SURAU.CO. Islam adalah agama yang tidak hanya hadir sebagai keyakinan spiritual, tetapi juga sebagai panduan hidup yang menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia. Sejak awal turunnya wahyu, Islam telah menuntun umatnya untuk berpikir, merenung, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai ilahiah. Namun, perjalanan sejarah menunjukkan bahwa umat Islam tidak pernah statis. Pemikiran Islam senantiasa berkembang sesuai dengan zaman, kondisi sosial, dan tantangan yang dihadapi.
Di era kontemporer, perkembangan pemikiran Islam bahkan semakin kompleks, melahirkan beragam aliran, metode, dan corak pemikiran yang mencerminkan usaha umat Islam dalam menjawab dinamika dunia modern. Sejak awal abad ke-20, pemikiran-pemikiran tentang kebangkitan umat Islam semakin mencuat ke permukaan. Pemikiran tersebut merupakan upaya dan perjuangan menegakkan cita- cita Islam sebagaimana yang terus berkembang pada akhir abad ke 20 ini yang secara normatif akan dapat memberikan suatu kepastian hidup di masa depan.
Artikel ini membahas bagaimana pemikiran Islam kontemporer berkembang, apa saja kecenderungan yang muncul, dan bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan umat Islam. Dengan pendekatan ringan namun mendalam, kita akan melihat bagaimana tradisi dan modernitas saling berinteraksi, kadang berhadapan, kadang pula berpadu, demi mencari jalan terbaik bagi peradaban Islam di masa depan.
Agama Global dengan Tantangan Besar
Penganut Islam hari ini lebih dari satu miliar orang yang tersebar di berbagai belahan dunia, mulai dari Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan, hingga Asia Tenggara. Jumlah besar ini menjadikan Islam sebagai kekuatan transnasional. Tak heran jika sebagian kalangan Barat melihat kebangkitan Islam sebagai ancaman, mereka menjustifikasi negatif kebangkitan Islam hanya sebagai fanatisme keagamaan.
John Esposito, seorang pakar dunia Islam menyoroti kekeliruan dalam pencitraan kebangkitan Islam sebagai ancaman bagi komunitas lain. Karena kondisi dapat memunculkan sebutan Islam terorisme, fundamentalisme, radikalisme dan lain- lain. Dalam kenyataannya hal ini telah merugikan harmonitas dunia dan kemanusiaan.
Bagi umat Islam sendiri, kebangkitan itu adalah kebutuhan. Umat ingin keluar dari keterpurukan kolonialisme, kemiskinan, dan keterbelakangan ilmu pengetahuan. Untuk itu, para pemikir Muslim berusaha menawarkan berbagai corak pemikiran, mulai dari yang sangat ketat memegang tradisi hingga yang membuka diri sepenuhnya pada modernitas.
Al-Qur’an sendiri mendorong umat Islam untuk terus berpikir kritis. Sebagaimana Allah berfirman, “Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Q.S. Al-Hasyr: 2).
Ayat ini mengingatkan bahwa sejarah dan perubahan zaman bukanlah sesuatu yang boleh diabaikan, melainkan harus dipelajari untuk menjadi bahan refleksi. Karena itu, tidak mengherankan jika lahir berbagai model pemikiran dalam Islam kontemporer.
Lima Model Pemikiran Islam Kontemporer
Setidaknya, ada lima model pemikiran Islam kontemporer, yaitu fundamentalis, tradisionalis, reformis, postradisionalis, dan modernis. Masing-masing memiliki ciri khas, kelebihan, sekaligus kelemahan.
1. Fundamentalis: Kembali ke Sumber Asli
Kaum fundamentalis menekankan bahwa untuk mewujudkan kebangkitan Islam hanya bisa dengan kembali sepenuhnya pada al-Qur’an dan Sunnah. Bagi mereka, Islam sudah sempurna dan mencakup seluruh aspek kehidupan, sehingga tidak perlu mengambil teori dari luar.
Gerakan ini sering menyerukan kembali pada ajaran Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Semangatnya adalah purifikasi (pemurnian), membersihkan ajaran Islam dari pengaruh budaya luar yang dianggap tidak Islami.
Dalil yang menjadi pijakan utama adalah firman Allah, “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” (Q.S. Al-Maidah: 3).
Ayat ini menjadi dasar keyakinan bahwa Islam tidak membutuhkan tambahan dari luar. Namun, pendekatan fundamentalis sering mendapatkan kritik karena dianggap kurang fleksibel menghadapi realitas sosial modern.
2. Tradisionalis: Menjaga Warisan Ulama
Kelompok tradisionalis, yang sering disebut salaf atau ahlussunnah klasik, meyakini bahwa semua persoalan umat sudah dibahas oleh para ulama terdahulu. Oleh karena itu, tugas generasi sekarang hanyalah merujuk pada warisan itu.
Tradisi pesantren di Indonesia, dengan “kitab kuning” dan otoritas kiai, menjadi contoh nyata dari corak tradisionalis. Mereka menjaga kesinambungan ilmu dari generasi ke generasi, namun kadang dituduh kurang progresif.
Meski demikian, Nabi ﷺ sendiri pernah bersabda,“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menegaskan pentingnya peran ulama dan tradisi keilmuan yang harus dihormati, meski tetap perlu dikontekstualisasi.
3. Reformis: Tafsir Baru untuk Zaman Baru
Kaum reformis tidak menolak tradisi, tetapi berusaha menafsirkan ulang warisan Islam agar sesuai dengan konteks modern. Mereka percaya Islam memiliki dasar yang kuat, tetapi perlu penafsiran dengan pendekatan rasional agar tetap relevan.
