SURAU.CO. Hijrah Nabi Muhammad Saw ke Madinah menandai babak baru dalam sejarah Islam. Kota Yatsrib yang kelak dikenal sebagai Madinah, bukan hanya sekadar tempat hijrah, melainkan juga ruang pertemuan berbagai identitas dan kepentingan. Penduduknya heterogen: ada kaum Anshar dari suku Aus dan Khazraj, ada komunitas musyrik paganis, dan ada pula kaum Yahudi yang sudah lama menetap di sana.
Di tengah keragaman ini, terbuka peluang sekaligus tantangan besar bagi dakwah Islam. Tidak hanya soal membangun masyarakat baru, tetapi juga bagaimana Rasulullah Saw berinteraksi dengan kelompok-kelompok berbeda. Kehadiran komunitas Yahudi, dengan tradisi keilmuan dan keyakinan monoteistiknya, menjadi salah satu dinamika penting dalam perjalanan dakwah Rasulullah
Madinah: Pusat Peradaban Baru dan Keberagaman
Madinah memiliki struktur sosial-ekonomi yang berbeda dengan Makkah. Penduduknya lebih bergantung pada pertanian dan kebun, berbeda dengan Makkah yang pusat aktivitasnya didominasi perdagangan. Perbedaan ini tentu memengaruhi corak dakwah Rasulullah Saw.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa sebagian ahli kitab (termasuk Yahudi) sebenarnya mengenal Nabi Muhammad Saw sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Allah Swt berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۘ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Latin:
Alladzīna ātaynāhumul-kitāba ya‘rifūnahu kamā ya‘rifūna abnā’ahum, wa inna farīqam minhum layaktumūnal-ḥaqqa wa hum ya‘lamūn
Arti:
“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Dan sungguh, sebagian di antara mereka pasti menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 146)
Sikap Yahudi: Antara Iman dan Penolakan
Sikap komunitas Yahudi terhadap Nabi Muhammad Saw ternyata beragam. Ada sebagian yang beriman dengan tulus, tetapi tidak sedikit pula yang menolak, bahkan bersikap curang terhadap perjanjian yang telah dibuat. Fanatisme kesukuan dan kepentingan politik kerap menjadi penghalang utama, sehingga kebenaran yang jelas pun ditutup rapat-rapat.
Namun, di tengah gelombang penolakan itu, hadir kisah yang berbeda. Abdullah bin Salam, seorang rabbi Yahudi yang berwibawa di Madinah, justru melihat cahaya kejujuran pada wajah Rasulullah Saw. Setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan menyaksikan akhlak beliau, Abdullah menyimpulkan bahwa wajah ini (Nabi Saw) bukanlah wajah seorang pendusta. Dengan penuh keyakinan, ia pun masuk Islam.
Piagam Madinah: Landasan Persatuan dan Keadilan
Rasulullah Saw tampil sebagai nabi sekaligus pemimpin visioner. Beliau menata masyarakat Madinah yang plural dengan menyusun Piagam Madinah, fondasi sosial-politik baru. Piagam ini menjamin hak setiap komunitas—Muslim, Yahudi, maupun kelompok lain—untuk hidup aman, beribadah, dan saling melindungi dari ancaman luar. Sejarawan modern menilainya sebagai salah satu konstitusi tertua yang menegaskan keadilan dan pluralitas.
Ujian tetap datang. Kabilah Yahudi seperti Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzhah berulang kali mengingkari perjanjian. Mereka bersekongkol dengan musuh Islam dan menyebarkan fitnah. Rasulullah Saw tetap membuka ruang damai dengan penuh kesabaran. Namun, ketika pengkhianatan terus berulang, beliau mengambil langkah tegas. Beliau memimpin dengan keseimbangan: penuh kesabaran, tetapi tegas menjaga kebenaran.
Akhlak Rasulullah Saw: Senjata Utama Dakwah
Akhlak Rasulullah Saw menjadi senjata utama. Ada kisah seorang Yahudi yang menagih utang dengan kasar. Para sahabat ingin membalas. Nabi Saw menahannya dengan senyum. Sikap lembut itu meluluhkan hati sang penagih. Ia pun masuk Islam. Dakwah bukan hanya melalui kata-kata, tetapi juga keteladanan nyata.
Rasulullah Saw melakukan pendekatan kultural. Arah kiblat awalnya ke Baitul Maqdis, sama dengan Yahudi. Beliau menyetujui puasa Asyura dan ingin menegaskan bahwa ajaran risalahnya adalah kesinambungan dari Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam. Namun, ketika orang Yahudi menolak, Rasulullah Saw menunjukkan perbedaan identitas umat Islam dalam hal ibadah dan tradisi.
Interaksi dengan Kaum Musyrik Madinah
Kaum musyrik Madinah juga menolak dakwah Nabi Saw. Namun, sikap mereka lebih lunak dibanding Suku Quraisy di Makah. Interaksi sosial tetap berjalan: jual beli, jamuan, dan tukar hadiah. Hanya tokoh seperti Abdullah bin Ubay bin Salul yang menaruh dendam politik.
Rasulullah Saw menghadapi perbedaan dengan keseimbangan antara akhlak, kesabaran, dan ketegasan. Beliau terbuka untuk dialog serta menghargai perjanjian. Namun, ketika pengkhianatan mengancam, beliau bertindak tegas.
Teladan dalam Keberagaman
Saat ini di tengah dunia modern yang penuh keragaman, teladan ini sangat relevan. Islam tidak mengajarkan pengucilan, melainkan mendorong masyarakat yang adil, damai, dan berlandaskan kesepakatan. Rasulullah Saw membuktikan bahwa iman yang kokoh tidak bertentangan dengan hidup berdampingan dalam keberagaman.
Rasulullah Saw di mata orang Yahudi adalah cermin dinamika sejarah. Ada yang mengakui, ada yang menolak. Dari setiap peristiwa, umat Islam belajar bahwa dakwah bukan hanya menyampaikan kebenaran. Dakwah adalah menjaga akhlak, merawat perjanjian, dan membangun masyarakat yang beradab.(kareemustofa)
Referensi: Dari Berbagai Sumber
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
