Opinion
Beranda » Berita » Fakir Miskin Itu Prioritas, Bukan Sisa Anggaran

Fakir Miskin Itu Prioritas, Bukan Sisa Anggaran

Fakir miskin menerima prioritas bantuan dari negara
Fakir miskin menjadi prioritas negara

Surau.co. Ketika mendengar kata anggaran negara, banyak orang langsung teringat pada angka-angka di kertas, laporan pejabat, atau tabel APBN yang rumit. Padahal, sejak berabad-abad lalu, ulama besar Islam sudah menulis kitab khusus tentang keuangan publik. Salah satunya adalah Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī, murid Imam Abū Ḥanīfah, dengan kitab monumental al-Kharāj. Kitab ini bukan sekadar catatan pajak, melainkan panduan moral, sosial, dan religius tentang bagaimana harta publik dikelola.

Dan satu hal yang jelas dari kitab itu: fakir miskin bukanlah penerima sisa, tapi mereka adalah prioritas.

Harta Publik Adalah Amanah, Bukan Rampasan

Di kampung saya, pernah ada cerita seorang lurah yang ketika membagi bantuan sosial lebih banyak memperhatikan keluarganya sendiri. Orang yang seharusnya dapat malah terlewat. Fenomena ini mengingatkan pada nasihat Abū Yūsuf dalam al-Kharāj:

«لَيْسَ لِلْإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ الْفَيْءَ فِي غَيْرِ مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ»
“Tidak boleh bagi seorang pemimpin mengalokasikan harta publik kecuali untuk kemaslahatan kaum Muslimin.”

Artinya jelas: uang negara itu amanah, bukan rampasan untuk dibagi sesuai selera.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Fakir Miskin di Tengah Kota Kaya

Di kota-kota besar Indonesia, gedung pencakar langit berdiri megah. Tapi di baliknya, ada kampung-kampung kumuh dengan anak-anak yang sulit membeli susu. Kontras sekali dengan pesan al-Qur’an:

﴿وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ﴾ (الذاريات: 19)
“Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyat: 19)

Bagi Abū Yūsuf, pajak dan pemasukan negara harus kembali pada kebutuhan rakyat kecil. Dalam al-Kharāj, beliau menulis:

«أَضْعَفُ النَّاسِ أَوْلَى بِالْعَدْلِ وَالرِّفْقِ»
“Orang-orang lemah lebih berhak mendapatkan keadilan dan kelembutan (dari negara).”

Maka, ketika anggaran justru lebih banyak tersedot ke proyek mercusuar, kita patut bertanya: apakah fakir miskin hanya mendapat sisa, ataukah memang sudah disingkirkan dari prioritas?

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Dari Masjid hingga Balai Desa

Dalam kitab al-Kharāj, Abū Yūsuf menegaskan pentingnya fasilitas umum yang bermanfaat langsung untuk rakyat. Ia menulis:

«يُنْفَقُ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ فِي الْقَنَاطِرِ وَالطُّرُقِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَا فِيهِ صَلَاحٌ لِلْمُسْلِمِينَ»
“Dari Baitul Mal dibelanjakan untuk jembatan, jalan, masjid, dan hal-hal yang membawa maslahat bagi kaum Muslimin.”

Di Indonesia, kita sering mendengar cerita bagaimana mushalla di kampung-kampung dibangun swadaya. Padahal, alokasi dana desa seharusnya juga menyentuh hal-hal seperti itu. Masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat sosial, pendidikan, dan bahkan dapur umum ketika bencana.

Prioritas Itu Soal Hati Nurani

Ketika negara menjadikan fakir miskin sebagai prioritas, ia sedang meneladani sabda Nabi ﷺ:

«اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ: الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ»
“Ya Allah, aku peringatkan keras (umatku) agar jangan meremehkan hak dua golongan lemah: anak yatim dan perempuan.” (HR. Ibn Mājah)

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Betapa Nabi ﷺ menekankan agar hak kelompok lemah jangan diabaikan. Inilah yang dihidupkan kembali oleh Abū Yūsuf lewat pemikirannya. Bahwa kebijakan negara bukan sekadar neraca keuangan, melainkan neraca keadilan.

Dari Kitab Kuno ke Realitas Indonesia

Jika kita mau jujur, kebijakan anggaran di negeri ini kadang seperti sandiwara. Rapat-rapat panjang, istilah teknis, revisi APBN, tapi ujung-ujungnya rakyat kecil hanya merasakan remah-remah.

Padahal, dalam al-Kharāj ditegaskan:

«إِنَّ الْعَدْلَ فِي الْمُلْكِ أَبْقَى لَهُ وَأَصْلَحُ لِأَهْلِهِ»
“Sesungguhnya keadilan dalam pemerintahan membuatnya lebih langgeng dan lebih baik bagi rakyatnya.”

Keadilan itu bukan jargon. Ia nyata, terlihat dari bagaimana negara memperlakukan yang paling lemah. Kalau fakir miskin masih menunggu sisa anggaran, berarti ada yang keliru dengan nurani kita.

Penutup: Jangan Tunggu Sisa

Pelajaran dari Abū Yūsuf sederhana namun dalam: fakir miskin adalah prioritas, bukan sisa. Uang negara bukan hadiah pejabat, melainkan amanah rakyat.

Indonesia punya kesempatan untuk kembali ke nurani itu. Mengingat pesan Nabi ﷺ, menghidupkan spirit al-Qur’an, dan menjadikan kitab al-Kharāj bukan sekadar karya klasik, tapi cermin bagi zaman ini.

Kalau tidak, kita hanya akan terus menyaksikan jurang kaya-miskin semakin lebar, sementara anggaran habis di atas meja rapat.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement