Opinion
Beranda » Berita » Moderasi Beragama: Jalan Tengah untuk Merawat Persatuan

Moderasi Beragama: Jalan Tengah untuk Merawat Persatuan

Moderasi Beragama: Jalan Tengah untuk Merawat Persatuan
Moderasi Beragama: Jalan Tengah untuk Merawat Persatuan

 

SURAU.CO – Di tengah keberagaman yang membentang dari Sabang hingga Merauke, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Bukan hanya kaya akan budaya, bahasa, dan suku, tetapi juga memiliki keragaman dalam keyakinan. Dalam konteks inilah, moderasi beragama hadir sebagai kunci penting untuk menjaga harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara.

Moderasi beragama bukan berarti melemahkan iman atau mengurangi ketaatan pada ajaran agama. Justru sebaliknya, moderasi adalah sikap yang mengajarkan kita untuk menjalankan keyakinan dengan teguh, sekaligus menghormati perbedaan yang ada di sekitar kita. Moderasi adalah seni merawat keseimbangan: setia pada syariat, namun tetap mengedepankan persaudaraan dan persatuan.

Moderasi Bukan Kompromi Akidah

Ada sebagian yang salah memahami moderasi beragama seakan-akan sama dengan mencampuradukkan ajaran atau mengorbankan prinsip keimanan. Padahal, moderasi beragama tidak pernah menuntut seorang Muslim untuk mengurangi ketaatannya kepada Allah. Al-Qur’an sendiri memerintahkan agar kita menjadi umat yang adil, seimbang, dan membawa rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).

Dalam Islam, prinsip tawasuth (jalan tengah), tasamuh (toleransi), dan i’tidal (adil) merupakan fondasi yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Rasulullah ﷺ pun mencontohkan bagaimana beliau tetap teguh pada ajaran Islam, namun mampu hidup berdampingan dengan komunitas Yahudi dan Nasrani di Madinah melalui Piagam Madinah.

Moderasi untuk Persaudaraan

Moderasi beragama adalah cara untuk menjembatani perbedaan dan menghindari ekstremisme. Ketika seseorang hanya melihat agamanya secara hitam-putih tanpa ruang dialog, maka lahirlah sikap intoleran. Sebaliknya, jika terlalu longgar dalam memaknai agama hingga menghilangkan nilai syariat, maka lahirlah sikap liberal yang jauh dari tuntunan agama.

Moderasi hadir untuk menjaga keseimbangan:

Tanpa mengurangi keimanan, kita tetap merawat persaudaraan.
Tanpa meninggalkan syariat, kita tetap menjaga persatuan.
Urgensi di Indonesia

Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, Indonesia membutuhkan moderasi beragama sebagai fondasi harmoni sosial. Konflik horizontal, ujaran kebencian berbasis agama, dan intoleransi hanya akan melemahkan sendi-sendi kebangsaan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Penyuluh agama, ulama, tokoh masyarakat, hingga pendidik memiliki peran strategis untuk mengajarkan nilai moderasi ini. Melalui dakwah, literasi, dan teladan dalam kehidupan sehari-hari, pesan damai agama dapat membumi dan menenteramkan.

Penutup: Menegakkan Syariat tanpa Meruntuhkan Persatuan

Moderasi beragama bukanlah slogan kosong. Ia adalah laku hidup, cara pandang, dan strategi kebangsaan untuk menjaga persatuan di tengah keragaman.

Dengan moderasi, kita belajar menghormati perbedaan tanpa kehilangan jati diri, menjaga persaudaraan tanpa melemahkan iman, dan menegakkan syariat tanpa meruntuhkan persatuan.

Karena pada akhirnya, Indonesia akan tetap kuat jika masyarakatnya mampu bersatu di atas perbedaan. Dan kunci dari semua itu adalah moderasi beragama.

 

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

 

 

 


Duduk di Kedai Kopi, Menyulam Waktu di Kota Sagu Selatpanjang.

Ada sesuatu yang khas ketika kita melangkahkan kaki ke sebuah kedai kopi di Kota Sagu, Selatpanjang. Ruangan sederhana, meja bundar dengan kursi plastik merah, suara sendok beradu dengan gelas kaca, dan aroma kopi yang bercampur dengan gurihnya gorengan, menciptakan suasana yang begitu akrab. Di sinilah denyut kehidupan masyarakat kota kecil itu terasa nyata.

Bagi banyak orang, kedai kopi bukan sekadar tempat menyeruput secangkir minuman panas. Ia adalah ruang silaturahmi, tempat bertukar cerita, dan forum musyawarah sederhana. Di meja bundar ini, orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat bisa duduk bersama tanpa sekat: nelayan, pedagang, pegawai, hingga anak muda yang sekadar singgah mencari suasana.

Di Selatpanjang, julukan “Kota Sagu” bukan hanya sekadar identitas, tetapi juga simbol kearifan lokal. Seperti pohon sagu yang menyatu dengan kehidupan masyarakat pesisir, kedai kopi pun menjadi bagian dari denyut sosial mereka. Setiap percakapan di kedai kopi kadang lebih hangat daripada rapat resmi. Obrolan tentang harga ikan, cuaca di laut, politik lokal, sampai kabar terbaru tentang keluarga, semua berbaur menjadi satu.

Kebersamaan Adalah Harta Paling Berharga

Duduk di kedai kopi di kota ini memberi kita pelajaran tentang kesederhanaan. Tidak ada kemewahan yang berlebihan, hanya kebersamaan yang tulus. Di tengah hiruk pikuk dunia modern, tempat seperti ini menjadi oase. Kita bisa sejenak melupakan beban pekerjaan, meredam penat, dan mengingat kembali bahwa kebahagiaan sering lahir dari hal-hal sederhana: secangkir kopi panas, sepotong pisang goreng, dan tawa sahabat di meja sebelah.

Kedai kopi di Selatpanjang seolah menjadi ruang perjumpaan lintas generasi. Yang tua duduk mengenang masa lalu, yang muda merajut harapan. Ada kesenangan tersendiri melihat bagaimana mereka saling menghargai, mendengar, dan berbagi cerita. Suasana itu mengajarkan bahwa kebersamaan adalah harta paling berharga, jauh lebih nikmat daripada kopi itu sendiri.

Maka, ketika kita duduk di kedai kopi di Kota Sagu, sesungguhnya kita sedang belajar: belajar tentang kehidupan yang sederhana, kebersamaan yang hangat, dan rasa syukur atas nikmat kecil yang sering kita lupakan. Karena di balik secangkir kopi, tersimpan kisah dan makna yang lebih dalam—tentang manusia, persaudaraan, dan kehidupan yang terus berjalan. Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat, (Tengku Iskandar, M. Pd)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement