT: MM berkata ada ulama yang menshohihkannya, yakni Ibnu Hibban.
JAWABAN ATAS SYUBHAT TERSEBUT
Ini dapat dijawab dari dua sisi
Sisi Pertama
Siapa yang mengkaji sedikit saja ilmu hadits niscayalah akan tahu bahwa Ibnu Hibban rohimahulloh ini termasuk ulama yang dikategorikan sebagai TASAHUL (BERMUDAH-MUDAHAN DALAM MENSHOHIHKAN HADITS) !
Tentu saja ini bukan berarti Ibnu Hibban rohimahulloh bukan orang yang ahli dalam hadits, apalagi untuk menjatuhkan kehormatan beliau.
Pahami ini secara proporsional.
Ulama pasti mengkaji secara mendalam sebelum memvalidasi keshohihan hadits yang dinyatakan oleh Ibnu Hibban.
Nah ini termasuk hadits yang kita bicarakan ini.
Bagaimana kita akan menerima penshohihan Ibnu Hibban atas hadits tersebut, setelah kita mengetahui bagaimana keadaan hadits ini sebagaimana yang telah ana sampaikan di atas ?
Sisi Kedua
Ingatlah kaidah :
“إذا اجتمع في الراوي جرح مفسر وتعديل فالجمهور على أن الجرح مقدم. ولو كان عدد الجارح أقل من المعدل. قالوا: لأن مع الجارح زيادة علم؛
Jika berhimpun penilaian keadaan seorang rawi (periwayat hadits) antara yang MENCELANYA DENGAN DITERANGKAN SEBAB CELAANNYA DAN DENGAN YANG MEMUJI, maka jumhur ulama menyatakan bahwa CELAAN (YANG DIJELASKAN SEBAB CELAANNYA) LEBIH DIDAHULUKAN (DARIPADA YANG MEMUJINYA) WALAUPUN YANG MENCELANYA LEBIH SEDIKIT DARIPADA YANG MEMUJINYA.
Hal ini dikarenakan ORANG YANG MENCELA BERARTI MEMILIKI TAMBAHAN ILMU LEBIH DIBANDING YANG MEMUJINYA. (Lihat terkait ini diantaranya pada kitab Qowaaid at Tahdits min Funuun Mushtholah al Hadits, karya Syaikh Jamalud Dinn al Qosimi rohimahulloh, khususnya di halaman 188)
Ini terjadi karena orang yang mencela seorang rawi biasanya lebih mengetahui keadaannya daripada orang yang memujinya, yang mungkin tidak menyadari kelemahan rawi tersebut.
Maka YANG MENGETAHUI MENJADI HUJJAH BAGI YANG TIDAK MENGETAHUI tentunya.
Maka tepatlah kaidah CELAAN KEPADA SEORANG RAWI YANG DIJELASKAN SEBAB CELAANNYA, LEBIH DIDAHULUKAN DARIPADA PUJIAN.
Sekalipun kaidah di atas tidak muthlak, tapi secara umum kaidah di atas insya Allah paling adil, dan paling benar.
Dan jumhur ulama hadits juga memegang kaidah itu.
Lantas bagaimana lagi jika rawi tersebut LEBIH BANYAK YANG MENCELA DARIPADA YANG MEMUJINYA ?
Tentu lebih memprihatinkan lagi !
Apakah lagi jika ada ulama seperti Ibnu Hibban yang cenderung menshohihkan hadits tersebut, sebagaimana yang telah ana sampaikan di atas.
Membaguskan Membaca Surat Yaasin
Na’am. Tak sedikit yang memperbolehkan bahkan membaguskan membaca surat Yaasin khususnya untuk ORANG YANG SEDANG NAZA.
Ada yang beralasan karena hadits tersebut walau lemah tapi masuk kategori fadhoo’ilul A’mal, sehingga tetap boleh digunakan (dan ini pendapat yang lemah juga), dan ada alasan lain, namun bukan berlandaskan hadits shohih.
“Tapi bukankah kita boleh mengambil atau menolak perkataan setiap orang selain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang menjadi ijma para salaf?”
Kita berkeyakinan jika hal ini sunnah, tentu Nabi shollalloohu alayhi wa sallam atau para sahabat rodhialloohu ‘anhum MENCONTOHKAN ATAU MEMERINTAHKAN KITA MELAKUKAN DENGAN DASAR RIWAYAT YANG SHOHIH tentunya.
Dan justru YANG SHOHIH adalah MENUNTUN (MENTALQINKAN) ORANG YANG AKAN MATI DENGAN KALIMAT TAUHID !
Ini PASTI KESHOHIHANNYA
Dalilnya sabda Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam :
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
‘TALQINKANLAH / AJARKANLAH/TUNTUNLAH ORANG YANG AKAN MATI DIANTARA KAMU DENGAN (UCAPAN): ‘LAA ILAAHA ILLALLAH’; (HSR Muslim [917] dll)
INILAH SEMESTINYA YANG MERUPAKAN SUNNAH YANG SHOHIH, BUKAN DENGAN MEMBACAKAN “YAASIN“
“Anehnya, kita lebih suka meninggalkan sunnah yang shohih dan malah mengamalkan hadits yang lemah?”
Allahul musta’aan.
SATU ARGUMENTASI LAIN YANG MENUNJUKKAN ISYARAT BATILNYA ‘YASINAN’ UNTUK ORANG YANG TELAH MATI
Kita belum pernah mendengar satu pun KELUARGA NABI rodhialloohu anhum, atau SATU SAJA DIANTARA RIBUAN SAHABAT, yang menyelenggarakan YASINAN saat Nabi shollalloohu ‘alayhi wa sallam wafat, maupun saat diantara sahabat rodhialloohu anhum itu wafat.
Andai itu sunnah, sudah pasti akan smapai kepada kita riwayat shohih yang mengkhabarkannya.
Karena sebagaimana para ulama mengatakan terkait amalan ibadah:
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat rodhialloohu ‘anhum) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Sebenarnya ada sisi lain yang ingin ana ulas juga.
Tapi ana khawatir ini akan terlalu panjang.
Jadi sementara ana anggap cukup sampai di sini dulu ulasannya.
KESIMPULAN
Pendapat yang menyatakan hadits BACAAN SURAT YASIN UNTUK ORANG YANG AKAN / TELAH MATI iti shohih, justru itu adalah PENDAPAT YANG LEMAH !
“Kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai landasan untuk menyunnahkan hal itu.”
Yang SUNNAH saat menghadapi orang yang mendekati adalah adalah DENGAN MENUNTUNNYA MEMBACA KALIMAT ”LAA ILAAHA ILLALLAH“;
“Kita tidak boleh mengamalkan surat Yasin karena haditsnya lemah, meski ada ulama yang menganjurkannya. Seseorang yang menganggapnya sebagai sunnah berarti dia telah melakukan bid’ah.”
“jika mereka menjadikan hadits itu sebagai SUNNAH UNTUK MENGADAKAN YASINAN BAGI ORANG YANG TELAH MATI”. Walhamdu lillaahi robbil ‘aalamiin, wa shollalloohu ‘alaa Muhammadin. (Berik Said)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