Pemikir reformis seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha misalnya, menekankan pentingnya ijtihad dalam menghadapi masalah baru. Prinsip ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ, “Apabila seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika salah, ia mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa usaha pembaruan dalam Islam adalah bagian dari dinamika intelektual yang dihargai Allah.
4. Postradisionalis: Dekonstruksi Tradisi
Postradisionalis lahir dari kalangan intelektual muda, terutama di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Mereka berusaha mengkritisi tradisi, bukan sekadar merawatnya. Prinsipnya, tradisi harus dilihat secara historis, bukan absolut. Meski ada yang memandang sinis terhadap wacana postradisionalis, karena menganggapnya sebagai kelatahan anak-anak muda NU untuk mempertegas identitasnya, bahkan dilihat sebagai “primordialisme baru” yang dibungkus dengan teori-teori yang canggih
Model ini sesungguhnya sama dengan reformis yang menerima tradisi dengan interpertasi baru. Perbedaannya, postadisionalis mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan sekedar rekonstruktif, sehingga yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi historis.
Model ini membuka ruang bagi pendekatan interdisipliner, termasuk sosiologi, antropologi, bahkan filsafat modern. Namun, sebagian pihak menilai pendekatan ini terlalu kritis sehingga berisiko melemahkan otoritas tradisi.
5. Modernis: Rasionalitas di Atas Segalanya
Kaum modernis menekankan pentingnya rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Mereka melihat banyak tradisi lama yang sudah tidak relevan, sehingga harus ditinggalkan. Bagi mereka, Islam adalah agama universal yang sejalan dengan akal dan perkembangan zaman. Karena itu, pendidikan dan modernisasi menjadi agenda utama.
Dalil yang mendukung pandangan ini antara lain firman Allah: “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (Q.S. Ar-Ra’d: 11).
Ayat ini memberi semangat bahwa kemajuan umat harus dimulai dengan usaha rasional dan kesadaran diri. Kaum modernis memandang Islam sebagai fondasi yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam ranah pribadi maupun sosial. Setiap muslim memiliki tanggung jawab untuk menerapkan nilai-nilai Islam secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Hubungan Islam dan Barat: Antara Konflik dan Kolaborasi
Sejarah menunjukkan bahwa hubungan Islam dan Barat tidak selalu harmonis. Ada masa ketika keduanya saling menginspirasi, misalnya ketika ilmu pengetahuan Islam menjadi sumber renaisans Eropa. Namun, ada pula masa penuh konflik, terutama sejak kolonialisme dan orientalisme Barat masuk ke dunia Islam.
Hingga kini, Islam kerap distigmatisasi dengan label “fundamentalis” atau “teroris”. Padahal, tuduhan itu seringkali lebih bernuansa politik ketimbang akademik. Memahami fenomena ini sebaiknya melalui kajian sejarah yang kritis agar kita bisa menemukan penyebabnya dan segera mencari solusi yang tepat. Tujuannya jelas, yaitu membangun hubungan yang setara tanpa dominasi dan konflik di masa depan.
Selama ini, banyak umat Islam menaruh curiga kepada Barat karena dianggap sering memaksakan agenda “pembaratan”. Akibatnya, posisi Islam dalam bidang ekonomi, politik, sosial, hingga budaya semakin terpinggirkan dari panggung utama peradaban dunia. Umat Islam perlu bersikap kritis namun tetap terbuka, agar hubungan dengan Barat bisa bertransformasi dari konflik menuju kolaborasi yang saling menguntungkan.
Al-Qur’an menolak sikap zalim dan stereotip negatif semacam itu, sebagaimana ditegaskan: “Dan janganlah kebencian suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Q.S. Al-Maidah: 8).
Menuju Pemikiran Islam yang Integratif
Dari kelima model pemikiran tadi, tampak jelas bahwa tidak ada satu pun yang benar-benar sempurna. Kaum fundamentalis kuat dalam memegang prinsip, namun kurang fleksibel. Tradisionalis menjaga kesinambungan, tetapi kadang kaku. Reformis dan postradisionalis memberi tafsir baru, tetapi berisiko terlalu bebas. Modernis mendorong kemajuan, namun rawan kehilangan spiritualitas.
Karena itu, yang diperlukan adalah pendekatan integratif, menggabungkan kekuatan tradisi, semangat pembaruan, rasionalitas modern, dan komitmen spiritual. Dengan cara ini, umat Islam dapat menjawab tantangan global tanpa kehilangan jati diri.
Pemikiran Islam kontemporer adalah wujud nyata dari upaya umat Islam untuk tetap relevan di tengah perubahan zaman. Dari fundamentalis hingga modernis, semuanya menunjukkan betapa Islam adalah agama yang hidup, yang terus berdialog dengan sejarah dan realitas sosial.
Kebangkitan Islam di era ini tidak bisa hanya mengandalkan satu pendekatan. Umat perlu menghidupkan ijtihad, menjaga tradisi, memanfaatkan ilmu pengetahuan, sekaligus tetap berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan begitu, Islam bukan hanya menjadi identitas keagamaan, tetapi juga peradaban yang memberi solusi bagi krisis kemanusiaan global.
Allah berfirman, “Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang wasath (moderat), agar kamu menjadi saksi atas manusia, dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.” (Q.S. Al-Baqarah: 143).
Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam dipanggil untuk menjadi umat penengah, tidak kaku dalam tradisi, tidak larut dalam modernitas, melainkan mampu menyeimbangkan keduanya demi membangun dunia yang lebih adil dan bermartabat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
