Opinion
Beranda » Berita » Kalau Ngurus Tanah, Ingat Umar bin Khattab Bukan Ingat Tengkulak

Kalau Ngurus Tanah, Ingat Umar bin Khattab Bukan Ingat Tengkulak

Petani dan sawah simbol keadilan Umar bin Khattab.
Petani menatap sawah hijau dengan latar langit, simbol keadilan dan amanah dalam mengurus tanah.

Surau.co. Di negeri kita, sawah dan ladang bukan sekadar hamparan hijau yang indah dipandang. Ia adalah dapur raksasa yang menyiapkan makanan bagi jutaan mulut. Karena itu, ketika tanah diperlakukan hanya sebagai aset untuk diperjualbelikan, atau dijadikan komoditas di tangan tengkulak, kita sejatinya sedang melupakan pesan besar para ulama klasik. Kitab al-Kharāj karya Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī menegaskan dengan jelas:ngurus tanah adalah amanah Allah, dan pengelolaannya harus berpijak pada keadilan sosial.

Ketika tanah menjadi jalan rezeki

Saya pernah duduk di beranda rumah seorang petani di Tulungagung. Dengan suara lirih ia berkata, “Mas, saya nanam padi, tapi yang kenyang kadang malah tengkulak.” Ia tertawa getir, tetapi sorot matanya penuh lelah. Kisah sederhana ini menggambarkan kenyataan pahit: tanah memang diolah petani, tetapi hasil panennya sering tidak kembali secara adil kepada mereka.

Abū Yūsuf menulis dengan tegas dalam al-Kharāj:

“الأرض لله ولمن عَمَرَها، فَإِذَا تُرِكَتْ بَطَلَ حَقُّ صَاحِبِهَا وَصَارَتْ لِمَنْ أَحْيَاهَا.”
“Tanah itu milik Allah dan bagi siapa saja yang memakmurkannya. Jika ditelantarkan, gugurlah hak pemiliknya dan berpindah kepada orang yang menghidupkannya.”

Pesan ini jelas: tanah tidak boleh dibiarkan kosong, karena siapa pun yang menelantarkannya berarti mengkhianati fungsi kehidupan yang terkandung di dalamnya.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Umar bin Khattab dan politik pangan

Kita tentu mengenal kisah Umar bin Khattab yang berkeliling di malam hari demi memastikan tidak ada rakyatnya yang kelaparan. Baginya, keadilan bukan teori panjang di ruang rapat, melainkan kenyataan di piring rakyat. Semangat itu sejalan dengan pesan al-Kharāj: tanah harus dikelola untuk kehidupan rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir orang.

Al-Qur’an pun mengingatkan:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ (الملك: 15)
“Dialah yang menjadikan bumi untukmu mudah dimanfaatkan. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah dari rezeki-Nya.” (QS. al-Mulk: 15)

Ayat ini menegaskan arah yang sama: bumi memang hadir untuk memberi rezeki, tetapi rezeki itu harus dibagikan secara adil, bukan dikunci oleh monopoli atau permainan harga.

Perut rakyat jangan dijadikan komoditas

Di pasar tradisional, para ibu mengeluh harga beras naik. Di sisi lain, banyak petani justru menjual panen dengan harga murah karena dikejar utang pupuk. Kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya perut rakyat bila tanah hanya dikuasai segelintir pihak.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Abū Yūsuf kembali mengingatkan:

“عَلَى الإِمَامِ أَنْ يَحْفَظَ الأَرْضَ وَيَسْعَى فِي عِمَارَتِهَا لِمَنْفَعَةِ النَّاسِ جَمِيعًا.”
“Seorang pemimpin wajib menjaga tanah dan berusaha memakmurkannya demi kemanfaatan seluruh manusia.”

Kutipan ini memperjelas tugas negara: melindungi tanah dari praktik yang menindas petani. Jangan sampai mereka hanya menjadi buruh di tanah yang mereka warisi turun-temurun.

Rasulullah ﷺ dan ajaran menghidupkan tanah

Rasulullah ﷺ bersabda:

“مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ.”
“Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi)

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Hadis ini lebih dari sekadar aturan kepemilikan. Ia adalah dorongan agar manusia tidak membiarkan tanah terbengkalai. Menghidupkan tanah berarti mengalirkan kehidupan bagi banyak perut, menebar keberkahan, dan menolak kelaparan.

Tanah subur jangan jadi ladang spekulasi

Hari ini kita melihat sawah berubah menjadi perumahan. Ada yang menyebut itu “kemajuan”. Namun kenyataannya, kita sedang kehilangan dapur masa depan. Al-Kharāj memberi peringatan keras:

“إِهْمَالُ الأَرْضِ يُفْسِدُ الْمَعَاشَ وَيُضَيِّعُ مَصَالِحَ الْعِبَادِ.”
“Mengabaikan tanah akan merusak kehidupan dan menyia-nyiakan kemaslahatan manusia.”

Tanah yang seharusnya menumbuhkan padi kini dipenuhi tembok beton. Begitulah wajah pembangunan yang melupakan perut rakyat.

Menyemai kesadaran, memanen keadilan

Di desa, para petani masih percaya bahwa sawah bukan hanya sumber uang, tetapi juga sumber doa. Mereka menanam sambil memohon hujan, sambil berharap hama tidak menyerang. Bagi mereka, sawah adalah jembatan spiritual antara manusia dengan bumi.

Karena itu, saat kita membicarakan tanah, jangan hanya mengingat tengkulak dengan timbangan curangnya. Ingatlah Umar bin Khattab yang meneteskan air mata untuk rakyatnya. Ingatlah pesan para ulama dalam al-Kharāj: tanah harus menjadi jalan hidup bersama, bukan jalan kekayaan segelintir orang.

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement