Ibadah
Beranda » Berita » Besar Cinta yang Sebenarnya: Peduli Akhirat Keluarga

Besar Cinta yang Sebenarnya: Peduli Akhirat Keluarga

Besar Cinta yang Sebenarnya: Peduli Akhirat Keluarga.

Besar Cinta yang Sebenarnya: Peduli Akhirat Keluarga.

SURAU.CO – Cinta sering kali dipahami sebatas perhatian, belaian, hadiah, atau pengorbanan materi. Namun, Islam mengajarkan bahwa cinta yang paling agung bukanlah sekadar memberi kenyamanan di dunia, melainkan bagaimana kita berusaha menyelamatkan orang yang kita cintai dari api neraka.

Allah Ta‘ala berfirman dalam Al-Qur’an:

> “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (QS. At-Tahrim: 6)

Ayat ini menegaskan bahwa wujud cinta terbesar seorang suami, ayah, istri, maupun ibu adalah kesungguhannya menjaga keluarga agar tidak terjerumus ke dalam siksa Allah. Bukan hanya dengan doa, melainkan juga dengan membimbing, menasihati, serta mendidik agar keluarga hidup sesuai dengan tuntunan syariat.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Ukuran Cinta: Seberapa Peduli dengan Akhirat

Bila seseorang sungguh mencintai pasangannya, ia tidak akan membiarkan orang yang dicintainya terjerumus dalam dosa.

Bila seorang ayah benar-benar sayang pada anaknya, ia tidak akan membiarkan anaknya jauh dari shalat, terjerat pergaulan buruk, atau hidup tanpa arah.

Cinta sejati bukan sekadar mengizinkan segala hal demi kebahagiaan dunia, tetapi berani menegur, menasihati, bahkan melarang jika itu akan membahayakan kehidupan akhirat.

Tugas Utama Kepala Keluarga

Seorang ayah memiliki tanggung jawab yang besar. Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwa sebelum seseorang mencegah orang lain dari neraka, hendaklah ia terlebih dahulu menjaga istri dan anak-anaknya. Artinya, keluarga adalah amanah pertama yang harus dipelihara.

Banyak orang pandai menasihati masyarakat, tetapi lupa pada keluarganya sendiri.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Banyak pula yang sibuk bekerja demi nafkah dunia, tetapi lalai memberi nafkah iman. Padahal, bekal iman dan takwa jauh lebih penting daripada sekadar harta yang ditinggalkan.

Cinta yang Menyelamatkan

Kita tidak ingin menjadi orang yang hanya berkata, “Aku mencintaimu,” tetapi di hari kiamat cinta itu tidak berbuah keselamatan. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

“Tidaklah seorang hamba yang Allah jadikan pemimpin atas rakyatnya, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan baginya surga.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini menjadi peringatan, bahwa kelalaian dalam membimbing keluarga adalah bentuk pengkhianatan besar. Cinta yang sejati adalah cinta yang berbuah keselamatan di dunia dan akhirat.

Bentuk Nyata Cinta pada Akhirat

Menjadikan rumah sebagai tempat ibadah, bukan sekadar tempat singgah.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Membiasakan keluarga membaca Al-Qur’an dan shalat tepat waktu.

Mengajarkan halal-haram sejak dini.

Menyediakan waktu untuk berdiskusi, mendengar, dan mengarahkan keluarga sesuai ajaran Islam.

Mendoakan keluarga agar Allah menjaga mereka dari fitnah dunia dan akhirat.

Penutup: Saling Mengingatkan Dalam Kebaikan

Ukuran besar kecilnya cinta seseorang tidak bisa dilihat dari seberapa banyak ia memberi harta, tetapi seberapa peduli ia terhadap akhirat orang yang ia cintai.

Karena itu, mari kita bertanya kepada diri sendiri:
Apakah cinta kita selama ini sekadar memanjakan, atau sudah berusaha menyelamatkan?

Semoga Allah menjadikan kita orang tua, pasangan, dan anak-anak yang saling mengingatkan dalam kebaikan, sehingga cinta kita berlanjut hingga surga-Nya.

 

 

 


Toko Istri.

 

Memberi pesan yang sangat dalam dengan cara yang ringan dan mengena. Beberapa poin reflektif yang bisa diambil:

Pola perilaku manusia: Pria dalam cerita selalu merasa ada yang lebih baik di lantai berikutnya. Ini menggambarkan kodrat manusia yang sulit merasa puas, selalu mengejar sesuatu yang “lebih sempurna” tanpa henti.

Bahaya keserakahan: Setiap lantai semakin “sempurna”, namun karena terus ingin lebih, akhirnya tidak mendapatkan apa-apa. Ini mengajarkan bahwa keserakahan atau ketidakpuasan bisa membuat kita kehilangan yang sudah kita miliki.

Rasa syukur: Lantai pertama sudah memiliki hal-hal yang baik: iman, pekerjaan, dan karakter yang layak. Namun, tanpa rasa syukur, pria itu terus mencari yang lebih dan akhirnya sia-sia. Ini menekankan pentingnya bersyukur atas nikmat yang ada.

Pencarian yang berlebihan: Cerita ini juga mengingatkan kita bahwa pencarian yang berlebihan untuk kesempurnaan bisa menjadi bumerang. Kadang, menerima yang baik dan berusaha menikmatinya lebih bijak daripada selalu membandingkan dengan kemungkinan yang belum ada.

Kesimpulan moral: Hidup tidak selalu soal mencari yang paling sempurna. Seringkali kebahagiaan datang dari menghargai dan mensyukuri apa yang sudah ada, bukan dari mengejar kesempurnaan yang tak pernah tuntas. Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat, (Tengku Iskandar, M. Pd)

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement