Khazanah
Beranda » Berita » Zuhud: Menanggalkan Mahkota Dunia untuk Senyum Allah

Zuhud: Menanggalkan Mahkota Dunia untuk Senyum Allah

Ilustrasi zuhud menanggalkan mahkota dunia demi cahaya Allah
Ilustrasi realis-filosofis, seorang lelaki melepaskan mahkota dunia di jalan, lalu berjalan ringan menuju cahaya.

Surau.co. Di tengah hiruk pikuk dunia, manusia sering terjebak pada ambisi tak bertepi: rumah lebih besar, kendaraan lebih mewah, jabatan lebih tinggi. Namun, semakin dikejar, semakin terasa jauh dari kebahagiaan. Dari sinilah makna zuhud hadir: bukan meninggalkan dunia, tetapi menanggalkan keterikatan pada gemerlapnya, agar hati hanya condong kepada Allah.

Imam al-Nawawī dalam Bustān al-‘Ārifīn menjelaskan bahwa zuhud adalah sikap seorang hamba yang memandang dunia sebagai perhiasan sementara, dan tidak menjadikan kenikmatannya sebagai tujuan akhir. Dunia hanyalah ladang, bukan istana. Ladang untuk menanam amal, bukan singgasana untuk bermegah.

Harta yang Tak Pernah Membuat Kenyang

Di banyak sudut Indonesia, kita bisa melihat fenomena sederhana. Seorang pedagang kecil tersenyum puas meski hanya membawa pulang hasil pas-pasan. Sementara di sisi lain, ada orang yang bergelimang harta namun wajahnya selalu muram. Ini adalah gambaran nyata betapa hati lebih menentukan ketenangan dibanding jumlah kekayaan.

Imam al-Nawawī menukil sebuah hikmah mendalam:

مَنْ أَحَبَّ الدُّنْيَا ضَرَّ بِآخِرَتِهِ، وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ ضَرَّ بِدُنْيَاهُ، فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى
“Barang siapa mencintai dunia, ia akan merugikan akhiratnya. Dan barang siapa mencintai akhiratnya, ia akan merugikan dunianya. Maka dahulukanlah yang kekal daripada yang fana.” (Bustān al-‘Ārifīn)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Hikmah ini menampar kesadaran kita. Dunia yang tampak besar sejatinya kecil, sementara akhirat yang sering diabaikan justru lebih luas.

Menjadi Ringan dengan Menanggalkan Beban

Zuhud bukan berarti miskin atau menyerah pada keadaan. Justru zuhud adalah kekayaan jiwa. Seseorang yang zuhud tidak dikendalikan oleh harta, melainkan menjadikan harta sebagai alat ibadah. Ia boleh memiliki dunia, tetapi dunia tidak memiliki dirinya.

Allah berfirman:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 185)

Ayat ini adalah pengingat yang lembut. Dunia hanya mampir sebentar, laksana fatamorgana yang tampak indah dari jauh namun menghilang ketika didekati.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Keindahan Sederhana yang Membebaskan

Budaya konsumtif di kota-kota besar Indonesia telah menciptakan standar palsu tentang kebahagiaan: barang bermerek, gawai terbaru, atau liburan mewah. Padahal, kebahagiaan sejati sering hadir di ruang sederhana: makan bersama keluarga, doa di sepertiga malam, atau senyum anak yang tulus.

Imam al-Nawawī menulis dengan lembut:

الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا قِصَرُ الْأَمَلِ وَشُكْرُ كُلِّ نِعْمَةٍ
“Zuhud dalam dunia adalah pendek angan-angan dan bersyukur atas setiap nikmat.” (Bustān al-‘Ārifīn)

Betapa indahnya kalimat ini. Zuhud tidak menuntut kita membuang dunia, cukup dengan memangkas angan-angan yang terlalu jauh dan memperbanyak syukur atas apa yang sudah ada.

Hati yang Tenang, Bukan Tangan yang Kosong

Zuhud tidak diukur dari sedikitnya kepemilikan, melainkan dari lapangnya hati. Seorang kaya bisa zuhud jika kekayaannya tidak membuatnya sombong dan ia tetap rendah hati. Sebaliknya, seseorang yang miskin bisa terikat pada dunia jika hatinya dipenuhi iri dan tamak.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Imam al-Nawawī mengingatkan:

لَيْسَ الزُّهْدُ بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ، وَلَكِنِ الزُّهْدُ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِمَّا فِي يَدِكَ
“Zuhud itu bukan mengharamkan yang halal dan bukan pula menyia-nyiakan harta. Tetapi zuhud adalah ketika engkau lebih percaya pada apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tanganmu.” (Bustān al-‘Ārifīn)

Inilah keseimbangan: dunia tetap di tangan, namun hati tertambat kepada Allah.

Mengubah Dunia Menjadi Jalan Menuju Akhirat

Zuhud sejati adalah menjadikan dunia sebagai jembatan. Orang yang zuhud tidak memutuskan hubungan dengan kehidupan, ia tetap berkeluarga, bekerja, berdagang, atau menuntut ilmu. Namun, semua itu ia lakukan sebagai bentuk pengabdian, bukan kebanggaan.

Dalam masyarakat kita, sikap ini sangat relevan. Seorang pegawai yang zuhud bekerja dengan jujur tanpa tergoda suap. Seorang pedagang yang zuhud tidak menipu timbangan. Seorang pejabat yang zuhud tidak menjadikan jabatannya sebagai ladang memperkaya diri, melainkan ladang berbuat baik.

Penutup: Senyum Allah sebagai Mahkota Sejati

Zuhud adalah seni membebaskan diri dari jerat dunia, agar kita bisa menatap wajah Allah dengan hati yang jernih. Dunia hanya persinggahan, sedangkan akhirat adalah rumah yang kekal. Orang yang zuhud telah menanggalkan mahkota semu dunia, demi mengenakan mahkota yang sejati: senyum Allah di hari perjumpaan.

Ketika seseorang menapaki jalan zuhud, ia sesungguhnya sedang menanggalkan beban. Ia berjalan ringan, karena tidak terikat pada yang fana. Ia bebas dari iri, bebas dari takut kehilangan, dan bebas dari kecemasan. Dan kebebasan itu adalah harta yang lebih mahal daripada seluruh emas di bumi.

 

* Reza AS

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement