Sanggul, sebuah tata rias rambut yang khas, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai budaya di dunia. Dari zaman kuno hingga era modern, sanggul menghiasi kepala para wanita, melambangkan keanggunan, status sosial, atau sekadar gaya pribadi. Di Indonesia, sanggul bahkan menjadi simbol kecantikan dan bagian dari adat istiadat. Namun, bagaimana Islam memandang wanita yang mengenakan sanggul? Pertanyaan ini sering muncul di kalangan Muslimah. Artikel ini akan mengupas tuntas pandangan Islam mengenai sanggul, menilik dari berbagai sudut pandang syariat dan konteksnya.
Landasan Syariat: Aurat dan Perhiasan Wanita dalam Islam
Sebelum membahas sanggul secara spesifik, penting untuk memahami prinsip dasar dalam Islam mengenai aurat dan perhiasan wanita. Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW telah menetapkan batasan-batasan tertentu. Tujuan utamanya adalah menjaga kehormatan dan kemuliaan wanita.
Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nur ayat 31:
“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka…’”
Ayat ini menjadi dasar utama. Wanita Muslimah wajib menutupi auratnya. Rambut termasuk dalam kategori aurat wanita yang harus ditutup. Ini berlaku di hadapan non-mahram.
Sanggul dan Penutup Kepala: Interpretasi Ulama
Lalu, bagaimana sanggul ditempatkan dalam konteks ini? Para ulama memiliki beberapa pandangan. Intinya, mereka mempertimbangkan tujuan dan bentuk sanggul itu sendiri.
1. Sanggul yang Tidak Menarik Perhatian dan Tertutup Jilbab
Mayoritas ulama berpendapat, sanggul itu boleh. Asal, sanggul itu tidak menarik perhatian. Sanggul juga harus tertutup rapat oleh jilbab. Sanggul bukan perhiasan yang mencolok. Ia tidak memperlihatkan lekuk rambut secara berlebihan. Jika sanggul itu tetap di dalam jilbab, hukumnya adalah boleh. Ini tidak melanggar syariat Islam.
2. Sanggul yang Berlebihan dan Menyerupai Punuk Unta
Namun, ada kekhawatiran dari beberapa ulama. Mereka mengacu pada hadis Nabi Muhammad SAW. Hadis ini menyebutkan tentang wanita yang memakai sanggul tinggi. Sanggul itu menyerupai punuk unta.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya; (yaitu) suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia, dan para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berjalan melenggang-lenggokkan badannya dan rambutnya digelung (disanggul) seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan mencium baunya. Padahal bau surga dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Hadis ini sering menjadi rujukan utama. Para ulama menafsirkan hadis ini dengan hati-hati. Mereka memahami konteksnya.
Poin-Poin Penting dalam Penafsiran Hadis:
-
Pakaian Tapi Telanjang: Ini merujuk pada pakaian tipis atau ketat. Pakaian itu memperlihatkan bentuk tubuh. Pakaian itu tidak menutup aurat secara sempurna.
-
Punuk Unta yang Miring: Bagian ini menjadi fokus utama. Ulama menafsirkan “punuk unta” sebagai sanggul yang sangat tinggi. Sanggul itu mengundang perhatian. Sanggul itu menyerupai punuk unta.
-
Tujuan dan Niat: Niat wanita memakai sanggul menjadi penting. Apakah untuk berhias secara berlebihan? Apakah untuk pamer? Jika demikian, itu dilarang.
3. Pendapat Kontemporer dan Relevansi di Era Modern
Di era modern, gaya rambut sangat beragam. Sanggul juga hadir dalam berbagai bentuk. Para ulama kontemporer mempertimbangkan ini. Mereka menekankan keseimbangan. Keseimbangan antara adat istiadat dan syariat.
Sanggul yang sederhana tidak masalah. tidak berlebihan. tidak menarik perhatian non-mahram. Ini sesuai dengan prinsip Islam. Sanggul juga harus tertutup jilbab. Jika sanggul berfungsi untuk merapikan rambut, ini tidak dilarang.
Namun, jika sanggul itu sangat tinggi, ulama mengingatkan. Terutama jika menonjol keluar dari jilbab. Ini bisa masuk dalam kategori yang dilarang hadis. Hal ini karena menarik perhatian. Ia juga menyerupai “punuk unta.”
Perbandingan dengan Budaya Lokal: Antara Syariat dan Adat
Di Indonesia, sanggul memiliki nilai budaya tinggi. Ia sering digunakan dalam acara adat. Ia juga digunakan dalam pernikahan. Wanita Muslimah sering menghadapi dilema. Mereka ingin menjaga adat. Mereka juga ingin patuh syariat.
Penting bagi Muslimah mencari solusi. Mereka bisa memakai sanggul yang tidak berlebihan. Mereka bisa memastikan sanggul tertutup jilbab. Ini menunjukkan ketaatan mereka. Mereka tetap menghargai budaya.
Kesimpulan: Fleksibilitas dengan Batasan Syariat
Islam adalah agama yang fleksibel. Ia menghargai keindahan dan kerapian. Namun, Islam juga menetapkan batasan. Batasan ini untuk menjaga kemuliaan wanita.
Jadi, wanita Muslimah boleh memakai sanggul. Syaratnya, sanggul itu tidak berlebihan. Sanggul itu tidak menyerupai “punuk unta.” Sanggul itu juga harus tertutup jilbab. Niat dalam memakai sanggul juga penting. bukan untuk pamer. bukan untuk menarik perhatian. Jika syarat-syarat ini terpenuhi, sanggul adalah bagian dari kerapian diri. Ia tetap dalam koridor syariat.
Setiap Muslimah bertanggung jawab. Mereka harus memahami syariat. Mereka harus mengambil keputusan. Keputusan itu sesuai dengan keyakinan mereka. Ini juga sesuai dengan bimbingan para ulama. Allah SWT lebih mengetahui segala sesuatu.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
