SURAU.CO – Abu Bakar al-Syibli, seorang sufi besar yang hidup di Bagdad pada abad ke-10, meninggalkan kisah sederhana yang penuh pelajaran. Kisah ini menyingkap makna kedermawanan, pengorbanan, dan cara Allah SWT menguji hati manusia.
Suatu hari, Abu Bakar al-Syibli duduk santai. Tiba-tiba ia mendengar bisikan di dalam hatinya, “Engkau orang yang bakhil (pelit).” Bisikan itu langsung menggemparkan batinnya. Akalnya segera membantah dan ia mencoba meyakinkan diri bahwa ia bukan orang pelit. Namun, suara hatinya terus mengulangi tuduhan itu.
Ia tidak membiarkan gejolak batin itu berlarut-larut. Ia yakin harus membuktikan dirinya. Dalam hatinya, ia bertekad bahwa jika suatu hari ia memperoleh harta, ia akan memberikan harta itu kepada orang fakir yang pertama ia temui. Dengan tekad itu, ia ingin menepis tuduhan batinnya sendiri.
Ujian yang Datang Tiba-Tiba
Tidak lama kemudian, seorang sahabat datang kepadanya. Sahabatnya membawa uang sebanyak lima puluh dinar—jumlah yang sangat besar pada masa itu—dan berkata, “Pakai uang ini untuk memenuhi kebutuhanmu!”
Al-Syibli mengingat niatnya. Ia memilih untuk tidak memakai uang itu untuk dirinya sendiri. Ia segera keluar rumah dan mencari orang fakir pertama yang ia temui. Benar saja, di jalan ia bertemu dengan seorang pengemis buta yang sedang mengukur rambut di sebuah tempat cukur.
Al-Syibli langsung menyerahkan bungkusan berisi lima puluh dinar itu kepada si buta. Namun, pengemis itu menolak. Ia malah menyarankan agar al-Syibli memberikan uang tersebut kepada tukang cukur sebagai ongkos jasa mencukur.
Ujian Kedua
Saran itu kembali menggemparkan hati al-Syibli. Ia merasa jumlah lima puluh dinar terlalu besar hanya untuk ongkos cukur. Ia pun menolak ide tersebut. Tetapi pengemis buta itu seperti membaca isi hati. Dengan tegas ia berkata, “Tidak salah memang, kamu memang orang yang pelit.”
Ucapan itu membuat al-Syibli tersentak. Demi menepis tuduhan tersebut, ia rela memberikan uang itu kepada tukang cukur. Namun, tukang cukur menolak dengan tegas. Ia berkata bahwa sejak awal ia sudah berniat tidak mengambil bayaran darinya.
Setelah dua kali gagal, al-Syibli tidak menemukan jalan keluar. Ia pun melemparkan seluruh uang lima puluh dinar itu ke Sungai Tigris. Sambil melemparkan uang tersebut, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Siapa saja yang menganggapmu (wahai uang) mulia, maka Allah akan menghinanya.”
Ibnu Fadhlillah al-Umari mencatat kisah ini dalam Masalik al-Abshar fii Mamalik al-Amshar. Ia menegaskan bahwa Allah mendidik hati para wali-Nya melalui jalan yang tidak biasa.
Seni Memberi: Dari Berat Menjadi Ikhlas
Di masa kini, banyak orang yang merasa berat untuk memberi, apalagi ketika kondisi ekonomi sedang sulit. Namun, justru di situlah letak nilai pahala. Rasulullah SAW bersabda:
“Tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Dan permulaan dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-baiknya sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak gemetar. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaganya, dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya.” (HR.Bukhari).
Hadis ini menegaskan bahwa sedekah terbaik lahir bukan karena seseorang memiliki kelebihan, melainkan karena ia rela melepaskan sesuatu yang sebenarnya ia butuhkan. Ketika seseorang memberi dalam kondisi sulit, nilai kebaikannya justru lebih tinggi daripada saat ia memberi dalam kelapangan.
Hikmah di Balik Kisah
Kisah Abu Bakar al-Syibli mengajarkan bahwa pelit bukan hanya soal menolak memberi, tetapi juga soal ketulusan hati untuk berkorban. Allah menguji al-Syibli bukan pada jumlah yang ia berikan, melainkan pada keralaannya untuk melepaskan harta tanpa perhitungan duniawi.
Ketika ia membuang uang ke sungai, ia tidak sekadar menyia-nyiakan harta. Ia menegaskan bahwa manusia tidak boleh mengagungkan harta. Harta hanyalah titipan yang sewaktu-waktu harus kita lepaskan.
Manusia memang mudah memberi dalam jumlah kecil. Namun, ketika ia harus melepaskan harta yang besar, bisikan pelit sering muncul dalam hati. Al-Suyuti dalam Al-Asybah wa Al-Nadzhair menegaskan, “Amalan yang lebih banyak pengorbanannya, maka lebih banyak pula keutamaannya.” Semakin besar pengorbanan seseorang, semakin tinggi pula nilai amalnya di sisi Allah.
Pelajaran ini selaras dengan firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 92:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada rahmat (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
