Surau.co. Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailānī adalah kitab yang terus dibaca dari generasi ke generasi, termasuk di Indonesia. Di surau, masjid, pesantren, hingga rumah sederhana di desa, orang-orang berkumpul membaca manaqib dengan suara lirih, sambil menyalakan dupa atau menyajikan segelas kopi hitam. Bagi sebagian orang, ia sekadar tradisi. Namun bagi yang lebih dalam hatinya, ia adalah perjalanan menuju cahaya.
Seperti cermin yang jernih, Syaikh Abdul Qadir tidak menyimpan sinar untuk dirinya sendiri. Ia membiarkan cahaya Allah memantul, menyinari hati murid-muridnya. Inilah yang menjadikan kitab manaqib bukan sekadar kisah karāmah, tetapi undangan untuk mengenali rahasia cinta Ilahi.
Kehidupan Modern dan Dahaga Spiritual
Masyarakat Indonesia hari ini hidup di tengah kecepatan. Jalan raya dipenuhi klakson, layar ponsel tak pernah padam, dan waktu seakan berlari. Namun di balik semua hiruk pikuk, ada dahaga yang tak terpuaskan: dahaga akan makna.
Haul Syaikh Abdul Qadir yang setiap tahun dirayakan di berbagai daerah menjadi salah satu tanda bahwa manusia modern tetap mencari oase spiritual. Mereka bukan hanya ingin mendengar cerita keajaiban, tapi ingin diyakinkan bahwa Allah masih dekat.
Al-Qur’an mengingatkan:
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf: 16).
Ayat ini seakan berbisik bahwa di balik cerita wali Allah, yang sesungguhnya dicari bukanlah tokoh itu sendiri, melainkan kehadiran Allah yang begitu dekat.
Karāmah Sebagai Cahaya, Bukan Pertunjukan
Dalam Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī, disebutkan:
« كَانَ نُورُهُ يَظْهَرُ فِي وَجْهِهِ كَمَا تَظْهَرُ الشَّمْسُ فِي الرَّبِيعِ »
“Cahayanya tampak di wajahnya sebagaimana matahari tampak di musim semi.”
Karāmah bukanlah pertunjukan ajaib yang bisa memuaskan rasa penasaran. Ia adalah cahaya yang memantul, yang mengubah wajah, kata, dan laku menjadi petunjuk.
Sayangnya, di masyarakat kita kadang karāmah hanya dipandang sebagai cerita untuk dikagumi. Padahal, lebih penting dari itu adalah bagaimana cahaya karāmah mampu membuat seorang anak berani meninggalkan kemaksiatan, atau seorang ayah menemukan keteguhan untuk jujur dalam bekerja.
Air Mata Murid dan Gelombang Cinta
Kitab manaqib meriwayatkan:
« إِذَا تَكَلَّمَ أَثَّرَ كَلَامُهُ فِي الْقُلُوبِ فَبَكَى الْحَاضِرُونَ »
“Apabila ia berbicara, maka kata-katanya menembus hati sehingga para hadirin menangis.”
Air mata itu bukan sekadar rasa haru, melainkan tanda terbukanya pintu hati. Seperti gelombang cinta yang menghantam pantai, lalu kembali membawa kerikil-kerikil ego menuju lautan.
Fenomena ini terasa nyata di Indonesia. Dalam majelis dzikir atau pengajian manaqib, jamaah sering menangis. Bukan karena ada kejadian luar biasa, tetapi karena ada suara yang mengetuk ruang terdalam jiwa mereka.
Ketaatan yang Melahirkan Kewibawaan
Syaikh Abdul Qadir pernah berpesan dalam manaqibnya:
« مَنْ لَزِمَ طَاعَةَ اللَّهِ جَعَلَ اللَّهُ فِي كَلَامِهِ بَرَكَةً »
“Barangsiapa tekun dalam ketaatan kepada Allah, maka Allah menjadikan keberkahan dalam ucapannya.”
Wibawa bukan datang dari pakaian indah atau pangkat tinggi, melainkan dari hati yang tunduk. Karena itu, murid-murid merasa teduh hanya dengan duduk di dekat beliau.
Di Indonesia, banyak kiai kampung yang tidak dikenal dunia, namun doa dan petuahnya membawa kekuatan. Masyarakat menghormati mereka bukan karena popularitas, tetapi karena cahaya ketaatan yang terpancar dari hidup sederhana.
Memberi Tanpa Takut Kekurangan
Riwayat lain dari Manāqib menyebutkan:
« كَانَ يُطْعِمُ الْيَتَامَى وَيَخْدُمُ الضُّعَفَاءَ بِيَدِهِ »
“Beliau memberi makan anak yatim dan melayani kaum lemah dengan tangannya sendiri.”
Memberi tanpa takut kekurangan adalah tanda hati yang penuh. Prinsip ini sangat relevan di Indonesia, negeri yang terkenal dengan budaya gotong royong. Semangat filantropi Islam—baik dalam bentuk zakat, infak, maupun sedekah—adalah jalan menuju barakah.
Menjadikan Kisah Wali Sebagai Cermin Diri
Membaca Manāqib Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī seharusnya seperti bercermin. Bukan untuk mengagumi bayangan, tetapi untuk menyadari noda di wajah kita sendiri. Karāmah bukanlah tujuan, melainkan jalan yang menuntun kita kembali pada Allah.
Seperti Jalaludin Rumi menulis, “Cermin terbaik adalah seorang kekasih yang telah fana dalam cinta-Nya.” Syaikh Abdul Qadir adalah cermin itu. Dan setiap kita dipanggil untuk membersihkan diri, agar cahaya Allah bisa memantul pula dalam kehidupan kita sehari-hari.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
