Surau.co. Ketika mendengar kata pajak, sebagian orang mungkin langsung mengernyitkan dahi. Rasanya berat, seperti ada beban tambahan di tengah harga kebutuhan yang terus naik. Namun kalau kita mau menengok sejenak ke dalam Kitab al-Kharāj karya Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī, ternyata pajak punya wajah lain: bukan sekadar pungutan, melainkan instrumen keadilan sosial. Salah satu contohnya, gaji tentara dibayar dari pajak agar mereka tidak berubah menjadi preman bayaran.
Dalam Kitab al-Kharāj, Abū Yūsuf menegaskan bahwa pengelolaan keuangan negara tidak boleh dijadikan mainan penguasa, tetapi harus diarahkan untuk kemaslahatan rakyat. Tentara, misalnya, harus dijamin kehidupannya dari pajak agar tugas mereka menjaga negeri tidak tergadai oleh kepentingan siapa pun.
قال أبو يوسف: “إِنَّمَا جُعِلَتِ الْجِزْيَةُ وَالْخَرَاجُ لِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ وَنُفَقَاتِ الْجُنُودِ”
Abū Yūsuf berkata: “Sesungguhnya jizyah dan kharāj itu ditetapkan untuk kemaslahatan kaum muslimin dan biaya tentara.”
Pajak Bukan Beban, Tapi Penopang Rakyat
Di kampung kita, sering kali pajak identik dengan beban. Lalu muncul keluhan: “Lha, pajak sudah dibayar, tapi jalan masih rusak, sekolah kurang layak, dan rumah sakit penuh antrean.” Persis seperti orang yang iurannya sudah lancar, tapi pelayanan tetap bikin geleng-geleng kepala.
Islam sejak awal memberi garis tegas bahwa pajak tidak boleh jadi beban sia-sia. Ia harus kembali kepada rakyat. Abū Yūsuf menulis dengan jelas:
“وَيُصْرَفُ ذَلِكَ فِي الْمَصَالِحِ وَحَوَائِجِ النَّاسِ”
“Dan harta itu harus dialokasikan untuk kepentingan umum dan kebutuhan manusia.”
Kalau tentara tidak dibiayai dari pajak negara, mereka bisa saja mencari sumber lain. Akhirnya, yang kuat membeli loyalitas tentara, dan rakyat kecil cuma jadi korban. Maka, pajak dalam Islam adalah benteng agar tentara tetap menjadi pelindung, bukan penindas.
Suara Keadilan dalam Ayat
Al-Qur’an sudah menyinggung soal amanah dalam mengelola harta publik:
إِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلٰى أَهْلِهَا (QS. an-Nisā’ [4]: 58)
“Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”
Amanah itu termasuk pajak. Jika disalurkan dengan benar, ia akan jadi cahaya yang menerangi jalan rakyat. Tapi bila diselewengkan, pajak justru jadi bara yang membakar kepercayaan masyarakat kepada negara.
Rakyat Butuh Senyum, Bukan Ketakutan
Bayangkan tentara yang sejahtera, gajinya cukup, anak-anaknya sekolah tenang, istrinya bisa belanja ke pasar tanpa utang. Tentara seperti itu akan menjaga rakyat dengan tulus. Sebaliknya, tentara yang tidak digaji layak bisa gampang tergoda jadi alat siapa saja yang mau membayar lebih.
Abū Yūsuf bahkan menulis:
“لَوْلَا أُجُورُ الْجُنُودِ لَمْ يُمْكِنْ حِفْظُ الْبِلَادِ”
“Seandainya tidak ada gaji untuk tentara, niscaya mustahil menjaga negeri.”
Di sini kita belajar: pajak adalah instrumen agar rakyat bisa hidup tanpa rasa takut. Pajak yang benar menjelma senyum di wajah rakyat kecil, bukan wajah seram preman yang menagih setoran.
Dari Baitul Māl ke Kehidupan Nyata
Dalam Kitab al-Kharāj, baitul māl bukan sekadar lumbung uang. Ia adalah jantung keuangan negara. Dana pajak masuk, lalu keluar untuk kebutuhan nyata: pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan tentu saja gaji tentara.
“إِنَّ الْمَالَ لِلّٰهِ يُجْمَعُ فِي بَيْتِ الْمَالِ، فَيُقَسَّمُ فِي حُقُوقِهِ”
“Sesungguhnya harta itu milik Allah, dikumpulkan di baitul māl, lalu dibagikan sesuai hak-haknya.”
Maka, kalau hari ini kita melihat ada aparat negara atau oknum tentara yang lebih mirip preman, jangan buru-buru menyalahkan mereka. Bisa jadi, sistem gaji dan alokasi anggaran yang salah arah membuat mereka kehilangan marwah.
Menutup dengan Refleksi
Pajak dalam Islam bukan sekadar angka di slip pembayaran, tapi amanah besar untuk melindungi rakyat. Tentara yang dibayar dari pajak negara bukan hanya menjaga batas wilayah, tapi juga menjaga senyum anak-anak di desa, menjaga pasar tetap ramai, dan menjaga ibu-ibu bisa belanja tanpa rasa takut.
Kalau negara benar dalam mengelola pajak, tentara tidak akan jadi preman bayaran. Mereka akan berdiri tegak sebagai pelindung rakyat, dengan doa rakyat sebagai bekal kekuatan.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontempoprer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
