Opinion
Beranda » Berita » Menyulam Waktu di Kota Sagu Selatpanjang

Menyulam Waktu di Kota Sagu Selatpanjang

Duduk di Kedai Kopi, Menyulam Waktu di Kota Sagu Selatpanjang
Duduk di Kedai Kopi, Menyulam Waktu di Kota Sagu Selatpanjang

 

SURAU.CO – Ada sesuatu yang khas ketika kita melangkahkan kaki ke sebuah kedai kopi di Kota Sagu, Selatpanjang. Ruangan sederhana, meja bundar dengan kursi plastik merah, suara sendok beradu dengan gelas kaca, dan aroma kopi yang bercampur dengan gurihnya gorengan, menciptakan suasana yang begitu akrab. Di sinilah denyut kehidupan masyarakat kota kecil itu terasa nyata.

Ruang Silaturahmi dan Forum Musyawarah

Bagi banyak orang, kedai kopi bukan sekadar tempat menyeruput secangkir minuman panas. Ia adalah ruang silaturahmi, tempat bertukar cerita, dan forum musyawarah sederhana.

Di meja bundar ini, orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat bisa duduk bersama tanpa sekat: nelayan, pedagang, pegawai, hingga anak muda yang sekadar singgah mencari suasana.

Di Selatpanjang, julukan “Kota Sagu” bukan hanya sekadar identitas, tetapi juga simbol kearifan lokal. Seperti pohon sagu yang menyatu dengan kehidupan masyarakat pesisir, kedai kopi pun menjadi bagian dari denyut sosial mereka. Setiap percakapan di kedai kopi kadang lebih hangat daripada rapat resmi. Obrolan tentang harga ikan, cuaca di laut, politik lokal, sampai kabar terbaru tentang keluarga, semua berbaur menjadi satu.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Pelajaran Tentang Kesederhanaan

Duduk di kedai kopi di kota ini memberi kita pelajaran tentang kesederhanaan. Tidak ada kemewahan yang berlebihan, hanya kebersamaan yang tulus. Di tengah hiruk pikuk dunia modern, tempat seperti ini menjadi oase. Kita bisa sejenak melupakan beban pekerjaan, meredam penat, dan mengingat kembali bahwa kebahagiaan sering lahir dari hal-hal sederhana: secangkir kopi panas, sepotong pisang goreng, dan tawa sahabat di meja sebelah.

Kedai kopi di Selatpanjang seolah menjadi ruang perjumpaan lintas generasi. Yang tua duduk mengenang masa lalu, yang muda merajut harapan. Ada kesenangan tersendiri melihat bagaimana mereka saling menghargai, mendengar, dan berbagi cerita. Suasana itu mengajarkan bahwa kebersamaan adalah harta paling berharga, jauh lebih nikmat daripada kopi itu sendiri.

Maka, ketika kita duduk di kedai kopi di Kota Sagu, sesungguhnya kita sedang belajar: belajar tentang kehidupan yang sederhana, kebersamaan yang hangat, dan rasa syukur atas nikmat kecil yang sering kita lupakan. Karena di balik secangkir kopi, tersimpan kisah dan makna yang lebih dalam—tentang manusia, persaudaraan, dan kehidupan yang terus berjalan. (Zulkhairi, Alhafiz Lc)

 

 

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

 

 


Warung Kopi dan Kehangatan yang Tertinggal

Di sudut sebuah kota kecil, ada warung sederhana yang menjadi saksi perjalanan banyak orang. Kursi plastik merah tersusun mengelilingi meja bundar, dinding hijau tua dengan cat yang mulai pudar, dan cahaya sore yang masuk dari pintu terbuka menciptakan nuansa hangat meski sangat sederhana.

Warung kopi atau rumah makan seperti ini seringkali tampak biasa saja bagi sebagian orang. Namun, di sanalah sesungguhnya kehidupan sosial masyarakat berdenyut. Orang-orang datang bukan hanya untuk makan atau minum, tapi juga untuk bertemu, berbincang, melepas lelah, bahkan sekadar menyendiri ditemani secangkir kopi.

Semangat Mencari Rezeki Yang Halal

Ada bapak tua dengan topi sederhana yang baru masuk, seolah menyapa ruang yang sudah akrab baginya. Di pojok lain, seorang ibu dengan kerudung duduk tenang, mungkin menunggu pesanan, atau sekadar menikmati jeda setelah aktivitas panjang. Sementara di balik meja kasir, dua perempuan sibuk mengatur pesanan, wajah mereka menandakan keletihan yang bercampur dengan semangat mencari rezeki halal.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Warung sederhana seperti ini adalah potret nyata dari kehidupan rakyat kecil: jujur, tulus, dan penuh cerita. Tak ada meja mewah, tak ada lampu gantung elegan, tapi selalu ada rasa hangat yang sulit tergantikan. Mungkin inilah salah satu rahasia bertahannya warung tradisional di tengah maraknya kafe modern. Bukan sekadar tempat makan, tapi ruang silaturahmi, tempat berbagi cerita, dan kadang menjadi pelipur lelah di tengah kerasnya kehidupan.

Bagi kita, mampir ke warung sederhana adalah kesempatan belajar. Belajar tentang syukur, kesederhanaan, dan makna kebersamaan. Sebab di balik hiruk pikuk dunia modern, tempat seperti ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati seringkali hadir dalam bentuk yang paling sederhana. Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat, (Tengku Iskandar, M. Pd)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement