SURAU.CO – Bagi kalangan umat Islam yang akrab dengan dunia tasawuf, nama Syekh Abul Qasim Junaid al-Baghdadi tentu tidak asing lagi. Beliau dikenal luas sebagai salah satu tokoh besar di dunia sufi, bahkan disebut sebagai “Sayyiduth Thaifah” atau pemimpin para sufi pada masanya. Dalam berbagai majelis dzikir dan hadrah, namanya sering disebut tepat setelah Suthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Penyebutan ini menjadi tanda betapa tingginya kedudukan beliau di mata para salik, orang-orang yang menempuh jalan spiritual.
Namun, sedikit orang yang mengetahui bahwa di balik kewaliannya, Junaid al-Baghdadi memiliki kisah unik. Ia bukan hanya seorang alim yang mendalami ilmunya, tetapi juga pernah dikenal sebagai pegulat tangguh yang disegani di Kota Bagdad. Kisah perjalanan hidupnya menggambarkan bagaimana Allah Swt. mengangkat derajat seorang hamba, bukan karena kekuatan fisiknya, melainkan karena ketulusan hatinya dalam membantu keturunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pegulat Tangguh yang Ditakuti Lawan
Pada masa mudanya, Abul Qasim Junaid al-Baghdadi terkenal sebagai pegulat yang tidak pernah terkalahkan. Kehebatannya begitu masyhur di kalangan masyarakat Bagdad. Setiap lawan yang mencoba menantangnya pasti tumbang di tangan. Nama Junaid pun disegani, bukan hanya oleh rakyat biasa, melainkan juga oleh para bangsawan.
Melihat kehebatannya, sang raja pada masa itu membuat sebuah sayembara. Barang siapa yang mampu mengalahkan Junaid, ia akan diberi hadiah besar. Sayembara ini dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru kota. Namun, semua orang tahu betapa mustahilnya menguasai penguasaan Abul Qasim. Tidak ada satu pun yang berani maju, karena membahayakan nyawa hanya demi hadiah terasa sia-sia.
Lelaki Tua Keturunan Rasulullah
Di tengah keraguan banyak orang, muncullah seorang lelaki tua berusia sekitar 65 tahun. Ia bukan orang sembarangan. Lelaki itu adalah keturunan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Meski nasabnya mulia, kehidupannya sangat memprihatinkan. Beberapa hari terakhir, keluarganya tidak makan karena kesulitan ekonomi yang menghimpit.
Dengan tekad bulat, ia memutuskan untuk mengikuti sayembara. Bukan karena ingin terkenal, melainkan karena dorongan rasa cinta pada keluarganya. Demi membawa pulang hadiah agar keluarganya dapat makan, ia rela mempertaruhkan nyawanya di hadapan sang pegulat tangguh, Abul Qasim.
Saat hari pertarungan tiba, orang-orang berbondong-bondong datang untuk menyaksikan. Siapa mereka yang berani melawan Junaid. Ternyata hanya lelaki tua itu yang berdiri di arena, sementara yang lain memilih menghindar.
Rahasia Bisikan di Arena Pertarungan
Sebelum pertandingan dimulai, sebagaimana adatnya, kedua lawan saling memberi salam hormat. Pada saat inilah lelaki tua itu berbisik kepada Junaid. Dengan suara lirih, ia berkata:
“Wahai Abul Qasim, aku tahu engkau pegulat terhebat di Bagdad. Aku pun sadar, mustahil untuk mengalahkanmu. Namun, ketahuilah alasanku datang ke sini. Aku adalah cucu Rasulullah. Beberapa hari terakhir keluargaku tidak makan. Aku memohon padamu, biarkan aku menang hari ini agar aku dapat membawa pulang hadiah sayembara untuk menyelamatkan keluargaku.”
Mendengar bisikan itu, hati Junaid tersentuh. Ia tidak menyangka, ada keturunan Rasulullah yang hidup dalam keadaan sedemikian sulit. Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk memenuhi permintaan lelaki itu. Bagi Junaid, memuliakan dzurriyah Rasulullah lebih mulia daripada mempertahankan gengsi sebagai pegulat tak terkalahkan.
Kekalahan yang Membawa Kehormatan
Pertarungan pun dimulai. Di hadapan bayangan, Abul Qasim Junaid berpura-pura kalah. Dengan sengaja ia memberi peluang kepada lawannya untuk menjatuhkannya. Orang-orang yang menyaksikannya sontak terkejut. Bagaimana mungkin seorang pegulat hebat yang tak terkalahkan selama ini bisa tumbang oleh pukulan lelaki tua?
Sorak sorai memenuhi arena. Banyak yang menghina Junaid. Mereka mengira telah kehilangan kemampuan dan tidak pantas lagi menyandang gelar pegulat terhebat. Namun, Junaid sama sekali tidak marah. Ia justru bersyukur, karena dengan cara itu ia bisa membantu keturunan Rasulullah mendapatkan rezeki halal untuk keluarganya.
Lelaki tua itu pun membawa pulang hadiah besar dari sayembara. Dengan penuh kebahagiaan, ia bisa memberi makan keluarganya yang sudah berhari-hari kelaparan. Sementara itu, Junaid tetap diam menahan cibiran orang-orang. Ia memilih merahasiakan alasan sebenarnya di balik kekalahannya.
Mimpi Bertemu Rasulullah
Beberapa malam kemudian, Junaid al-Baghdadi mengalami mimpi yang sangat indah. Dalam mimpinya, ia melihat seorang lelaki dengan wajah penuh cahaya dan keteduhan yang tak terlukiskan. Cahayanya tidak menyilaukan, melainkan menenangkan hati. Lelaki tersebut tidak lain adalah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Dalam mimpi itu, Rasulullah berkata kepadanya:
“Wahai Junaid, mulai malam ini Allah mengangkatmu sebagai wali-Nya, kekasih-Nya. Bukan karena kekuatanmu sebagai pegulat, melainkan karena engkau rela menolong dzurriyahku dengan penuh keikhlasan.”
Junaid terbangun dengan hati penuh haru. Ia menyadari bahwa kemuliaan di sisi Allah bukan terletak pada kekuatan fisik, jabatan, atau pujian manusia. Kewalian datang ketika seorang hamba ikhlas membantu sesama, terlebih lagi membantu keturunan Rasulullah.
Setelah peristiwa itu, Junaid al-Baghdadi semakin dikenal bukan hanya sebagai pegulat, melainkan juga sebagai sufi besar. Ia menekuni ilmu tasawuf dan menjadi guru bagi banyak murid. Ajaran-ajarannya menekankan keseimbangan antara syariat, hakikat, dan akhlak. Ia menolak sikap berlebihan dalam beragama dan mengajarkan pentingnya menjalani jalan spiritual dengan tetap berpijak pada Al-Qur’an dan sunnah.
(heni: Dikutip dari salah satu kitab klasik tasawuf yang memuat biografi dan ajaran Imam JunaidAl-Risalah al-Qushayriyyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf )
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
