Surau.co. Frasa kunci “Utsmān bin ‘Affān dan keindahan derma” tidak hanya menyimpan makna sejarah, tetapi juga menghadirkan teladan moral yang relevan di tengah fenomena sosial Indonesia hari ini. Di era ketika harta sering menjadi simbol status, Utsmān bin ‘Affān menunjukkan wajah kepemimpinan yang menyatukan kekayaan dengan kasih sayang. Ia adalah khalifah yang tidak pernah memutus jembatan antara kekayaan dan kemanusiaan.
Fenomena sosial di Indonesia mengingatkan kita pada potret beliau: banyak yang kaya, tetapi sedikit yang rela berbagi dengan ikhlas. Keberadaan food bank, komunitas filantropi, hingga gerakan sedekah subuh adalah gema kecil dari jejak Utsmān bin ‘Affān, sang sahabat yang disebut oleh Nabi ﷺ sebagai orang yang paling dermawan.
Dalam Hilyat al-Awliyā’, Abū Nu‘aym menuliskan:
«كَانَ عُثْمَانُ يُنْفِقُ مَالَهُ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلَا يَخْشَى فَاقَةً»
“Utsmān menginfakkan hartanya di jalan Allah tanpa pernah takut kefakiran.”
Keindahan Hati yang Tercermin dari Sedekah
Sedekah bukan hanya memberi sebagian harta, melainkan melepaskan diri dari keterikatan dunia. Utsmān memahami bahwa kekayaan sejati bukan terletak pada jumlah, melainkan pada kemampuan membebaskan diri dari keterikatan itu.
Al-Qur’an menegaskan:
﴿لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ﴾ (آل عمران: 92)
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”
Ayat ini menjadi cermin kehidupan Utsmān. Ia membeli sumur Rūmah dengan hartanya, lalu mewakafkannya agar umat dapat merasakan air segar tanpa harga. Betapa kontras dengan kondisi kita, di mana air bersih kadang masih diperdagangkan dengan mahal.
Dalam Hilyat al-Awliyā’ tercatat pula:
«اشْتَرَى عُثْمَانُ بِأَمْوَالِهِ الْعَذْبَ لِيُرْوِيَ الْمُسْلِمِينَ»
“Utsmān membeli air tawar dengan hartanya untuk memberi minum kaum Muslimin.”
Relevansi Kedermawanan Utsmān di Indonesia Modern
Indonesia hari ini menghadapi kesenjangan ekonomi yang nyata. Di balik gedung pencakar langit, masih banyak keluarga yang sulit memenuhi kebutuhan pokok. Di titik inilah, teladan Utsmān bin ‘Affān hadir seperti cahaya.
Kedermawanan bukanlah beban, melainkan seni mencintai sesama. Ia adalah cara menaburkan kebaikan dalam kehidupan sosial. Jika pemilik modal di negeri ini meneladani Utsmān, maka jurang kemiskinan akan lebih cepat terjembatani.
Abū Nu‘aym menulis:
«وَكَانَ يُعْطِي الْجَمَّ وَيُوَاسِي الضُّعَفَاءَ»
“Ia memberi dalam jumlah besar dan selalu mengasihi orang-orang lemah.”
Di Indonesia, gerakan sedekah online, crowdfunding, dan zakat digital menunjukkan bahwa kebaikan selalu menemukan jalannya. Namun, tantangan kita adalah menumbuhkan keikhlasan agar sedekah bukan sekadar tren, melainkan napas kehidupan.
Ketulusan sebagai Jiwa Derma
Dalam hadits Nabi ﷺ:
«أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ أَنْ تَتَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ» (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
“Sedekah yang paling utama adalah ketika engkau memberi saat engkau sehat dan cinta pada harta.”
Hadits ini menegaskan bahwa keindahan derma adalah ketika ia dilakukan dengan cinta, bukan keterpaksaan. Utsmān bin ‘Affān adalah sosok yang hidup dengan prinsip itu.
Abū Nu‘aym menambahkan dalam Hilyat al-Awliyā’:
«مَا أَنْفَقَ عُثْمَانُ إِلَّا بِقَلْبٍ رَاضٍ وَنَفْسٍ مُطْمَئِنَّةٍ»
“Tidaklah Utsmān berinfak kecuali dengan hati yang ridha dan jiwa yang tenang.”
Menutup dengan Cermin Diri
Kita, di Indonesia, sering kali terjebak pada budaya pamer dan gengsi. Padahal, kedermawanan sejati justru bersembunyi dalam kesunyian hati. Dari Utsmān, kita belajar bahwa kekayaan tidak pernah berkurang dengan berbagi, justru bertambah dengan keberkahan.
Seperti kata Rumi, “Apa yang engkau berikan akan hidup selamanya, apa yang engkau simpan akan hilang bersama waktu.”
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplati Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
