Opinion
Beranda » Berita » Kalau Pemimpin Adil, Pajak Jadi Berkah, Negara Jadi Rumah Bersama

Kalau Pemimpin Adil, Pajak Jadi Berkah, Negara Jadi Rumah Bersama

Pemimpin desa berdialog dengan warga di balai desa, simbol keadilan pajak dan rumah bersama
Pemimpin berdialog dengan warga sambil meninjau penggunaan pajak, menekankan keadilan dan keberkahan.

Surau.co. Kalau pemimpin adil, pajak jadi berkah, negara pun berubah menjadi rumah bersama. Pernyataan ini tidak sekadar retorika, melainkan inti dari ajaran Abū Yūsuf dalam Kitab al-Kharāj. Sejak awal, frasa kunci “pemimpin adil”muncul untuk menegaskan bahwa keadilan pemimpin dalam mengelola pajak tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga menyentuh kesejahteraan sosial serta spiritual. Di Indonesia, fenomena ketidakadilan pajak kerap melahirkan ketidakpercayaan rakyat. Karena itu, prinsip ini terasa sangat relevan.


Pajak Sebagai Amanah dan Tanggung Jawab Moral

Abū Yūsuf menegaskan bahwa pengelolaan pajak (kharāj) merupakan amanah yang harus dijalankan dengan keadilan:

«لَا يَحِلُّ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَظْلِمَ رَعِيَّتَهُ فِي الْخَرَاجِ»
“Tidak halal bagi penguasa menzalimi rakyatnya dalam pengumpulan pajak.” (al-Kharāj, hlm. 55)

Di berbagai daerah Indonesia, rakyat sering merasakan pajak sebagai beban semata. Hal itu terjadi karena kurangnya transparansi sekaligus ketidakadilan distribusi. Gus Mus menekankan bahwa pajak yang dikelola dengan amanah tidak hanya menjadi kewajiban formal, tetapi juga ladang pahala. Lebih jauh, keberkahan itu dirasakan baik oleh pemimpin maupun rakyat. Ketika keadilan ditegakkan, rakyat menerima pajak dengan ikhlas. Akibatnya, negara tampil sebagai rumah bersama yang hangat.


Keadilan Pemimpin Membawa Cinta Rakyat

Abū Yūsuf menulis:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

«إِنَّ أَحَبَّ الرَّعِيَّةِ إِلَى الحَاكِمِ أَنْ يَكُونُوا رِضًا وَسَعَادَةً»
“Sesungguhnya rakyat yang paling dicintai oleh penguasa adalah mereka yang merasa puas dan bahagia.” (al-Kharāj, hlm. 42)

Fenomena di Indonesia memperlihatkan banyak kepala daerah yang awalnya dihormati karena aturan ketat, tetapi kemudian rakyat menjauhi mereka. Gus Mus mengingatkan bahwa cinta rakyat tidak lahir dari ketakutan, melainkan dari keadilan nyata. Seorang camat yang meninjau proyek infrastruktur secara langsung, mendengarkan keluhan, dan menampung saran warga akan menumbuhkan kepercayaan lebih kuat daripada sekadar ancaman hukum.


Pajak dan Keberkahan Dunia-Akhirat

Abū Yūsuf menekankan dimensi spiritual dalam pengelolaan pajak:

«وَإِنَّ مَا يُؤخَذُ مِنَ الرَّعِيَّةِ فِي الْخَرَاجِ لِيُسْتَعْمَلَ فِي مَصَالِحِهِمْ وَنُمُوهِهِمْ»
“Sesungguhnya apa yang diambil dari rakyat sebagai pajak harus digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan mereka.” (al-Kharāj, hlm. 48)

Fenomena sosial di Indonesia menegaskan hal yang sama. Rakyat jauh lebih taat membayar pajak ketika melihat dampak nyata bagi kesejahteraan bersama. Gus Mus berulang kali menekankan bahwa pajak yang dikelola adil tidak hanya menguntungkan dunia, tetapi juga berfungsi sebagai amal jariyah bagi pemimpin. Dengan begitu, pengelolaan pajak mendekatkan mereka pada ridha Allah di akhirat.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Selain itu, hadis Nabi Muhammad ﷺ menguatkan prinsip ini:

«كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Keadilan dalam pajak menjadi salah satu wujud nyata dari tanggung jawab tersebut. Ketika pemimpin mengelola pajak dengan bijak, rakyat merasa aman. Akibatnya, negara berkembang sebagai rumah bersama yang penuh keberkahan.


Kejujuran dan Transparansi: Pondasi Pemimpin Adil

Abū Yūsuf kembali menegaskan:

«وَعَلَى الحَاكِمِ أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كَلَامِهِ وَعَدِهِ»
“Penguasa harus jujur dalam ucapan dan janjinya.” (al-Kharāj, hlm. 61)

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Keterbukaan sekaligus kejujuran membentuk pondasi kepercayaan. Gus Mus menuturkan bahwa pemimpin yang mau mengakui keterbatasan serta menjelaskan alasan setiap kebijakan pajak akan menumbuhkan cinta rakyat. Realitas di Indonesia memperlihatkan bahwa rakyat yang merasa diperlakukan adil cenderung lebih kooperatif. Selain itu, mereka juga tumbuh lebih kreatif dan peduli terhadap lingkungan sosialnya.


Membangun Budaya Pajak Berkah di Indonesia

Untuk menjadikan pajak sebagai berkah sekaligus menjadikan negara rumah bersama, beberapa langkah praktis dapat ditempuh:

  1. Transparansi penuh → laporan penggunaan pajak harus disampaikan jelas, rutin, dan mudah dipahami rakyat.

  2. Keadilan dalam pemungutan → pajak wajib disesuaikan dengan kemampuan dan manfaat nyata bagi rakyat.

  3. Pendekatan humanis → pemimpin hadir langsung di lapangan, berdialog, dan mendengarkan keluhan masyarakat.

  4. Menghubungkan dengan akhirat → pajak dipandang sebagai amanah yang mendekatkan diri kepada Allah.

Dengan prinsip ini, pajak tidak lagi dipersepsikan sebagai kewajiban administratif. Sebaliknya, ia berubah menjadi sarana ibadah kolektif. Dari sana lahir kepercayaan, tumbuh kesejahteraan sosial, serta mengalir keberkahan. Gus Mus menutup dengan pengingat: pemimpin yang adil membawa berkah, rakyat menumbuhkan cinta, dan negara benar-benar menjadi rumah bersama bagi semua.

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement