Dalam kehidupan modern, banyak orang terjebak pada ilusi harta, jabatan, dan popularitas. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, kisah Abu Bakar al-Ṣiddīq – sahabat terdekat Rasulullah ﷺ – terasa bagai oase. Kitab Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’ karya Abū Nu‘aym al-Iṣfahānī menggambarkan betapa Abu Bakar menjalani hidup dengan kesederhanaan, meskipun ia memiliki kedudukan yang paling mulia setelah para nabi.
Cerita ini semakin relevan bila kita bandingkan dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. Sering kali kesuksesan diukur dari rumah megah, mobil mewah, atau lahan luas. Padahal, Abu Bakar menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati justru lahir dari hati yang terbebas dari jeratan dunia.
Abu Bakar dalam Hilyat al-Awliyā’
Abū Nu‘aym memulai jilid pertama kitabnya dengan biografi Abu Bakar. Ia tampil bukan sebagai khalifah yang mencari kehormatan, melainkan sebagai hamba yang menatap dunia dengan pandangan fana. Salah satu ungkapan beliau begitu menyentuh:
قَالَ أَبُو بَكْرٍ: “وَدِدْتُ أَنِّي كُنْتُ شَجَرَةً تُعْضَدُ وَتُؤْكَلُ”
Abu Bakar berkata: “Aku berharap diriku hanyalah sebatang pohon yang ditebang lalu dimakan.”
Kata-kata itu menyingkap kerendahan hati yang mendalam. Walaupun menjadi sahabat utama Rasulullah ﷺ, Abu Bakar tetap merasa takut kepada Allah dan tidak ingin terikat pada nafsu dunia. Dengan demikian, ia memberi pelajaran bahwa kemuliaan sejati bukanlah soal status, tetapi soal hati yang tunduk.
Kehidupan yang Menolak Kemewahan
Ketika menjabat sebagai khalifah, Abu Bakar tetap hidup sederhana. Ia tidak pernah menumpuk harta dari kekuasaannya. Abū Nu‘aym meriwayatkan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: “مَاتَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا تَرَكَ دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا”
Dari ‘Aisyah berkata: “Abu Bakar wafat dan tidak meninggalkan dinar maupun dirham.”
Kontras dengan kenyataan di negeri kita, banyak pejabat yang meninggalkan jejak kekayaan melimpah setelah turun jabatan. Abu Bakar justru sebaliknya: beliau wafat tanpa meninggalkan harta, tetapi meninggalkan warisan iman yang tidak lekang oleh waktu. Karena itu, kesederhanaannya menjadi teguran halus bagi siapa pun yang terlalu cinta pada gemerlap dunia.
Zuhud Bukan Berarti Miskin
Sering kali zuhud disalahpahami sebagai sikap menjauhi dunia total. Namun Abu Bakar menegaskan makna sebenarnya:
قَالَ أَبُو بَكْرٍ: “لَيْسَ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ، وَلَكِنْ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِكَ”
Abu Bakar berkata: “Zuhud bukan berarti mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, melainkan lebih percaya pada apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tanganmu.”
Artinya, zuhud bukan kemiskinan, melainkan kebebasan batin. Banyak orang di Indonesia bekerja keras hingga melupakan keluarga demi menambah tabungan. Padahal, bila kepercayaan kepada Allah kokoh, hati akan tenang meskipun harta di tangan terbatas.
Air Mata Abu Bakar dan Keteguhan Hati
Selain kesederhanaan, Abu Bakar juga dikenal lembut hatinya. Abū Nu‘aym meriwayatkan:
كَانَ أَبُو بَكْرٍ رَجُلًا بَكَّاءً، لَا يَمْلِكُ عَيْنَيْهِ إِذَا قَرَأَ الْقُرْآنَ
Abu Bakar adalah seorang yang banyak menangis, tidak mampu menahan air matanya saat membaca Al-Qur’an.
Bayangkan, seorang khalifah yang menguasai jazirah Arab justru larut dalam tangis ketika mendengar firman Allah. Gambaran ini menjadi pelajaran berharga bagi kita. Betapa sering hati kita kering karena sibuk mengejar urusan dunia. Padahal, kelembutan hati seperti Abu Bakar adalah sumber kekuatan yang sesungguhnya.
Pesan untuk Kehidupan Kita
Melihat fenomena sosial hari ini, gaya hidup konsumtif makin meningkat: dari kredit motor hingga cicilan rumah mewah. Di tengah arus itu, kisah Abu Bakar seakan berbisik: “Kurangi hausmu terhadap dunia, perbanyak hausmu terhadap akhirat.”
Kesederhanaan bukan berarti pasrah tanpa usaha. Sebaliknya, ia justru menuntun agar kita bekerja keras tanpa diperbudak harta. Abu Bakar kaya dalam iman, bukan dalam timbunan dunia. Seperti gaya Jalaluddin Rumi yang kerap mengingatkan: dunia hanyalah pasar singgah. Oleh sebab itu, jangan mengikat diri pada etalase, sebab perjalanan masih panjang menuju rumah keabadian.
Penutup: Warisan yang Tak Pernah Pudar
Kitab Hilyat al-Awliyā’ menampilkan Abu Bakar bukan sekadar tokoh sejarah, melainkan cermin kehidupan. Dari sana kita belajar bahwa zuhud bukan menolak dunia, melainkan menolak diperbudak olehnya.
Abu Bakar al-Ṣiddīq mengajarkan kejujuran, kesederhanaan, dan cinta kepada Allah. Itulah bekal terbaik untuk hidup damai, sekalipun dunia menawarkan sejuta gemerlap. Dengan demikian, warisan beliau tidak pernah pudar, bahkan semakin bersinar di tengah masyarakat yang haus akan teladan.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
