Surau.co. Di negeri ini, kata sawah sering jadi simbol harapan. Petani menanam padi bukan untuk dirinya sendiri saja, tapi untuk kita semua. Maka, jika sawah dibiarkan menganggur, yang lapar bukan hanya perut petani, melainkan perut rakyat satu negara. Inilah yang disuarakan Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī dalam kitab klasiknya, al-Kharāj. Kitab yang lahir dari percakapan ulama dengan penguasa ini sebenarnya bicara soal pajak dan pengelolaan negara, tapi di dalamnya terselip nasihat menohok: jangan main-main dengan perut rakyat.
Ketika tanah bukan sekadar tanah
Saya teringat percakapan dengan seorang bapak petani di lereng Gunung Wilis. Tangannya kapalan, wajahnya penuh garis kelelahan, tapi matanya jernih. “Kalau sawah kosong, Mas, hati saya ikut kosong. Soalnya sawah itu bukan cuma tanah. Itu nyawa keluarga saya.” Ucapannya menancap seperti doa.
Dalam al-Kharāj, Abū Yūsuf menulis:
“إِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ جَعَلَ الأَرْضَ مَعَايِشَ لِعِبَادِهِ، فَمَنْ عَطَّلَهَا فَقَدْ ضَيَّعَ حَقَّ اللهِ وَحَقَّ النَّاسِ.”
“Sesungguhnya Allah menjadikan bumi sebagai sumber kehidupan bagi hamba-Nya. Maka siapa yang membiarkannya terbengkalai, sungguh ia telah menyia-nyiakan hak Allah dan hak manusia.”
Kalimat ini seperti tamparan. Tanah yang kosong bukan hanya soal kehilangan hasil panen, tapi juga tanda pengkhianatan terhadap amanah ilahi.
Rakyat kenyang, negara pun tenang
Di banyak desa Indonesia, kita bisa melihat betapa hasil panen sering tak sebanding dengan jerih payah. Harga gabah rendah, pupuk langka, ongkos produksi mahal. Namun tetap saja petani menanam. Sebab mereka tahu, kalau berhenti, bukan hanya dapurnya yang tak mengepul, tapi juga piring orang kota bisa kosong.
Kitab al-Kharāj memberi pengingat keras kepada penguasa:
“عَلَى الإِمَامِ أَنْ يَنْظُرَ فِي مَصَالِحِ الرَّعِيَّةِ، فَإِذَا جَاعُوا جَاعَ، وَإِذَا شَبِعُوا شَبِعَ.”
“Seorang pemimpin wajib memperhatikan kemaslahatan rakyatnya. Jika rakyat lapar, ia pun lapar; dan jika mereka kenyang, ia pun kenyang.”
Betapa indah dan dalam. Seorang pemimpin seharusnya menakar kesejahteraan dirinya dengan piring rakyat, bukan dengan laporan statistik yang penuh angka-angka dingin.
Al-Qur’an dan sabda Nabi tentang perut yang terisi
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ (الأعراف: 10)
“Dan Kami jadikan bagi kalian di bumi segala sumber penghidupan, tetapi sedikit sekali yang bersyukur.” (QS. al-A‘rāf: 10)
Ayat ini menegaskan bahwa bumi, termasuk sawah dan ladang, adalah karunia yang harus dimanfaatkan. Syukur kepada Allah salah satunya adalah dengan mengolah tanah, bukan membiarkannya telantar.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“مَنْ كَانَ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَزْرَعَهَا، فَلْيُعْمِرْهَا أَخُوهُ.”
“Barangsiapa memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya. Jika ia tidak mampu, hendaklah saudaranya yang mengelolanya.” (HR. Bukhārī-Muslim)
Sabda ini jelas: tanah tidak boleh menganggur. Kalau pemilik tak mampu, serahkan pada orang lain yang sanggup. Negara pun seharusnya mengambil peran, memastikan tanah tetap hidup dan menghasilkan.
Negara dan tanggung jawab memberi makan
Di pasar tradisional, kita bisa mendengar keluhan para ibu rumah tangga: “Beras naik lagi, Bu, gimana besok?” Di balik keluhan itu, ada sawah yang tak lagi ditanami, ada irigasi yang rusak, ada kebijakan yang setengah hati.
Abū Yūsuf menulis tegas:
“إِذَا أُهْمِلَتِ الأَرْضُ وَتَرَكَ أَهْلُهَا الْعَمَلَ فِيهَا، وَجَبَ عَلَى الإِمَامِ أَنْ يُعْمِرَهَا بِمَنْ يَقْدِرُ عَلَيْهَا.”
“Jika tanah diabaikan dan pemiliknya meninggalkannya, maka wajib bagi imam (penguasa) untuk memakmurkannya melalui orang yang mampu mengelolanya.”
Artinya negara tak boleh hanya jadi penonton. Negara wajib turun tangan, memastikan sawah tetap menghasilkan meski pemiliknya lelah, miskin, atau tak mampu lagi.
Jangan biarkan tanah jadi kuburan harapan
Di beberapa daerah, sawah berubah jadi deretan ruko atau perumahan. Ada yang bilang, “Itu kan hak pemilik.” Benar, tapi hak itu bukan mutlak. Ada hak orang banyak yang menempel di tanah itu: hak untuk tetap makan, hak untuk hidup.
Kitab al-Kharāj mengingatkan kita:
“إِنَّ فِي إِهْمَالِ الأَرْضِ فَسَادًا فِي الْمَعَاشِ وَضَرَرًا عَلَى الْعِبَادِ.”
“Sesungguhnya mengabaikan tanah akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan dan mudarat bagi hamba-hamba Allah.”
Membaca kalimat ini, kita sadar: tanah yang dibiarkan kosong bukan sekadar kehilangan ekonomi, melainkan juga bencana sosial.
Menyemai kembali kesadaran bersama
Di desa, ada tradisi gotong royong menanam padi. Anak-anak ikut menancapkan bibit sambil bermain lumpur. Suara ibu-ibu menanak nasi dari hasil panen tahun lalu berpadu dengan tawa bapak-bapak di pematang. Semua itu adalah wajah sejati negeri: kebersamaan yang tumbuh dari tanah.
Maka, jangan biarkan sawah menganggur. Jangan biarkan tanah kehilangan arti. Negara harus hadir, rakyat harus peduli, dan kita semua harus kembali menyemai syukur di bumi yang diwariskan Allah.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
