SURAU.CO. Dunia Islam selalu bergerak dinamis. Seiring perubahan zaman, pemikiran keislaman pun berkembang, menghadapi beragam tantangan sekaligus membuka peluang baru. Jika di masa klasik umat Islam dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan, filsafat, dan peradaban, maka di era modern ini kita justru dihadapkan pada perdebatan seputar liberalisme, pluralisme, terorisme, hingga kesetaraan gender.
Di Indonesia sendiri, keberagaman Islam semakin menarik dalam konteks perubahan sosial politik kontemporer. Reformasi pasca-Orde Baru 1998 membuka ruang bagi tumbuhnya berbagai kelompok keagamaan, termasuk yang bercorak keras seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Ahmadiyah yang berjejaring lintas negara. Di samping itu, kelompok garis keras lokal seperti Front Pembela Islam (FPI) juga muncul dan menarik pengikut, bahkan ada yang rela meninggalkan keluarga serta harta demi bergabung.
Selain ormas-ormas tersebut, masuknya pengaruh ISIS membuat Indonesia juga menghadapi ancaman lebih ekstrem berupa aksi teror yang menelan korban jiwa, merusak fasilitas umum, dan menebar ketakutan. Fenomena ini membuat wajah Islam Indonesia yang sejatinya moderat, toleran, dan pluralistik, bergeser dalam pandangan luar negeri menjadi keras dan militan. Hal ini tentu menjadi bahan renungan dan diskusi yang menarik.
Islam sejak awal merupakan agama wahyu. Islam bukan sekadar agama budaya, namun juga penjaga budaya. Ajarannya tidak anti terhadap perubahan, justru mendorong umatnya untuk terus berpikir kritis.
Allah Swt. berfirman: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?” (QS. Al-A’raf: 185).
Ayat ini menegaskan bahwa Islam mengajak umatnya untuk mengamati realitas, berpikir, dan mengambil hikmah. Karena itu, menghadapi isu-isu kontemporer, umat Islam harus mampu bersikap rasional, kritis, dan dialogis.
Islam Liberal: Antara Kebebasan dan Batasan
Isu pertama yang sering menjadi pembahasan adalah Islam Liberal. Banyak orang memahami Islam liberal sebagai kebebasan tanpa batas, bahkan sampai pada kesimpulan permisif. Islam liberal memiliki sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang seperti itu, Islam liberal di pandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga
Namun, penting bahwa Islam sejatinya tidak pernah menolak kebebasan berpikir. Rasulullah ﷺ. Bersabda, “Perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat.” (HR. al-Baihaqi).
Hadis ini menunjukkan bahwa perbedaan cara pandang adalah bagian dari dinamika berpikir umat. Islam liberal muncul sebagai upaya menyeimbangkan antara kewajiban dan hak, antara perintah syariat dan kebutuhan kemanusiaan. Namun, tentu saja kebebasan itu tetap berada dalam bingkai Al-Qur’an dan Sunnah.
Di sinilah tantangannya. Jika memahami kebebasan tanpa batas, maka akan menimbulkan kerancuan. Tetapi jika memposisikan kebebasan sebagai sarana menegakkan martabat manusia, maka Islam justru tampak semakin relevan dengan perkembangan zaman.
Islam dan Terorisme: Meluruskan Stigma
Isu kedua adalah terorisme. Sejak tragedi 11 September 2001, pandangan terhadap Islam sering mendekat pada kekerasan. Padahal, istilah terorisme sendiri berasal dari sejarah Eropa, bukan dari khazanah Islam. Kita tidak menemukan definisi terorisme dari kalangan Ulama terdahulu, sebab istilah tersebut bermula dari indelogi Eropa pada masa revolusi Perancis tahun 1789-1794 M
Al-Qur’an dengan tegas melarang tindakan destruktif. “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56).
Ayat ini jelas menolak segala bentuk kekerasan yang merusak kehidupan manusia. Maka, mengaitkan Islam dengan terorisme adalah bentuk penyederhanaan yang keliru.
Namun kita tidak menutup mata bahwa ada kelompok yang menggunakan dalil agama untuk membenarkan kekerasan. Mereka memotong ayat atau hadis sesuai kepentingan, tanpa memahami konteks yang lebih luas. Di sinilah pentingnya sikap moderat (wasathiyah).
Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ bukan untuk menebar teror, tetapi membawa rahmat. “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107).
Dengan demikian, terorisme sejatinya bertolak belakang dengan Islam. Tugas umat Islam kontemporer adalah membuktikan melalui pendidikan, dialog, dan teladan bahwa wajah Islam yang asli adalah damai, toleran, dan penuh kasih.
Pluralisme: Hidup Bersama dalam Perbedaan
Isu ketiga yang tak kalah penting adalah pluralisme. Secara sederhana, pluralisme berarti mengakui adanya keragaman dan hidup rukun dalam perbedaan. Sayangnya, di sebagian kalangan, memahami pluralisme sebagai mencampuradukkan agama. Padahal, memahami pluralisme dalam Islam lebih tepat sebagai sikap toleran dan menghargai sesama.
Berbagai bangsa melihat pluralisme sebagai suatu sistem bagi kehidupan manusia, yang di dasarkan kepada prinsip-prinsip bersama. Pluralisme menjamin sikap saling menghormati berbagai realitas yang plural dan mengakui keragaman orientasi yang dianut warga negara.
Contoh terbaik adalah Piagam Madinah. Rasulullah ﷺ ketika hijrah ke Madinah membangun kesepakatan bersama dengan kaum Yahudi, Nasrani, dan kelompok lain. Semua dijamin haknya, tanpa paksaan untuk masuk Islam.
Allah Swt juga menegaskan: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).
Pluralisme bukan berarti menyamakan semua agama, melainkan menghormati perbedaan. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, pluralisme menjadi modal sosial untuk menjaga kerukunan. Dengan sikap saling menghargai, umat beragama dapat bekerja sama membangun bangsa tanpa kehilangan identitas keyakinannya.
Islam menganjurkan sifat pluralisme sebagai salah satu cara mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis dan sejahtera. Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang-orang yang penuh kasih akan dikasihi oleh Ar Rahman, berkasih sayanglah kepada siapa pun yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan mencintai kalian.” (HR At Tirmidzi).
Kesetaraan Gender: Islam dan Peran Perempuan
Isu lainnya adalah kesetaraan gender. Banyak yang menilai Islam mendiskriminasi perempuan. Padahal, jika kita kembali ke sumber aslinya, Islam justru hadir untuk mengangkat derajat perempuan. Sebelum Islam datang, masyarakat Arab memandang rendah perempuan, bahkan mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Al-Qur’an mengecam keras tradisi ini, “Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh.” (QS. At-Takwir: 8-9).
Rasulullah ﷺ sendiri dikenal sangat menghormati perempuan. Beliau bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi).
Islam sejatinya adalah agama yang berpihak pada perempuan dan menjunjung tinggi martabat mereka. Salah satu isu yang sering diperdebatkan adalah poligami. Banyak orang berhenti pada potongan ayat yang berbunyi “nikahilah dua, tiga, atau empat perempuan yang kamu sukai” (QS. An-Nisa: 3). Padahal, ayat ini tidak bisa dipahami sepotong-sepotong. Sambungannya justru menegaskan, “jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka kawinilah satu saja.”
Keadilan yang dimaksud tidak hanya sebatas materi, tetapi juga meliputi cinta, kasih sayang, dan perhatian. Dalam surat An-Nisa ayat 129, Al-Qur’an bahkan menegaskan bahwa manusia tidak akan mampu benar-benar adil kepada istri-istrinya meskipun sudah berusaha keras. Dengan demikian, keadilan sempurna yang dituntut ayat tersebut sebenarnya sulit diwujudkan, sehingga poligami bukanlah jalan ideal. Rasulullah ﷺ pun menolak ketika Ali bin Abi Thalib meminta izin untuk menikahi putri Abu Jahal, meskipun saat itu beliau sudah menikah dengan Fatimah.
Dalam Islam, perempuan berhak mendapatkan pendidikan, warisan, bahkan hak untuk menolak pernikahan yang tidak ia kehendaki. Namun, dalam praktik sejarah, penafsiran patriarkal sering kali menggeser posisi perempuan. Karena itu, tugas generasi Muslim kontemporer adalah menafsirkan ulang teks-teks agama dengan adil, agar perempuan dan laki-laki sama-sama bisa berkontribusi membangun peradaban.
Tantangan dan Harapan
Menghadapi isu-isu kontemporer ini, umat Islam tidak boleh bersikap pasif atau apatis. Kita dituntut untuk terus belajar, berpikir kritis, dan membuka dialog. Moderasi, toleransi, dan penghargaan terhadap martabat manusia harus menjadi prinsip utama.
Di Indonesia, wajah Islam yang ramah dan moderat harus diperkuat melalui pendidikan, dakwah yang santun, serta peran aktif dalam membangun masyarakat. Jika umat Islam mampu menghadirkan pemikiran yang solutif, maka Islam akan kembali tampil sebagai agama peradaban yang membawa rahmat bagi seluruh manusia.
Isu-isu kontemporer seperti liberalisme, terorisme, pluralisme, dan kesetaraan gender bukanlah ancaman jika disikapi dengan bijak. Justru dari isu-isu inilah umat Islam bisa menunjukkan keunggulan ajaran agamanya yang universal, rasional, dan relevan sepanjang masa.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan.” (HR. Muslim). Kekuatan umat Islam di era modern bukan hanya terletak pada jumlah, melainkan pada kualitas pemikiran, akhlak, dan kontribusinya bagi peradaban dunia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
