Khazanah
Beranda » Berita » Kesederhanaan Umar bin al-Khaṭṭāb: Kepemimpinan yang Menyatu dengan Zuhud

Kesederhanaan Umar bin al-Khaṭṭāb: Kepemimpinan yang Menyatu dengan Zuhud

Umar bin al-Khaṭṭāb berjalan sederhana bersama rakyatnya
Umar digambarkan sebagai pemimpin yang lebih memilih bersama rakyat daripada hidup dalam istana mewah.

Surau.co. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern Indonesia, kita sering menyaksikan bagaimana jabatan dan kekuasaan menjadi panggung untuk memperkaya diri. Namun, sejarah Islam menyajikan kisah berbeda melalui sosok Umar bin al-Khaṭṭāb. Dalam Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’, Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī menampilkan Umar bukan hanya sebagai khalifah yang tegas, tetapi juga pribadi zuhud yang memilih kesederhanaan.

Kehidupan beliau mengajarkan bahwa kekuasaan sejati bukanlah menguasai orang lain, melainkan menundukkan hawa nafsu. Pesan ini terasa relevan di negeri kita, di mana masyarakat sering kecewa melihat pejabat publik sibuk dengan fasilitas mewah ketimbang melayani rakyat.

Umar bin al-Khaṭṭāb dalam Hilyat al-Awliyā’

Abū Nu‘aym menulis bahwa Umar memandang dunia dengan penuh kewaspadaan. Beliau khawatir jabatan bisa menjadi jerat yang membutakan mata hati. Dalam salah satu riwayat disebutkan:

قَالَ عُمَرُ: “لَوْلَا الْآخِرَةُ مَا أَحْبَبْتُ أَنْ أَكُونَ أَمِيرًا عَلَى الْمُسْلِمِينَ”
Umar berkata: “Seandainya bukan karena akhirat, aku tidak ingin menjadi pemimpin atas kaum Muslimin.”

Ungkapan ini menyingkap isi hati seorang khalifah: kepemimpinan bukan kemuliaan pribadi, melainkan amanah yang berat di hadapan Allah.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Hidup Sederhana di Tengah Istana Kekhalifahan

Sebagai khalifah, Umar mengendalikan wilayah luas dari Madinah hingga Persia. Namun, beliau tidak tergoda kemewahan. Hilyat al-Awliyā’ meriwayatkan:

كَانَ عُمَرُ يَلْبَسُ الْمَرْقُوعَ وَيَأْكُلُ الْخَشِنَ
Umar biasa memakai pakaian tambalan dan memakan makanan kasar.

Kontras dengan fenomena pejabat kita yang sering bergelimang fasilitas, Umar justru menjaga diri dari kenyamanan berlebih. Dalam tradisi kita di Indonesia, banyak masyarakat kecil masih makan seadanya, sementara pemimpin hidup dalam kelimpahan. Umar memberi contoh bahwa seorang pemimpin sejati harus menyatu dengan rakyatnya.

Ketegasan yang Lahir dari Kerendahan Hati

Umar dikenal sebagai pemimpin yang tegas, namun ketegasannya tidak lahir dari kesombongan. Ia lahir dari cinta pada kebenaran dan keberanian untuk adil. Abū Nu‘aym menukil ucapan beliau:

قَالَ عُمَرُ: “أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَائِمٌ عَلَى بَطْنِهِ وَفَرْجِهِ”
Umar berkata: “Yang paling aku takutkan atas kalian adalah seseorang yang diperbudak oleh perut dan syahwatnya.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Pesan ini seolah menyentuh zaman kita sekarang. Betapa banyak orang terseret pada gaya hidup konsumtif, bahkan rela menempuh jalan tidak halal demi memuaskan perut dan syahwat.

Rasa Takut yang Menyelamatkan

Meski dikenal pemberani, Umar sering menangis karena takut kepada Allah. Dalam Hilyat al-Awliyā’, diriwayatkan:

كَانَ فِي وَجْهِ عُمَرَ خَطَّانِ أَسْوَدَانِ مِنْ كَثْرَةِ الْبُكَاءِ
Di wajah Umar terdapat dua garis hitam karena terlalu sering menangis.

Kepemimpinan yang menyatu dengan zuhud terlihat jelas di sini. Umar tidak silau pada kekuasaan, justru hatinya dipenuhi rasa takut kepada Allah. Ia sadar bahwa kekuasaan hanya sementara, sementara hisab di akhirat pasti kekal.

Pelajaran bagi Kehidupan Indonesia Hari Ini

Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan jurang besar antara penguasa dan rakyat. Banyak pemimpin lebih sibuk mengurus kepentingan kelompoknya dibandingkan penderitaan masyarakat kecil. Jika kita menengok Umar, kepemimpinannya selalu menyatu dengan kesederhanaan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan:

وَتِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ (QS. Al-Qashash: 83)
“Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak berbuat kerusakan. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”

Ayat ini seakan menjadi peneguh jalan Umar: tidak haus kekuasaan, tidak rakus harta, melainkan hidup dalam ketakwaan.

Refleksi Gaya Rumi: Jalan Zuhud untuk Kita

Jika Jalaluddin Rumi menuturkan kisah ini, mungkin ia akan berkata: “Kekuasaan itu seperti air laut. Semakin banyak kau minum, semakin haus engkau dibuatnya. Tetapi lihatlah Umar: ia menimba secukupnya untuk rakyatnya, lalu kembali pada kesunyian bersama Tuhannya.”

Kesederhanaan Umar adalah pelajaran spiritual yang tak lekang oleh waktu. Bagi kita di Indonesia, teladan ini mengajak untuk menata ulang makna kepemimpinan: bukan soal fasilitas, melainkan tanggung jawab; bukan soal kehormatan, melainkan kerendahan hati.

Penutup: Kepemimpinan yang Membumi dan Langit

Hilyat al-Awliyā’ tidak menampilkan Umar sekadar sebagai sosok sejarah, tetapi sebagai cermin kehidupan. Beliau menegaskan bahwa kepemimpinan dan zuhud bukan dua hal yang bertentangan. Justru, dengan zuhud, seorang pemimpin mampu adil, sederhana, dan dekat dengan rakyat.

Semoga di tengah masyarakat kita yang haus akan teladan, kisah Umar bin al-Khaṭṭāb kembali hadir sebagai pengingat: kekuasaan hanyalah titipan, sedangkan zuhud adalah warisan abadi.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontempoprer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement