Surau.co. Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bukan dongeng usang yang hanya dibacakan pada malam-malam sunyi di kampung. Sebaliknya, ia hadir sebagai jendela yang membuat hati menoleh dan menemukan wajah cinta sejati. Di Indonesia, manaqib memang sering hidup dalam majelis sederhana: tikar digelar, lampu redup, doa mengalun. Namun lebih dari itu, di balik kesyahduan tersebut tersimpan ajakan untuk kembali sadar bahwa manusia selalu membutuhkan Allah.
Kisah yang Mengantar Pulang
Banyak orang memandang manaqib hanya sebagai tradisi. Padahal, ia justru menjadi jalan pulang bagi hati yang lelah. Dalam Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī, kita menemukan kisah yang menyimpan doa, harapan, sekaligus api cinta.
Syaikh pernah berkata:
“مَنْ تَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ كَفَاهُ، وَمَنْ لَجَأَ إِلَيْهِ آوَاهُ”
Barangsiapa bertawakal kepada Allah, Allah akan mencukupinya. Barangsiapa berlindung kepada-Nya, Allah akan menaunginya.
Ucapan ini terdengar seperti bisikan lembut bagi jiwa modern yang sering terhimpit hutang, pekerjaan tak menentu, atau rasa takut kehilangan. Karena itu, membaca manaqib seakan menghadirkan kisah lama ke dalam ruang tamu kita. Dengan demikian, kita kembali ingat bahwa tawakal bukan teori, melainkan nafas kehidupan.
Doa yang Menyapa Realitas Sosial
Selain memberi penghiburan, manaqib juga menyapa realitas sosial. Di banyak kampung, masyarakat membacanya ketika bencana datang: sawah gagal panen, banjir merendam rumah, atau keluarga ditimpa musibah. Dengan begitu, bacaan itu meneguhkan ikatan: manusia memang lemah, tetapi Allah senantiasa kuat.
Al-Qur’an menegaskan:
“وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ” (الطلاق: 3)
Barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya.
Ayat ini kemudian berpadu dengan kisah Syaikh al-Jailānī yang penuh keberanian. Beliau tidak gentar berjalan sendirian, sebab keyakinannya lebih kokoh daripada batu karang. Karena itulah, setiap doa dalam manaqib terasa menyalakan kembali keberanian untuk menghadapi kenyataan.
Bisikan Sang Wali untuk Hati Gelisah
Namun ada kalanya hati tidak lagi mampu menanggung rasa takut. Pada saat itu, manaqib menuntun kita melalui doa Syaikh:
“اللَّهُ مَعِي، اللَّهُ نَاظِرٌ إِلَيَّ، اللَّهُ شَاهِدِي”
Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku.
Doa singkat ini tampak sederhana. Akan tetapi, justru kesederhanaannya yang membuat jiwa kembali kokoh. Betapa banyak perantau di kota, tidur di kamar kos sempit, atau bekerja jauh dari keluarga, tetap menemukan kekuatan melalui doa ini. Dengan kata lain, doa itu membuat hati tidak runtuh meskipun kesepian melilit.
Manaqib sebagai Nafas Kehidupan
Lebih jauh lagi, membaca manaqib bukan sekadar mengulang cerita, melainkan menyalakan pelita. Syaikh al-Jailānī menegaskan:
“مَنْ أَطَاعَ اللَّهَ جَعَلَ قَلْبَهُ بُسْتَانًا، وَنَفْسَهُ مُطْمَئِنَّةً”
Barangsiapa taat kepada Allah, Allah menjadikan hatinya bagaikan taman dan jiwanya penuh ketenangan.
Karena itu, di negeri yang hiruk pikuk seperti Indonesia, manaqib bisa menjadi oase. Ia mengingatkan bahwa ketenangan tidak lahir dari mal atau hiburan malam, melainkan dari ketaatan. Dengan demikian, setiap bacaan manaqib mampu menata jiwa agar kembali damai.
Tradisi yang Menyambung Generasi
Fenomena sosial hari ini menunjukkan bahwa banyak anak muda merasa jauh dari agama. Meskipun demikian, saat manaqib dibacakan, mereka sering terdiam mendengar. Rupanya ada sesuatu yang tidak bisa mereka tolak: kerinduan pada kebaikan.
Syaikh al-Jailānī berpesan:
“اِسْتَمْسِكْ بِالذِّكْرِ فَإِنَّهُ يَشُدُّ قَلْبَكَ إِلَى السَّمَاءِ”
Berpeganglah pada zikir, sebab ia menarik hatimu menuju langit.
Pesan ini terasa sangat relevan. Di tengah derasnya arus media sosial, manusia jelas butuh jangkar agar tidak hanyut. Oleh sebab itu, manaqib bisa menjadi salah satu jangkar itu, mengikat hati pada zikir.
Penutup: Cahaya yang Membisikkan Ketenangan
Pada akhirnya, manaqib bukan sekadar warisan tanpa makna. Ia justru menjadi jendela menuju cinta Allah. Melalui kisah Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī, kita belajar bahwa doa bukan hanya kata, melainkan api yang menyalakan keberanian.
Dengan demikian, setiap kali manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dilantunkan di ruang-ruang kecil Indonesia, sejatinya cahaya hadir. Dan cahaya itu terus membisikkan: “Jangan takut, Allah bersamamu.”
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
