Surau.co. Abu Sulaymān al-Dārānī adalah salah satu tokoh besar tasawuf yang hidup dalam keheningan doa. Kisah hidupnya diabadikan dalam Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’ karya Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī. Dari lembah sunyi Damaskus, ia menyalakan obor cinta kepada Allah dengan linangan air mata dan doa yang tak pernah padam. Nama Abu Sulaymān bukan sekadar simbol kesalehan, melainkan kisah tentang hati yang tunduk, jiwa yang rela, dan tubuh yang letih karena sujud panjang di malam hari.
Kehidupan yang Dipenuhi Ibadah
Sejak muda, Abu Sulaymān memilih jalan zuhud. Ia meninggalkan kesenangan duniawi dan lebih suka menyendiri bersama Allah. Dalam Hilyat al-Awliyā’ diriwayatkan:
قال أبو سليمان: إذا جن الليل قمت بين يدي الله، فأبكي على ذنوبي
“Ketika malam turun, aku berdiri di hadapan Allah, lalu menangis karena dosaku.”
Tangisan itu bukan keluhan, melainkan bunga cinta yang mekar di hati seorang hamba. Di tengah masyarakat Indonesia hari ini, banyak orang menganggap tangisan hanya tanda kelemahan. Padahal, seperti Abu Sulaymān, air mata bisa menjadi doa paling dalam, doa yang tidak membutuhkan kata-kata.
Doa yang Menghidupkan Jiwa
Dalam setiap sujudnya, Abu Sulaymān meyakini doa adalah senjata jiwa. Ia berkata sebagaimana dikutip oleh Abū Nu‘aym:
قال: الدعاء سلاح المؤمن، ودموع الليل غنيمته
“Doa adalah senjata orang beriman, dan tangisan malam adalah kemenangan besar baginya.”
Kutipan ini terasa begitu relevan dengan fenomena sosial kita. Banyak orang di negeri ini mencari kemenangan dalam angka-angka materi, jabatan, atau politik. Namun Abu Sulaymān mengingatkan bahwa kemenangan sejati justru terletak pada hati yang bersih dari ambisi dunia.
Menjadi Cermin Bagi Generasi Modern
Hidup modern sering menjauhkan manusia dari kesunyian. Di tengah hiruk-pikuk kota besar, orang jarang menemukan ruang untuk hening. Abu Sulaymān menjadi cermin yang menyadarkan kita bahwa keheningan malam bukan sekadar tidur panjang, melainkan pintu menuju kesadaran Ilahi. Sebagaimana firman Allah:
﴿وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا﴾
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah tahajud sebagai ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Isrā’: 79)
Ayat ini mengingatkan bahwa bangun malam bukan sekadar ibadah sunah, melainkan cara Allah meninggikan derajat seorang hamba.
Tangisan yang Menjadi Cahaya
Abu Sulaymān tidak pernah malu menangis. Ia justru menjadikan air mata sebagai pelita di jalannya. Dalam Hilyat al-Awliyā’ ia berkata:
قال: ما طابت الدنيا إلا بذكر الله، وما طاب الليل إلا بالبكاء بين يديه
“Tidaklah dunia menjadi indah kecuali dengan mengingat Allah, dan tidaklah malam menjadi nikmat kecuali dengan menangis di hadapan-Nya.”
Ungkapan ini adalah teguran lembut bagi kita yang lebih sering menjadikan malam untuk hiburan dangkal. Air mata Abu Sulaymān justru menjadi penawar yang membuat dunia terasa lebih terang.
Warisan Spiritual yang Tak Pernah Padam
Kehidupan Abu Sulaymān adalah bukti bahwa cinta kepada Allah bisa membentuk manusia yang tangguh. Dari doa-doanya, lahirlah murid-murid yang menyalakan jalan tasawuf hingga berabad-abad kemudian. Warisannya bukan harta, bukan jabatan, melainkan hati yang lembut, doa yang tulus, dan tangisan yang menembus langit.
Dalam konteks kita hari ini, Abu Sulaymān mengajarkan bahwa ketenangan sejati tidak akan pernah lahir dari kemewahan dunia, tetapi dari doa yang dipanjatkan dalam kesunyian.
Jalan Pulang Melalui Keheningan
Bagi Abu Sulaymān, doa dan tangisan adalah jalan pulang menuju Allah. Ia pernah berkata:
قال: من لم يجد لذة مناجاة الله في الليل فلن يجدها في النهار
“Barang siapa tidak menemukan nikmat bermunajat kepada Allah di malam hari, ia takkan menemukannya di siang hari.”
Kata-kata ini seperti mata air yang jernih. Ia menuntun siapa pun yang ingin pulang kepada Allah melalui jalan sunyi, jalan yang penuh dengan doa, sujud, dan tangisan yang menghidupkan jiwa.
Penutup
Biografi Abu Sulaymān al-Dārānī dalam Hilyat al-Awliyā’ adalah kisah tentang doa yang menjadi nafas, tangisan yang menjadi cahaya, dan malam yang berubah menjadi surga. Ia adalah guru dalam keheningan, pengingat bagi hati yang lalai, dan teladan bagi siapa pun yang merindukan Allah.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
