Surau.co. Di kampung saya, seorang kakek petani tiap pagi berangkat ke sawah dengan sarung terikat di pinggang. Tubuhnya memang sudah bungkuk, tetapi tangannya tetap setia mencangkul tanah. Suatu hari ia berkata sambil tersenyum, “Kalau orang kota makan nasi enak, jangan lupa itu dari keringat petani desa.” Kalimat sederhana itu menohok sekali.
Di negeri ini, para petani sering menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Kita semua makan dari hasil kerja keras mereka, tetapi mereka justru hidup pas-pasan. Padahal, dalam kitab al-Kharāj, Abū Yūsuf menekankan bahwa pajak dan aturan negara seharusnya menjamin kesejahteraan petani, bukan menindas mereka.
Pajak Jangan Memberatkan yang Lemah
Abū Yūsuf menulis dalam al-Kharāj:
«لَا يُؤْخَذُ الْخَرَاجُ إِلَّا بِقَدْرِ الطَّاقَةِ وَلَا يُكَلَّفُ الْفَلَّاحُونَ مَا لَا يُطِيقُونَ»
“Pajak tanah tidak boleh diambil melebihi kemampuan, dan para petani tidak boleh dibebani sesuatu yang mereka tidak sanggup menanggungnya.”
Pesan itu sangat mulia. Petani bukan mesin pencetak uang. Mereka manusia dengan tubuh yang terbatas. Oleh karena itu, negara yang bijak melindungi mereka dari pajak yang mencekik, bukan menambah penderitaan.
Kesejahteraan Mereka, Ketahanan Kita
Di Indonesia, kita sering mendengar istilah ketahanan pangan. Namun bagaimana ketahanan bisa terwujud bila petaninya sendiri hidup tidak sejahtera? Al-Qur’an pun menyinggung soal keadilan dalam rezeki:
﴿كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ﴾ (الحشر: 7)
“Supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.”
Ayat itu mengingatkan kita semua agar hasil bumi tidak hanya dinikmati pedagang besar di kota. Petani di desa harus ikut merasakan. Karena mereka yang memberi kita makan, maka wajar bila negara memanjakan mereka dengan perhatian.
Air, Benih, dan Lahan yang Adil
Lebih jauh lagi, Abū Yūsuf menulis:
«يَجِبُ عَلَى الْإِمَامِ أَنْ يَتَفَقَّدَ أَحْوَالَ الْفَلَّاحِينَ وَيَسْعَى فِي إِصْلَاحِ أَرْضِهِمْ»
“Wajib bagi pemimpin untuk memperhatikan keadaan para petani dan berusaha memperbaiki tanah mereka.”
Petani membutuhkan air yang cukup, benih yang baik, dan harga yang adil. Sayangnya, di banyak daerah Indonesia, tengkulak menguasai pasar dan petani kalah daya tawar. Negara kadang hanya berdiri sebagai penonton. Padahal pemimpin seharusnya menata sistem agar petani tidak terus diperas.
Petani Bukan Objek, Mereka Subjek
Abū Yūsuf juga menulis dengan menyentuh hati:
«إِنَّمَا صَلَاحُ الْأَرْضِ بِصَلَاحِ أَهْلِهَا، فَإِذَا هَلَكُوا هَلَكَتِ الْأَرْضُ»
“Sesungguhnya baiknya tanah tergantung pada baiknya orang yang menggarapnya. Jika mereka rusak, maka tanah pun rusak.”
Pernyataan itu sangat jelas. Jika kita menekan, meminggirkan, dan menelantarkan petani, tanah akan tandus. Sebaliknya, jika kita memuliakan mereka, tanah subur, hasil panen melimpah, dan seluruh masyarakat ikut kenyang.
Dari Sawah ke Meja Makan
Mari kita jujur: setiap butir nasi di piring adalah doa petani. Bila mereka hidup sengsara, berarti kita makan dari penderitaan. Maka kebijakan negara wajib berpihak kepada mereka.
Nabi ﷺ juga mengingatkan dalam sebuah hadis:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا» (رواه الترمذي)
“Barang siapa di antara kalian bangun pagi dalam keadaan aman, sehat badannya, dan punya makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia telah terkumpul untuknya.”
Makanan itu jelas berasal dari petani. Oleh sebab itu, kalau kita ingin dunia kita terasa penuh, jangan biarkan petani kita lapar.
Penutup: Dimanja Biar Subur
Petani memang layak dimanja. Bukan dengan kemewahan, melainkan dengan kebijakan yang adil. Mereka perlu dimanja dengan pajak ringan, harga pantas, dan perhatian negara yang nyata.
Jika pemimpin mampu melakukan itu, senyum petani akan menjadi senyum kita semua. Pada akhirnya, hidup kita bergantung pada cangkul, peluh, dan doa mereka di sawah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
