Opinion
Beranda » Berita » Pemimpin Itu Ditakuti atau Dicintai? Abu Yusuf Pilih Dicintai

Pemimpin Itu Ditakuti atau Dicintai? Abu Yusuf Pilih Dicintai

Pemimpin berdialog dengan rakyat di sawah, simbol kepemimpinan dicintai
Seorang pemimpin turun langsung ke lapangan, berbincang dengan rakyat, menumbuhkan rasa cinta dan kepercayaan.

Surau.co.
Pemimpin itu lebih baik ditakuti atau dicintai? Pertanyaan klasik ini bukan hanya teori politik, melainkan kenyataan sosial yang terus melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam Kitab al-Kharāj, Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī menegaskan bahwa pemimpin yang dicintai rakyatnya akan menghadirkan kesejahteraan dan ketenangan, bukan sekadar kepatuhan formal. Frasa kunci “pemimpin dicintai” sejak awal menegaskan satu hal: cinta rakyat jauh lebih kuat daripada rasa takut.


Pemimpin dan Cinta Rakyat: Pelajaran Abū Yūsuf

Abū Yūsuf menulis dalam al-Kharāj:

«وَإِنَّ أَحَبَّ الرَّعِيَّةِ إِلَى الحَاكِمِ أَنْ يَكُونُوا رِضًا وَسَعَادَةً»
“Sesungguhnya rakyat yang paling dicintai oleh penguasa adalah mereka yang merasa puas dan bahagia.” (al-Kharāj, hlm. 42)

Kutipan ini menunjukkan bahwa inti kepemimpinan bukan hanya hukum dan pajak, melainkan kesejahteraan manusia. Fenomena di Indonesia masih sering memperlihatkan pemimpin yang lebih memilih ditakuti lewat aturan ketat dan sanksi keras. Namun, efektivitas kebijakan mereka sering menurun karena rakyat patuh dengan terpaksa, bukan dengan ikhlas.

Gus Mus pernah mengingatkan bahwa pemimpin yang dicintai lahir dari kedekatan emosional, kesediaan mendengar keluhan rakyat, serta keteladanan moral. Misalnya, ketika seorang kepala desa turun langsung meninjau sawah yang kebanjiran, rakyat merasa benar-benar diperhatikan. Hal kecil seperti ini menumbuhkan cinta yang lebih dalam dibanding rasa takut pada peraturan.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama


Keteladanan dalam Pajak dan Keadilan

Dalam al-Kharāj, Abū Yūsuf membahas pajak (kharāj) sebagai instrumen keadilan sosial:

«لَا يَحِلُّ لِلْحَاكِمِ أَنْ يَظْلِمَ رَعِيَّتَهُ فِي الْخَرَاجِ»
“Tidak halal bagi penguasa menzalimi rakyatnya dalam pengumpulan pajak.” (al-Kharāj, hlm. 55)

Rakyat yang merasakan keadilan akan mencintai pemimpinnya. Sayangnya, di Indonesia banyak program pajak dan bantuan sosial gagal karena hanya dikelola secara administratif, tanpa menyentuh hati rakyat. Gus Mus kerap menegaskan: pemimpin harus hadir nyata dalam kehidupan rakyat, bukan hanya hadir dalam lembar peraturan.

Lebih jauh, rakyat rela membayar pajak dengan sukarela jika mereka melihat manfaatnya bagi kesejahteraan bersama. Prinsip ini sejalan dengan nilai Islam: kepemimpinan adalah amanah, bukan sekadar posisi formal.


Komunikasi dan Kejujuran: Kunci Dicintai Rakyat

Abū Yūsuf juga menekankan pentingnya komunikasi yang jujur:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

«وَعَلَى الحَاكِمِ أَنْ يَكُونَ صَادِقًا فِي كَلَامِهِ وَعَدِهِ»
“Penguasa harus jujur dalam ucapan dan janjinya.” (al-Kharāj, hlm. 61)

Kenyataan sosial di Indonesia membuktikan: rakyat lebih menghargai pemimpin yang berani mengakui kesalahan daripada pemimpin yang selalu tampak sempurna. Kejujuran membangun kepercayaan, dan dari kepercayaan tumbuh cinta.

Contoh sederhana: seorang camat yang berani mengakui keterlambatan pembangunan infrastruktur sekaligus menyampaikan langkah perbaikan, tetap dicintai rakyatnya. Pendekatan santun, dialog terbuka, suara lembut, bahkan humor ringan, sering kali jauh lebih efektif dibanding ancaman hukum.


Dari Ketakutan ke Cinta: Transformasi Kepemimpinan

Abū Yūsuf menulis peringatan tegas:

«مَنْ أَخَافَ رَعِيَّتَهُ غَابَتْ حُبُّهُ لَهُ وَخَسِرَ السَّلَامَةَ»
“Barangsiapa menakut-nakuti rakyatnya, hilanglah cinta mereka kepadanya dan keselamatan pun lenyap.” (al-Kharāj, hlm. 72)

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Kutipan ini terbukti nyata. Banyak kepala daerah awalnya disambut karena janji tegas, tetapi lama-kelamaan ditinggalkan rakyat karena kebijakan yang menakutkan. Pemimpin yang dicintai justru menghadirkan ruang sosial yang aman, nyaman, dan produktif. Dengan cinta, rakyat bukan hanya taat, tetapi juga berinovasi, berpartisipasi, dan saling membantu.


Mengaplikasikan Prinsip Abū Yūsuf di Era Modern

Nilai yang diajarkan Abū Yūsuf tetap relevan untuk semua level kepemimpinan, mulai RT hingga pejabat negara. Beberapa langkah nyata yang bisa diterapkan antara lain:

  1. Mendengar secara aktif: temui rakyat, dengarkan keluhan mereka tanpa prasangka.

  2. Memberi teladan nyata: tindakan selalu lebih kuat daripada kata-kata; hadir di lapangan lebih bermakna daripada rapat panjang.

  3. Menjaga transparansi: terbuka soal keputusan, kendala, dan penggunaan anggaran.

  4. Menggunakan pendekatan humanis: humor, empati, dan perhatian kecil mampu menumbuhkan cinta.

Dengan langkah-langkah tersebut, pemimpin tidak hanya dicintai tetapi juga dipercaya untuk membawa perubahan yang adil dan berkelanjutan. Seperti yang sering ditulis Gus Mus, cinta rakyat adalah energi yang jauh lebih kuat daripada rasa takut—dan energi itu pula yang membuat kepemimpinan tetap hidup dalam ingatan umat.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement