Surau.co. Dalam setiap lembar kitab Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī, hati kita dibawa pada sebuah perjalanan sunyi yang penuh cahaya. Manaqib bukan sekadar kisah hidup seorang wali; ia adalah nyanyian rindu murid kepada gurunya, sebuah nyanyian yang mengajarkan bagaimana ego manusia meleleh, seperti lilin yang luluh di hadapan api cinta Ilahi.
Sejak berabad-abad lalu, umat Islam di berbagai belahan dunia membaca manaqib ini, bukan hanya sebagai ritual, melainkan sebagai pengingat bahwa kemuliaan sejati tidak pernah lahir dari kekuasaan atau harta, tetapi dari ketaatan dan kerendahan hati. Di Indonesia, khususnya dalam tradisi Nahdlatul Ulama, manaqib telah menjadi denyut batin masyarakat desa hingga kota, menjadi ruang berkumpul, berdzikir, dan memupuk rasa kebersamaan.
Cahaya Wali yang Menyinari Umat
Kitab Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī adalah cermin kejernihan seorang wali Allah. Syaikh Abdul Qadir bukan hanya seorang ulama, ia adalah kekasih Tuhan yang kehidupannya berdenyut dengan zikir, sabar, dan kasih.
Dalam salah satu kutipan, tertulis:
“وَكَانَ شَيْخُنَا يُكْثِرُ مِنَ الدُّعَاءِ لِمَنْ حَضَرَ مَجْلِسَهُ، فَكَأَنَّهُ أَبٌ رَحِيمٌ لِأَبْنَائِهِ”
“Syekh kami banyak mendoakan orang-orang yang hadir di majelisnya, seakan ia seorang ayah penuh kasih bagi anak-anaknya.”
Di sinilah letak rahasia manaqib: seorang murid yang membaca, seakan sedang ditimang oleh kasih seorang ayah. Di balik lantunan doa dan pujian, kita menemukan ruang untuk pulang, ruang yang memeluk setiap kelemahan kita.
Fenomena Sosial di Indonesia: Manaqib sebagai Ruang Kebersamaan
Di Indonesia, pembacaan manaqib sering menjadi momen kebersamaan. Orang-orang desa berkumpul di langgar atau rumah tetangga, membawa tumpeng, kopi, dan senyum. Mereka mendengar kisah sang wali, lalu hatinya bergetar, merasa dekat dengan Allah melalui cinta kepada kekasih-Nya.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa manusia butuh teladan. Di tengah hiruk pikuk modernitas, ketika individualisme merajalela, manaqib hadir sebagai tali pengikat, menyatukan hati yang tercerai-berai.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ”
“Bersabarlah engkau bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang, dengan mengharap wajah-Nya.” (QS. Al-Kahf: 28)
Ayat ini seakan menemukan bentuk nyatanya dalam tradisi manaqiban. Orang-orang sederhana duduk bersama, menyebut nama Allah, dan membaca kisah wali.
Rahasia Kerendahan Hati Sang Wali
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dikenal bukan karena ia ingin dikenal, melainkan karena Allah sendiri menyingkapkan cahayanya. Kerendahan hatinya begitu dalam, hingga siapapun yang mendekat merasa dirinya kecil, lalu hatinya luluh.
Dalam manaqib disebutkan:
“وَكَانَ يَقُولُ: أَنَا خَادِمُ مَن يَطْلُبُ رِضَا اللهِ، وَلَسْتُ بِشَيْخٍ عَلَيْهِمْ”
“Beliau berkata: Aku hanyalah pelayan bagi siapa saja yang mencari ridha Allah, bukan seorang syekh atas mereka.”
Betapa berbeda dengan zaman kita hari ini, ketika banyak orang mengejar gelar, panggung, dan pengakuan. Syaikh Abdul Qadir mengajarkan bahwa kemuliaan seorang guru justru lahir dari kerelaannya menjadi pelayan.
Manaqib sebagai Cermin Diri
Membaca manaqib bukan berarti mengagungkan manusia, melainkan belajar menatap cermin diri. Saat kisah-kisah keajaiban beliau dibacakan, yang sejatinya kita lihat adalah kemampuan Allah yang bekerja melalui hamba-Nya.
Salah satu kisah dalam manaqib berbunyi:
“وَكَانَ إِذَا جَاءَهُ الْفَقِيرُ، أَعْطَاهُ مِمَّا عِندَهُ، وَلَوْ كَانَ قَلِيلًا”
“Apabila seorang fakir datang kepadanya, ia memberinya dari apa yang ada padanya, meskipun sedikit.”
Dari sinilah kita belajar: jangan menunggu kaya untuk berbagi, karena berbagi adalah jalan menuju kekayaan hati.
Nyanyian Rindu Murid kepada Gurunya
Bagi murid, membaca manaqib adalah ibadah rasa. Lantunan kalimatnya ibarat syair cinta. Kita tidak hanya membaca kata, tetapi ikut terhanyut dalam irama kerinduan.
Sebagaimana salah satu penggalan indah dalam kitab ini:
“مَنْ أَحَبَّ الْأَوْلِيَاءَ فَقَدْ أَحَبَّ اللهَ، وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَقَدْ أَبْغَضَ اللهَ”
“Barangsiapa mencintai para wali, maka ia mencintai Allah. Dan barangsiapa membenci mereka, maka ia membenci Allah.”
Kerinduan murid kepada gurunya sejatinya adalah kerinduan manusia kepada Sang Maha Guru: Allah Subhānahu wa Ta‘ālā.
Penutup: Cinta yang Menyalakan Lentera Hati
Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah lentera. Ia menyalakan hati kita yang gelap, mengajarkan bahwa cinta kepada Allah bisa ditempuh melalui keteladanan wali-Nya.
Di tengah masyarakat Indonesia yang sering dilanda perpecahan, tradisi manaqiban mengajarkan kesederhanaan: duduk bersama, membaca kisah seorang kekasih Allah, dan bersama-sama menyalakan cahaya iman.
Seperti lilin kecil yang berpindah cahaya dari satu ke yang lain, manaqib membuat hati kita ikut menyala. Dan pada akhirnya, kita pun menyadari: yang kita cintai bukanlah hanya kisah seorang wali, tetapi Allah yang menjadikan sang wali bercahaya.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
