Khazanah
Beranda » Berita » Syaikh Abdul Qadir: Lautan Tanpa Tepi yang Mengajar Kita Tenggelam

Syaikh Abdul Qadir: Lautan Tanpa Tepi yang Mengajar Kita Tenggelam

Ilustrasi lautan luas sebagai simbol manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Ilustrasi murid yang mengarungi laut luas, dipandu cahaya sang wali sebagai mercusuar batin.

Surau.co. Dalam setiap helai kitab Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī, kita seolah diajak berjalan di tepi pantai cahaya. Semakin jauh melangkah, semakin kita sadar: laut itu ternyata tidak bertepi. Kisah-kisah beliau hadir sebagai gelombang yang menuntun hati untuk menyelam dalam samudera Allah.

Denyut Spiritual dalam Tradisi Pesantren

Bagi umat Islam di Indonesia, khususnya masyarakat pesantren, manaqib menghadirkan denyut spiritual yang mengikat manusia dengan Allah melalui cinta kepada wali-Nya. Membacanya bukan sekadar ritual, melainkan perjalanan batin. Setiap kalimat manaqib mengajarkan kita untuk melepaskan ego, sehingga jiwa lebih leluasa berenang dalam rahmat-Nya.

Cinta Wali sebagai Jalan Pulang

Syaikh Abdul Qadir dikenal memiliki cinta yang luas, seluas samudera yang menampung banyak sungai kecil. Dalam kitab manaqib tertulis:

“وَكَانَ شَيْخُنَا إِذَا رَآهُ الْفَقِيرُ سَكَنَ قَلْبُهُ وَاطْمَأَنَّتْ رُوحُهُ”
“Apabila orang miskin memandang wajah beliau, maka hatinya tenang dan jiwanya tenteram.”

Di titik inilah, cinta bukan hanya kata. Ia menjelma obat. Cinta sang wali menjembatani umat yang gelisah untuk pulang kepada Allah. Karena itu, ketika manaqib dibacakan di langgar-langgar desa, banyak hati langsung merasakan kesejukan, seakan angin laut menyapu dahaga jiwa.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Manāqib sebagai Tradisi Sosial di Indonesia

Fenomena manaqiban di Indonesia memang unik. Ia hidup bukan hanya di pesantren, tetapi juga di kampung-kampung. Masyarakat berkumpul, membawa kopi, roti, atau sekadar doa. Mereka duduk bersama, membaca kisah sang wali, lalu hati mereka diliputi ketenteraman.

Kebersamaan semacam ini mengingatkan pada firman Allah:

“وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا”
“Berpeganglah kamu semua pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Āli ‘Imrān: 103)

Tradisi manaqiban menjadi bukti nyata ayat tersebut. Orang-orang sederhana yang datang dari latar belakang berbeda akhirnya bersatu karena satu kerinduan: mendekat kepada Allah melalui cinta kepada wali-Nya.

Lautan Kerendahan Hati Sang Wali

Syaikh Abdul Qadir tidak mengejar nama besar. Justru Allah yang meninggikan derajatnya. Dalam manaqib beliau pernah berkata:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

“وَكَانَ يَقُولُ: لَوْلَا اللهُ مَا عَرَفْتُمُونِي، فَلَا تَرْفَعُوا شَأْنِي وَلَكِنْ ارْفَعُوا شَأْنَ اللهِ”
“Seandainya bukan karena Allah, kalian tidak akan mengenalku. Maka jangan tinggikan diriku, tetapi tinggikanlah Allah.”

Kalimat ini menampar kesombongan kita. Kerendahan hati beliau ibarat lautan yang berada di permukaan bumi: semakin rendah, semakin mampu menampung cahaya dari langit.

Manaqib sebagai Cermin Jiwa

Membaca manaqib tidak berarti kita larut dalam dongeng. Sebaliknya, ia menjadi cermin. Saat kita melihat kemuliaan sang wali, sebenarnya kita diajak menengok potensi cahaya yang ada dalam diri sendiri.

Dalam sebuah kisah disebutkan:

“إِذَا جَاءَهُ الْيَتِيمُ مَسَحَ عَلَى رَأْسِهِ وَقَالَ: أَنْتَ وَلَدِي”
“Apabila seorang yatim datang kepadanya, beliau mengusap kepalanya dan berkata: Engkau adalah anakku.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Sikap ini mengajarkan bahwa kemuliaan bukan terletak pada seberapa tinggi kita berbicara, melainkan pada seberapa dalam kita mampu merangkul yang lemah.

Lautan yang Mengajar Kita Tenggelam

Manaqib juga mengingatkan bahwa hidup bukan sekadar bertahan di tepi pantai, tetapi menuntut keberanian untuk tenggelam dalam lautan Allah. Syaikh Abdul Qadir memberi teladan: semakin kita kehilangan diri, semakin kita menemukan-Nya.

Dalam riwayat lain disebutkan:

“مَنْ أَلْقَى نَفْسَهُ عَلَى بَابِ اللهِ، فَإِنَّ اللهَ يَرْفَعُهُ إِلَى مَقَامٍ لَا يَبْلُغُهُ بِعَمَلِهِ”
“Barangsiapa meletakkan dirinya di pintu Allah, maka Allah akan mengangkatnya ke derajat yang tidak bisa dicapai oleh amalnya.”

Bukankah lautan juga demikian? Semakin dalam kita menyelam, semakin kita menyatu dengan kedalaman, bukan lagi permukaan.

Penutup: Tenggelam dalam Samudera Cahaya

Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī ibarat samudera luas. Dari sana kita belajar tentang cinta, kerendahan hati, kepedulian, serta ketulusan. Di Indonesia, tradisi manaqiban telah menyatu dengan kehidupan sosial sekaligus spiritual masyarakat.

Akhirnya, manaqib bukan hanya kisah masa lalu. Ia juga menjadi cermin masa kini. Ia mengajak kita berani melepaskan ego, lalu tenggelam dalam samudera Allah. Sebab di lautan itu, kita tidak lagi sendiri—ada cahaya Sang Wali yang menuntun, ada kasih Allah yang memeluk.

* Reza Andik Setiawan

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement