SURAU.CO – Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang tegas, adil, dan visioner. Ia menjabat sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Di bawah kepemimpinannya, wilayah Islam berkembang pesat, menegakkan hukum dengan ketat, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Meski memiliki wibawa besar dan berkuasa, Umar menolak keras politik dinasti. Ia menegaskan bahwa jabatan khalifah tidak boleh diwariskan kepada keluarganya, termasuk anaknya sendiri.
Sikap itu menunjukkan ketulusan Umar dalam memimpin. Ia menganggap jabatan itu bukan warisan, melainkan amanah. Cerita tentang Umar yang melarang anaknya menjadi khalifah memberi pelajaran besar bagi kita yang hidup di zaman modern, ketika politik sering kali masih bercampur dengan kepentingan keluarga dan kekuasaan.
Umar dan Prinsip Kepemimpinan
Sejak awal, Umar bin Khattab menegaskan bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab besar. Ia sering berkata, “Seandainya ada seekor unta yang terperosok di Irak, aku takut Allah akan menuntutku mengapa aku tidak meratakan jalan untuknya.” Kalimat itu menunjukkan betapa besar rasa tanggung jawab Umar terhadap umat.
Bagi Umar, pemimpin sejati bukanlah orang yang mengejar kehormatan atau keuntungan pribadi, melainkan orang yang rela berkorban demi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, ketika tiba saatnya ia merasakan ajal semakin dekat, Umar tidak ingin posisi khalifah dijadikan ajang perebutan atau diwariskan secara turun-temurun.
Saat Umar Menolak Anak Sendiri
Ketika Abu Lu’lu’ah al-Majusi menikam Umar bin Khattab, ia sadar hidupnya tidak lama lagi. Kaum muslimin merasa cemas tentang siapa yang akan menggantikan Umar sebagai khalifah. Beberapa sahabat besar menyarankan Abdullah bin Umar, putra Umar, sebagai calon penerus. Abdullah terkenal saleh, cerdas, dan dekat dengan ilmu agama.
Namun Umar menolak dengan tegas usulan itu. Ia berkata, “Cukuplah satu keluarga dari Bani Khattab yang menanggung beban ini.” Dengan ucapan itu, Umar menegaskan bahwa ia tidak ingin menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya sendiri, meskipun Abdullah memiliki banyak keutamaan.
Umar menilai kepemimpinan tidak boleh berdasarkan nasab atau kedekatan keluarga. Ia mendorong umat Islam untuk memilih pemimpin berdasarkan kualitas, bukan garis keturunan. Baginya, jabatan khalifah hanya layak dipegang oleh orang yang paling mampu, bukan karena hubungan darah.
Membangun Tradisi Politik yang Bersih
Umar menolak dinasti politik karena ia ingin menjaga kebersihan politik Islam. Bayangkan jika sejak awal jabatan khalifah diwariskan kepada keluarga, sejarah umat tentu akan berubah. Kekhalifahan bisa berubah menjadi kerajaan, dan prinsip musyawarah kaum muslimin bisa hilang.
Umar berusaha menyelamatkan umat dari konflik kepentingan keluarga. Ia memahami bahwa politik yang bercampur dengan urusan darah dan keturunan bisa memicu perpecahan. Oleh karena itu, ia memilih menyerahkan urusan kepemimpinan kepada musyawarah para sahabat besar.
Abdullah bin Umar dan Kerendahan Hati
Sikap Umar sejalan dengan pribadi anaknya, Abdullah bin Umar. Abdullah tidak pernah merasa kecewa atau menuntut jabatan ketika ayahnya menolak pencalonannya sebagai khalifah. Ia tetap menjadi sahabat yang taat, tekun beribadah, dan banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW.
Abdullah menunjukkan sikap zuhud. Ia tidak mengejar dunia, termasuk kekuasaan. Ketika orang-orang bertanya untuk ikut dalam politik, ia memilih fokus pada ilmu dan ibadah. Kerendahan hati Abdullah bin Umar menyatakan bahwa keluarga Umar benar-benar menganggap kepemimpinan sebagai amanah, bukan warisan.
Pelajaran Untuk Zaman Sekarang
Sikap Umar bin Khattab yang menolak dinasti politik tetap relevan hingga sekarang. Politik modern pun masih sering didominasi oleh kepentingan keluarga. Banyak orang yang mewariskan jabatan dari orang tua ke anak, dari suami ke istri, atau antar kerabat dekat.
Padahal, teladan Umar menunjukkan bahwa kepemimpinan seharusnya diberikan kepada orang yang paling layak dan amanah. Dinasti politik justru bisa merusak prinsip keadilan, karena lebih banyak tekanan pada ikatan darah daripada kemampuan. Umar mengingatkan bahwa jabatan bukan warisan keluarga, melainkan amanah rakyat yang harus dijaga.
Umar juga mengajarkan pentingnya integritas. Pemimpin sejati tidak hanya memikirkan masa jabatannya, tetapi juga masa depan bangsanya. Dengan menolak anaknya sendiri, Umar menegaskan bahwa kepentingan umum harus lebih utama daripada kepentingan pribadi.
Ia membuktikan bahwa kepemimpinan yang baik lahir dari moral yang kuat. Umar bisa saja menerima usulan untuk mengangkat Abdullah sebagai khalifah, namun ia menyadari bahwa hal itu justru bisa menimbulkan fitnah. Ketegasan moral inilah yang membuat nama Umar tetap harum hingga kini.
Kita belajar dari Umar bahwa kepemimpinan sejati lahir dari keikhlasan berkhidmat kepada umat, bukan dari ambisi pribadi. Umar bin Khattab meninggalkan teladan abadi: menolak politik dinasti demi keadilan, dan mengutamakan kepentingan umat di atas segalanya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
