Surau.co. Setiap hari kita melangkah di atas tanah, menggenggam batu, bahkan menggunakan logam tanpa henti. Namun, jarang sekali kita berhenti sejenak untuk mendengar bisikan sunyi mereka. Seolah-olah benda mati, padahal mereka menyimpan rahasia keberadaan. Kitab al-Shifāʾ (Bagian al-Ṭabī‘iyyāt) karya Ibn Sīnā mengajarkan bahwa batu, logam, dan tanah bukan sekadar benda yang diam, tetapi bagian dari alam yang memiliki hukum, irama, bahkan doa yang tidak terucapkan. Dalam diamnya, mereka mengajarkan manusia tentang kesabaran, keteguhan, dan perjalanan menuju kesempurnaan.
Alam sebagai cermin kehidupan manusia
Ketika kita menatap bumi, kita melihat tanah yang subur maupun gersang. Tanah menerima apa saja: biji yang suci maupun kotoran yang hina. Tetapi dari rahim tanah yang gelap, lahirlah kehidupan baru. Sama seperti hati manusia, ia bisa menerima cahaya kebaikan atau bayangan keburukan.
Al-Qur’an pun mengingatkan kita:
﴿وَمِنْ ءَايَـٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ إِذَآ أَنتُم بَشَرٌ تَنتَشِرُونَ﴾
“Dan di antara tanda-tanda-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu menjadi manusia yang berkembang biak.” (QS. Ar-Rum: 20)
Tanah bukan hanya bahan penciptaan, melainkan simbol asal-mula dan pengingat akhir perjalanan. Ibn Sīnā menulis dalam al-Shifāʾ:
“الأرض أصل الأشياء الطبيعية، ومنها يكون التكون وإليها يكون الفساد.”
“Tanah adalah asal segala benda alami, darinya terbentuk kehidupan dan kepadanya pula kembali kerusakan.”
Batu: keteguhan dalam kesunyian
Di jalanan, kita sering melihat batu. Bagi sebagian orang, ia sekadar benda keras tanpa arti. Tetapi bagi yang mau merenung, batu adalah lambang keteguhan. Ia dihantam hujan, diinjak kaki, bahkan dihina sebagai penghalang jalan, namun tetap diam tanpa keluhan.
Dalam al-Shifāʾ, Ibn Sīnā menuliskan:
“الحجر صامت، لكنه يحمل في ذاته قوة وثباتاً لا يزول.”
“Batu itu diam, namun ia menyimpan kekuatan dan keteguhan yang tak hilang.”
Batu memberi pelajaran: tak perlu banyak bicara untuk menunjukkan makna. Diam pun bisa menjadi doa. Diam bisa menjadi jalan menuju keteguhan hati.
Logam: tubuh yang menunggu api
Logam tersembunyi di dalam perut bumi. Ia lahir dari rahim kegelapan, lalu disucikan oleh api. Proses ini mirip dengan manusia yang diuji oleh kehidupan. Ujian berupa penderitaan adalah api yang memurnikan jiwa.
Ibn Sīnā menegaskan dalam al-Ṭabī‘iyyāt:
“المعادن تحتاج إلى النار ليظهر صفاؤها، كما يحتاج الإنسان إلى الابتلاء ليظهر كماله.”
“Logam memerlukan api untuk menampakkan kejernihannya, sebagaimana manusia memerlukan ujian untuk menampakkan kesempurnaannya.”
Bukankah kita pun sering terjebak dalam kenyamanan? Tanpa ujian, kita tak pernah tahu seberapa kuat hati kita. Logam berbisik: luka yang kita derita adalah cara Tuhan menyingkapkan ketangguhan tersembunyi dalam diri.
Tanah sebagai rahim dan kubur
Tanah adalah awal sekaligus akhir. Dari tanah kita lahir, ke tanah pula kita kembali. Tidak ada yang bisa lepas dari pelukan tanah. Namun tanah bukan hanya kubur yang sunyi, ia juga rahim yang menyiapkan kehidupan baru.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى»
“Dari tanah Kami menciptakan kamu, ke dalamnya Kami akan mengembalikan kamu, dan darinya pula Kami akan mengeluarkan kamu sekali lagi.” (HR. Muslim)
Dalam al-Shifāʾ, Ibn Sīnā menulis penuh makna:
“الأرض أمّ حانية، تأخذك إليها في المبدأ والمنتهى.”
“Tanah adalah ibu yang penuh kasih, ia merengkuhmu di awal dan di akhir.”
Di balik tanah yang tampak dingin, tersimpan pelukan hangat ibu semesta.
Pelajaran sunyi dari batu, logam, dan tanah
Dalam keseharian, kita sering terburu-buru mengejar dunia. Namun jika berhenti sejenak, mendengar bisikan alam, kita akan sadar:
Batu mengajarkan kesabaran.
Logam mengajarkan keteguhan dalam ujian.
Tanah mengajarkan kerendahan hati dan kepulangan.
Semua benda alam ini bukan sekadar materi. Mereka menyimpan doa diam-diam yang hanya bisa didengar oleh hati yang tenang.
Refleksi untuk manusia modern
Di zaman yang riuh dengan suara, batu, logam, dan tanah memberi teladan dalam diam. Mereka mengingatkan bahwa kehidupan tidak selalu tentang berteriak, tetapi tentang menerima, bertahan, dan kembali kepada asal.
Bukankah kita pun ingin seperti tanah yang melahirkan kehidupan, seperti logam yang memurni lewat ujian, dan seperti batu yang teguh di tengah badai?
Kita perlu belajar dari doa-doa diam yang mereka simpan. Karena mungkin, doa yang tidak terucapkan jauh lebih murni daripada doa yang disusun dengan kata.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
