Surau.co. Ada sebuah kitab yang bukan hanya menuturkan kisah, tetapi juga menyalakan api cinta di hati pembacanya: Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī. Kitab ini tidak sekadar sejarah beku, melainkan sungai yang terus mengalir, membawa kesegaran spiritual dari Baghdad berabad-abad lalu hingga ke tanah Nusantara. Dalam setiap halamannya, nama Abdul Qadir selalu terbalut salawat. Ketika itu terjadi, hati luluh, bumi bergetar lembut, dan langit pun seakan ikut tersenyum.
Dari Baghdad ke Nusantara: Jalan Cinta yang Tak Pernah Padam
Di Indonesia, bacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir sudah menjadi tradisi yang akrab. Hampir di setiap desa, dari Jawa hingga Sulawesi, umat menjaganya dengan penuh cinta. Orang-orang berkumpul dalam lingkaran doa, melantunkan manaqib dengan suara lirih. Di tengah hiruk-pikuk modernitas, tradisi ini tampil sebagai oase yang menenangkan jiwa.
Kitab Manāqib menggambarkan kehidupan seorang wali yang menyalakan pelita di tengah gelapnya zaman. Kisah itu mengajarkan bahwa kedekatan kepada Allah bukan hanya milik ulama besar, melainkan dapat ditempuh siapa saja yang membuka hati.
Firman Allah pun meneguhkan:
﴿ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴾
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d: 28)
Karena itulah, saat manaqib dibaca, hati yang gersang langsung menemukan keteduhan.
Cahaya Nama yang Membuka Pintu Hati
Dalam Manāqib tertulis:
« كَانَ سَيِّدِي عَبْدُ الْقَادِرِ إِذَا ذُكِرَ اسْمُهُ فِي الْمَجَالِسِ عَمَّ النُّورُ وَانْفَتَحَتِ الْقُلُوبُ »
“Setiap kali nama Sayyidiku Abdul Qadir disebut dalam majelis, cahaya menyebar dan hati terbuka.”
Kalimat ini hidup dalam masyarakat kita hingga kini. Perhatikan malam Jumat di kampung-kampung: jamaah berkumpul dengan sederhana. Petani, pedagang, pemuda, bahkan anak-anak duduk bersama membaca manaqib dengan khusyuk. Suasana pun menjadi hangat. Seolah tembok rumah yang sederhana ditembus cahaya.
Samudra yang Tidak Pernah Kering
Kitab Manāqib menggambarkan beliau dengan bahasa yang penuh makna:
« كَانَ بَحْرًا لَا يُدْرَكُ قَعْرُهُ، وَشَمْسًا لَا تُحْجَبُ أَنْوَارُهَا »
“Ia adalah samudra yang tak bisa dijangkau kedalamannya, dan matahari yang tak dapat dihalangi sinarnya.”
Ungkapan itu membuat kita merenung. Ilmu dan akhlak beliau seperti lautan luas: tak habis meski ditimba. Cahayanya pun menembus generasi demi generasi. Di tengah zaman yang penuh keresahan, kita diajak meneguk kedalaman itu, meski hanya setetes, agar hidup beraroma ketenangan.
Ikatan yang Menuntun pada Allah
Kitab ini juga mencatat pesan penting:
« مَنْ تَمَسَّكَ بِحَبْلِهِ لَمْ يَضِلَّ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقَهُ وَصَلَ »
“Barang siapa berpegang pada tali beliau, ia tidak akan tersesat. Dan siapa yang menapaki jalannya, ia akan sampai (kepada Allah).”
Karena itulah, umat Islam di Nusantara menjadikan manaqiban sebagai perekat sosial. Saat dunia sibuk mengejar ambisi material, jamaah manaqib menghadirkan ruang hening untuk menata hati.
Rumah yang Dilingkari Malaikat
Dalam salah satu riwayat manaqib dijelaskan:
« مَا ذُكِرَ اسْمُهُ فِي بَيْتٍ إِلَّا وَحَفَّتْهُ الْمَلَائِكَةُ »
“Tidaklah nama beliau disebut dalam sebuah rumah, melainkan malaikat mengelilinginya.”
Bayangkan sebuah rumah sederhana di pelosok negeri. Penghuninya mungkin tidak berlimpah harta, tetapi setiap malam mereka duduk bersama membaca manaqib dengan tenang. Rumah itu, meski sederhana, diterangi cahaya yang tak terlihat mata, karena malaikat hadir di sana.
Inilah keberkahan yang sering kita lupakan: rumah kecil bisa lebih bercahaya daripada istana megah, jika di dalamnya doa mengalir dan nama para kekasih Allah disebut dengan penuh cinta.
Penutup: Senyum Langit yang Menenteramkan
Nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tidak hanya hidup di Baghdad, tetapi juga berdenyut dalam doa jutaan umat hingga hari ini. Saat nama beliau terbalut salawat, kita bukan sedang memuja manusia, melainkan memantulkan cinta Ilahi yang pernah bersemayam dalam dirinya.
Kitab Manāqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengajarkan bahwa membaca kisah wali Allah bukan nostalgia semata. Ia adalah jalan untuk merasakan kehadiran Allah lebih dekat. Setiap doa yang terucap dan setiap salawat yang menyertai nama beliau, sesungguhnya menjadi senyum langit yang menenangkan jiwa.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
