Ikhlas adalah rahasia terdalam dari hati seorang hamba. Imam al-Nawawī dalam Bustān al-‘Ārifīn menegaskan bahwa ikhlas bukan sekadar ucapan, melainkan keadaan jiwa yang menyerahkan segalanya hanya kepada Allah. Oleh karena itu, ikhlas tidak cukup berhenti pada lisan, ia harus hadir dalam niat, sikap, dan amal.
Di tengah hiruk-pikuk sosial Indonesia, banyak orang berlomba berbuat baik. Namun, sebagian justru terjebak pada tepuk tangan dan pengakuan. Padahal, amal sejati lahir dari hati yang bersih, bukan dari kerinduan akan sorakan manusia. Sebagaimana bunga yang mekar tanpa menuntut pujian, amal ikhlas seharusnya tumbuh dengan tenang tanpa haus pengakuan.
Ikhlas sebagai Inti Ibadah
Imam al-Nawawī menegaskan bahwa ikhlas adalah ruh dari segala amal. Tanpa ikhlas, amal hanya menjadi tubuh tanpa jiwa. Beliau mengutip hadis Nabi ﷺ:
“إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى”
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.”
Hadis ini mengingatkan kita untuk menimbang ulang tujuan hidup. Misalnya, ketika shalat, apakah hanya gerakan tubuh yang ingin diperlihatkan, atau benar-benar sebuah penghambaan? Demikian juga saat bersedekah, apakah hati terdorong ingin dikenal dermawan, atau hanya berharap ridha Sang Pemberi rezeki?
Bayangan Sosial di Negeri Ramai Pujian
Fenomena berbagi di masyarakat kita sering terikat dengan dokumentasi. Banyak orang mengabadikan momen kebaikan untuk dibagikan di media sosial. Niatnya baik, namun ada risiko tercampurnya ikhlas dengan pujian.
Imam al-Nawawī mengingatkan dengan kalimat tajam:
“العمل لأجل الناس رياء، وترك العمل لأجل الناس شرك، والإخلاص أن يعافيك الله منهما”
“Beramal demi manusia adalah riya’, meninggalkan amal karena manusia adalah syirik, sedangkan ikhlas ialah Allah menyelamatkanmu dari keduanya.”
Artinya, kita tetap perlu beramal meski orang lain melihat, tetapi jangan menjadikan pandangan mereka sebagai tujuan.
Ikhlas dan Kesunyian Hati
Ikhlas sering tumbuh dalam kesunyian. Sebab, dalam sunyi, manusia belajar lepas dari tatapan dunia. Imam al-Nawawī menulis:
“أخفوا حسناتكم كما تخفون سيئاتكم”
“Sembunyikanlah amal baik kalian sebagaimana kalian menyembunyikan dosa-dosa kalian.”
Nasihat ini sangat relevan di era media sosial. Apalagi, banyak anak muda gelisah bila kebaikannya tak diakui. Padahal, amal tersembunyi lebih indah di mata Allah karena hanya Dia yang menjadi saksi.
Ikhlas dalam Ujian Hidup
Ikhlas juga hadir dalam menerima takdir. Ketika musibah datang, orang yang ikhlas tidak larut dalam keluhan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ”
“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman, karena semua urusannya adalah baik.” (HR. Muslim)
Dengan demikian, penerimaan ikhlas menjadikan musibah sebagai ladang pahala, bukan sekadar luka yang membekas.
Cermin yang Hanya Memantulkan Allah
Ikhlas dapat diibaratkan cermin. Jika cermin dipenuhi debu ego, ia tidak mampu memantulkan cahaya dengan jernih. Hati manusia pun begitu. Sebaliknya, bila hati dibersihkan dari ambisi dunia, ia hanya memantulkan keindahan Allah.
Imam al-Nawawī menulis dengan lembut:
“الإخلاص سر بين العبد وربه لا يعلمه ملك فيكتبه، ولا شيطان فيفسده، ولا هوى فيميله”
“Ikhlas adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya, yang tidak diketahui malaikat untuk dituliskan, tidak pula setan untuk merusaknya, dan tidak pula hawa nafsu untuk membelokkannya.”
Inilah puncak perjalanan spiritual: amal tak lagi terikat dunia, melainkan murni untuk Allah semata.
Refleksi Kehidupan Sehari-hari
Ikhlas tidak berhenti pada teori. Ia dapat tumbuh dalam aktivitas sederhana. Misalnya, pedagang yang jujur, guru yang tulus mendidik, atau ibu yang penuh cinta merawat anaknya. Semua itu mencerminkan ikhlas yang lebih nyata daripada sekadar ucapan.
Dalam masyarakat Indonesia yang religius, ikhlas dapat menjadi perekat sosial. Karena itu, jika setiap amal dijalankan dengan ketulusan, kehidupan akan dipenuhi kasih sayang, tanpa terjebak pada persaingan pengakuan.
Menyulam Ikhlas dalam Diri
Ikhlas tidak datang seketika. Ia perlu dilatih terus-menerus. Salah satu jalannya adalah dengan mengingat Allah dalam setiap langkah. Al-Qur’an memberi pedoman melalui ayat:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-An‘ām: 162)
Ayat ini menjadi kompas hati. Dengan kata lain, hidup bukan sekadar rangkaian peristiwa, melainkan perjalanan menuju Dia.
Penutup: Menjadi Jiwa yang Tenang
Ikhlas adalah kekayaan yang tak bisa dicuri dan ketulusan yang tak bisa dipalsukan. Dari ajaran Imam al-Nawawī, kita belajar bahwa ikhlas bukan meninggalkan dunia, melainkan membersihkan niat agar dunia tidak mengotori hati.
Pada akhirnya, dalam kehidupan yang penuh sorak-sorai, ikhlas adalah kesunyian yang damai. Ia menjadikan manusia seperti cermin bening, tempat cahaya Allah terpantul tanpa noda. Barangsiapa mampu meraih ikhlas, ia telah menemukan mutiara yang lebih berharga daripada emas.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
