Khazanah
Beranda » Berita » Di Hadapan Sang Wali, Ego Kita Meleleh Seperti Lilin

Di Hadapan Sang Wali, Ego Kita Meleleh Seperti Lilin

Seorang sufi duduk di depan lilin yang menyala, simbol ego yang meleleh di hadapan Sang Wali.
Seorang murid duduk di depan lilin, melambangkan ego yang luluh ketika mendengar ajaran seorang wali.

Surau.co. Ketika membaca Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī, kita seakan berdiri di hadapan cermin yang memantulkan wajah sejati jiwa. Cermin itu tidak menipu, ia memperlihatkan retakan ego, kerak kesombongan, dan lapisan gelap yang menutupi cahaya hati. Di hadapan Sang Wali, ego meleleh seperti lilin yang tersentuh api cinta.

Cahaya Doa yang Menyusup ke Relung Hati

Fenomena di Indonesia memperlihatkan betapa doa masih menjadi sandaran utama masyarakat. Saat ujian sekolah, pesta pernikahan, hingga doa bersama ketika bencana datang, masyarakat selalu berusaha mengaitkan harapannya dengan langit. Namun, doa sering terjebak dalam rutinitas formalitas. Syaikh Abdul Qadir mengingatkan dalam Manāqib:

«الدعاء سلاح المؤمن، فإذا صدق القلب انفتحت له أبواب السماء»
“Doa adalah senjata orang beriman. Jika hati benar, pintu-pintu langit terbuka untuknya.”

Doa bukan sekadar lafaz, melainkan keadaan hati. Ego sering kali menutup pintu itu, karena kita lebih sibuk meminta dunia daripada mencari wajah Allah.

Ego yang Membutakan, Doa yang Melembutkan

Dalam kehidupan modern Indonesia, banyak orang terjebak dalam kompetisi prestise: rumah siapa yang lebih megah, mobil siapa yang lebih mewah, siapa yang lebih viral di media sosial. Ego menjadi racun yang merusak kebersamaan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Syaikh Abdul Qadir menulis dalam Manāqib:

«من غلبه هواه، حُجب عن مولاه»
“Barang siapa dikalahkan hawa nafsunya, ia akan terhalang dari Tuhannya.”

Di hadapan Sang Wali, pesan ini seperti cambuk yang membangunkan tidur panjang kita. Ego membuat doa kehilangan ruh, sementara kerendahan hati menjadikan doa lebih tajam dari pedang.

Kehidupan Sosial dan Kekuatan Tawadhu

Indonesia kerap memperlihatkan paradoks: masyarakat religius, tetapi sering terseret konflik sosial akibat ego kelompok. Dari perbedaan pilihan politik, pertentangan antarorganisasi, hingga gesekan antarwarga, semua berakar pada ego yang tak terkendali.

Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

﴿إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَاضِعِينَ﴾
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang rendah hati.” (QS. Al-Hadid: 23, makna tafsiriyah)

Kerendahan hati tidak berarti lemah, melainkan kekuatan untuk menundukkan ego. Di hadapan ajaran Syaikh Abdul Qadir, kita diajak menyadari bahwa tawadhu adalah jalan menuju persatuan sosial.

Karāmah Bukan Tujuan, Doa adalah Jalan

Banyak orang mendengar kisah karāmah luar biasa Syaikh Abdul Qadir: berjalan di udara, berbicara dengan hewan, atau mengetahui isi hati orang. Namun dalam Manāqib, beliau menegaskan bahwa yang lebih penting adalah doa yang tulus, bukan keajaiban.

«لا تنظروا إلى كراماتي، ولكن انظروا إلى دعائي وذكري لربي»
“Jangan kalian melihat pada karāmahku, tetapi lihatlah pada doaku dan ingatanku kepada Tuhanku.”

Ego sering membuat manusia haus akan sensasi spiritual. Namun, Syaikh Abdul Qadir mengajarkan: keajaiban sejati adalah ketika hati bisa tunduk kepada Allah tanpa syarat.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Menyulam Doa dalam Kehidupan Sehari-Hari

Di masyarakat kita, doa sering muncul dalam momen publik. Tetapi ajaran Syaikh Abdul Qadir mengajarkan doa sebagai nafas hidup: doa ketika berbisik dalam kesunyian, doa ketika bersedih, doa ketika menahan marah, bahkan doa dalam senyuman kepada sesama.

Beliau berkata:

«إذا صفا القلب بالذكر، صار الدعاء نورًا يملأ الدنيا»
“Jika hati bersih dengan zikir, maka doa menjadi cahaya yang memenuhi dunia.”

Inilah jalan sunyi yang sesungguhnya: doa yang lahir dari hati bening, doa yang meluruhkan ego, doa yang menyalakan cinta.

Belajar Menjadi Lilin di Tengah Gelap

Syaikh Abdul Qadir tidak hanya berbicara, beliau hidup dalam zuhud, mengajar murid, dan menyalakan cahaya di Baghdad yang kelam. Di Indonesia hari ini, kita juga membutuhkan lilin-lilin itu: guru yang ikhlas, ulama yang rendah hati, dan masyarakat yang menempatkan doa di atas ego.

Ego membuat kita seperti bara yang membakar. Tetapi kerendahan hati menjadikan kita lilin: meleleh dalam cinta, namun menerangi dunia.

Penutup: Melelehnya Ego adalah Karāmah Sejati

Di hadapan Sang Wali, kita tidak lagi butuh pembuktian, karena karāmah terbesar adalah ketika hati terbuka, ego meleleh, dan doa mengalir tanpa henti. Inilah pesan terdalam Manāqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: jangan mencari keajaiban, tapi biarkan doa membimbingmu menuju Allah.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontempporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement