Sejarah
Beranda » Berita » Perjanjian Najran

Perjanjian Najran

Perjanjian Najran. Ilustrasi: Meta AI.

SURAU.CO – Setelah penaklukan Mekah, pengaruh Islam meluas dengan cepat. Banyak kabilah dan wilayah datang, menyatakan keislaman. Bahkan, ada pula yang memilih bersekutu. Nabi Muhammad SAW membuktikan diri sebagai pemimpin visioner. Beliau senantiasa mengedepankan perdamaian dan diplomasi. Salah satu bukti pentingnya adalah Perjanjian Najran. Ini adalah perjanjian antara Nabi SAW dengan komunitas Kristen. Perjanjian tersebut jelas menunjukkan toleransi dan kebijaksanaan Islam.

Najran: Komunitas Kristen di Jantung Jazirah

Najran merupakan sebuah negeri luas. Letaknya tujuh hari perjalanan dari Mekah menuju Yaman. Wilayah ini terdiri dari 73 desa dengan jumlah penduduk sekitar 100.000 jiwa. Mayoritas penduduknya beragama Nasrani. Umumnya, mereka berasal dari Bani Al-Harits bin Ka’b.

Nabi Muhammad SAW senantiasa mengajak umat manusia kepada Islam. Beliau mengirimkan surat kepada penduduk Kristen Najran. Surat itu berisi undangan untuk masuk Islam. Apabila menolak, mereka bisa membayar jizyah. Jizyah adalah pajak perlindungan. Jika itu pun ditolak, maka pilihannya adalah perang. Berikut isi surat Rasulullah SAW:

“Dengan nama Tuhannya Ibrahim, Ishaq, Ya’kub, dari Muhammad, Nabi dan Rasul utusan Allah kepada Uskup Agung Najran dan Penduduk Najran. Jika kalian masuk Islam, sungguh aku mengucap puji syukur kepada Allah, Tuhannya Ibrahim, Ishak dan Ya’kub, adapun sesudah itu (amma ba’du), Sesungguhnya aku menyeru kalian untuk menyembah Allah dari menyembah kepada hamba-hamba-Nya, dan aku menyeru kalian kepada Wilayatullah (Kekuasaan Allah) dari Wilayatul’ibàd (kekuasaan manusia). Apabila kalian menolak seruan ini, maka pilihannya adalah membayar jizyah. Jika itupun kalian tolak maka akan aku permaklumkan perang kepada kalian. Wassalam.”

Delegasi Najran di Madinah: Pencarian Kebenaran

Mendapat surat tersebut, penduduk Najran berunding. Kemudian, mereka sepakat mengirim delegasi ke Madinah. Tujuannya menyelidiki langsung sosok Nabi Muhammad SAW. Maka dari itu, pada tahun ke-9 Hijriah, delegasi tiba di Madinah. Rombongan ini berjumlah 60 orang, di dalamnya ada 24 bangsawan. Tiga pimpinan utama ikut serta. Abdul Masih Al-Aqib sebagai kepala pemerintahan. As-Sayyid sebagai pemegang urusan kebudayaan dan politik. Selain itu, ada Uskup Agung Abu Haritsah bin Alqamah. Ia merupakan pemimpin spiritual mereka.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Delegasi ini bertemu Rasulullah SAW setelah shalat Asar. Mereka memasuki masjid Nabi. Saat waktu sembahyang mereka tiba, mereka berdiri untuk melaksanakan sembahyang. Sahabat Nabi hendak menegur mereka. Namun, Rasulullah SAW mencegahnya. Beliau bersabda:

“Biarkanlah! mereka menghadap ke timur, mereka sembahyang menurut cara mereka”

Peristiwa ini menunjukkan toleransi tinggi Rasulullah. Beliau menghormati kebebasan beragama. Oleh karena itu, diskusi panjang pun terjadi beberapa hari.

