SURAU.CO. Bayangkan saat kita sedang menikmati liburan di pantai yang memukau. Udara segar berhembus, panorama alam memukau mata. Tiba-tiba, muncul pertanyaan sederhana. “Di mana saya bisa melaksanakan salat zuhur?” atau “Apakah ada restoran yang menyajikan makanan halal di dekat sini?” Pertanyaan seperti ini sering muncul bagi wisatawan Muslim. Hal inilah yang membuat konsep wisata halal semakin relevan.
Indonesia memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan ini. Negara kita adalah rumah bagi populasi Muslim terbesar di dunia. Kita memiliki kekayaan alam, budaya, dan sejarah Islam yang sangat kaya. Tidak heran, sejak tahun 2015, Kementerian Pariwisata mulai serius menggarap wisata halal sebagai prioritas. Hasilnya sangat membanggakan.
Pada tahun 2023, Indonesia berhasil meraih peringkat pertama pada Global Muslim Travel Index (GMTI). Kita mengalahkan 140 negara lain, termasuk Malaysia, Arab Saudi, dan Turki. Skor kita mencapai 73 poin, lebih tinggi dari para pesaing terdekat. Prestasi ini bahkan melampaui target awal yang ditetapkan pada tahun 2025. Namun, mari kita jujur pada diri sendiri. Apakah prestasi gemilang ini sudah sepenuhnya tercermin dalam praktik di lapangan?
Memahami Konsep Inklusif Wisata Halal
Wisata halal seringkali disalahpahami. Sebagian orang menganggapnya eksklusif, hanya untuk umat Muslim. Padahal, inti dari konsep ini adalah layanan yang ramah Muslim dan bersifat inklusif. Hotel menyediakan arah kiblat di kamar. Restoran menyajikan makanan halal yang bersertifikasi. Tempat wisata menyediakan fasilitas ibadah yang layak. Aktivitas liburan juga harus sesuai dengan nilai-nilai moral Islam.
Dengan demikian, wisatawan Muslim merasa lebih tenang tanpa mengurangi kenyamanan wisatawan non-Muslim. Justru, konsep ini mampu memperkaya pengalaman berwisata.
Praktik Wisata Halal: Potensi Daerah di Indonesia
Beberapa daerah di Indonesia telah berhasil mempraktikkan konsep wisata halal. Lombok, misalnya, pernah dinobatkan sebagai World’s Best Halal Tourism Destination. Aceh memadukan wisata halal dengan budaya lokal Islami yang kental. Masjid Raya Baiturrahman menjadi saksi sejarah, dan kuliner khasnya terjamin kehalalannya. Sumatera Barat juga memiliki daya tarik global dengan warisan kuliner Minang yang menggugah selera.
Selain itu, di berbagai kota besar, mulai bermunculan paket wisata halal. Hotel ramah Muslim juga semakin mudah ditemukan. Restoran yang mengusahakan sertifikasi halal juga terus bertambah. Upaya ini membuktikan bahwa kesadaran pelaku usaha mulai tumbuh, meskipun belum merata di seluruh wilayah.
Tantangan Nyata: Menghadapi Realita Wisata Halal
Meskipun prestasi global membanggakan, ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Pertama, belum ada standar nasional yang benar-benar seragam. Label halal kadang hanya menjadi strategi pemasaran semata. Kedua, fasilitas ibadah di destinasi wisata seringkali masih seadanya. Ketiga, kesadaran pelaku usaha belum merata, sebagian masih melihat wisata halal hanya sebagai tren sesaat.
Lebih jauh lagi, infrastruktur digital kita belum dimaksimalkan. Wisatawan mancanegara sering kesulitan menemukan informasi halal yang terintegrasi. Informasi tersebut meliputi hotel, restoran, hingga jadwal salat. Padahal, generasi muda Muslim global adalah pengguna aktif platform digital.
Membangun Ekosistem Wisata Halal yang Berkelanjutan
Jika Indonesia ingin menjadi pusat wisata halal dunia, ada beberapa pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan. Pertama, standarisasi nasional harus jelas dan tegas. Wisata halal tidak boleh hanya menjadi jargon semata. Kedua, sumber daya manusia (SDM) pariwisata harus kompeten. Mereka harus ramah dan juga memahami standar halal internasional. Ketiga, fasilitas nyata harus benar-benar siap. Jangan hanya mengandalkan formalitas brosur. Musala di tempat wisata harus bersih dan nyaman. Kuliner halal harus mudah dijangkau.
Keempat, promosi global harus lebih agresif. Malaysia sudah lama berkecimpung di sektor ini. Bahkan Jepang dan Korea Selatan juga ikut menggarap pasar wisatawan Muslim. Mereka menyediakan panduan halal untuk para turis. Indonesia seharusnya bisa lebih unggul. Promosi harus dikemas secara digital-friendly. Sasaran promosi harus menjangkau wisatawan Muslim lintas generasi.
Terakhir, sinergi antara Pemerintah dan sektor swasta sangat penting. Pemerintah dapat menyiapkan kebijakan yang mendukung. Tetapi tanpa partisipasi komunitas lokal, UMKM, dan investor, ekosistem wisata halal tidak akan berkelanjutan.
Wisata halal bukan hanya sekadar tren. Ini adalah kebutuhan nyata. Laporan GMTI memprediksi ada 230 juta wisatawan Muslim pada tahun 2026. Mereka akan membelanjakan ratusan miliar dolar. Indonesia sudah membuktikan diri mampu menjadi yang pertama. Namun, mempertahankan posisi jauh lebih sulit daripada meraihnya.
Kita perlu memastikan wisata halal hadir sebagai pengalaman yang halalan tayyiban. Halal berarti suci dan sesuai syariat. Tayyiban berarti baik, bersih, sehat, dan memberikan keberkahan. Jika hal ini bisa terwujud, Indonesia akan menjadi lebih dari sekadar destinasi liburan. Indonesia akan menjadi wajah ramah Islam di mata dunia. Indonesia akan menjadi destinasi yang indah, nyaman, dan penuh nilai. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