Diskusi dan Latar Belakang Ayat Mubahalah

Diskusi antara Rasulullah SAW dan delegasi Najran sangat intens. Mereka membahas banyak hal. Salah satunya, tentang status Isa Al-Masih (Yesus). Orang-orang Kristen Najran meyakini Isa adalah putra Tuhan. Bahkan, sebagian menganggapnya sebagai Tuhan itu sendiri. Nabi Muhammad SAW menjelaskan kebenaran menurut Al-Qur’an. Isa adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Ia dilahirkan dari Maryam secara mukjizat. Namun, ia makan, minum, dan memiliki awal akhir, sama seperti manusia lainnya.

Pembahasan ini mencapai kebuntuan. Maka dari itu, Allah SWT menurunkan Surah Ali Imran ayat 61. Ayat ini adalah ayat mubahalah. Ayat itu mengajak para pihak yang berselisih untuk saling memohon. Mereka memohon agar Allah melaknat pendusta. Nabi Muhammad SAW menawarkan mubahalah ini. Beliau mengajak mereka untuk saling berdoa. Tujuannya, agar laknat Allah menimpa siapa yang berdusta.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Meskipun detail lengkap mubahalah dan perjanjian tidak termuat dalam sumber yang diberikan, sejarah Islam mencatat. Melihat hal tersebut, delegasi Najran menjadi ketakutan. Mereka lantas menolak mubahalah. Sebab, delegasi menyadari konsekuensi serius yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, mereka memilih jalan lain. Delegasi tersebut meminta perjanjian damai. Sebagai gantinya, mereka bersedia membayar jizyah.

Isi Umum Perjanjian Najran: Pilar Perdamaian

Penting untuk dicatat bahwa rincian lengkap Perjanjian Najran tidak tersedia dalam sumber yang diberikan. Namun, berdasarkan catatan sejarah Islam yang lebih luas, inti dari perjanjian ini mencakup hal-hal berikut:

Perjanjian ini adalah manifestasi konkret. Ia menunjukkan prinsip-prinsip Islam. Prinsipnya melindungi non-Muslim. Intinya, kaum Muslimin menjamin keamanan hidup, harta, tanah, dan gereja mereka. Tidak ada yang boleh mengganggu.

  1. Kebebasan Beragama: Mereka bebas menjalankan ajaran agama mereka. Para uskup, biarawan, dan pendeta mereka tidak diganti. Tidak ada paksaan untuk masuk Islam.
  2. Kewajiban Jizyah: Sebagai imbalan perlindungan, mereka membayar jizyah tahunan. Biasanya, berupa pakaian atau sejumlah emas.
  3. Bantuan Militer Kondisional: Jika Yaman diserang, mereka harus membantu kaum Muslimin. Meskipun begitu, mereka menyediakan sejumlah senjata dan kendaraan sebagai pinjaman. Alat-alat itu akan dikembalikan.

Hikmah dari Perjanjian Najran: Islam dan Harmoni Beragama

Perjanjian Najran mengajarkan banyak hal. Ia menunjukkan toleransi beragama dalam Islam. Islam menjamin hak-hak non-Muslim. Mereka memiliki kebebasan menjalankan keyakinan. Selain itu, perjanjian ini menjelaskan fungsi jizyah. Jizyah adalah pengganti kewajiban militer. Ini juga merupakan bentuk perlindungan. Warga non-Muslim tidak wajib ikut perang. Sebaliknya, mereka membayar jizyah sebagai kompensasi.

Perjanjian ini menjadi model penting untuk hubungan antaragama. Perjanjian ini relevan hingga masa modern. Secara fundamental, ia menegaskan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Karena itu, Islam tidak menyebarkan kekerasan. Melainkan, ia menyebarkan keadilan dan perdamaian untuk seluruh umat manusia.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Perjanjian Najran adalah bukti nyata. Ia menunjukkan kebesaran jiwa Rasulullah SAW. Beliau adalah pemimpin ulung. Beliau mampu menciptakan harmoni dan perdamaian di tengah keragaman. Kisah ini menjadi pelajaran berharga. Kita harus saling menghargai. Selain itu, kita harus saling menghormati, terutama dalam perbedaan keyakinan. 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement