Opinion
Beranda » Berita » Perceraian dalam Hukum, Hikmah, dan Psikologi

Perceraian dalam Hukum, Hikmah, dan Psikologi

suami istri bertengkar
Ilustrasi suami istri bertengkar yang menyebabkan perceraian. Foto: Perplexity

SURAU.CO. Pernikahan dalam Islam bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan jalan untuk menyempurnakan separuh agama. Melalui ikatan suci pernikahan, pasangan seyogyanya mampu membangun keluarga yang penuh cinta, kasih sayang, dan ketenteraman. Sehingga jauh dari kata perceraian.

Allah SWT berfirman, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21).

Namun, kenyataan hidup tidak selalu seindah yang pengharapan. Perjalanan rumah tangga tidak selalu berjalan mulus. Perselisihan, perbedaan visi, hingga masalah ekonomi kerap memicu retaknya rumah tangga. Jika konflik tidak kunjung mendapatkan jalan keluar, perceraian sering kali menjadi pilihan. Meski agama memperbolehkan, namun Islam sangat menekankan bahwa, talak bukanlah perkara ringan.

Rasulullah SAW bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Dawud). Hadis ini mengingatkan bahwa meski sah secara hukum, menghindari perceraian lebih baik kecuali jika sudah menjadi jalan terakhir untuk menghindari mudharat yang lebih besar.

Perceraian dalam Perspektif Normatif-Yuridis

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang….” (QS. At-Talāq:1)

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Dalam perspektif normatif, Al-Quran telah menjelaskan mengenai perceraian yang menegaskan aturan talak, masa iddah, serta kewajiban suami terhadap istri. Ayat ini menjadi dasar bahwa Islam memperbolehkan perceraian, tetapi harus mengikuti prosedur tertentu demi menjaga keadilan dan martabat kedua belah pihak.

Para ulama fiqih membagi hukum talak menjadi beberapa kategori. Bisa jadi haram, jika melakukannya tanpa alasan syar’i. Misalnya menceraikan istri saat haid atau hanya karena hawa nafsu. Hukumnya bisa juga menjadi makruh, ketika menjatuhkan talak tanpa sebab yang jelas, padahal rumah tangga masih harmonis.

Namun perceraian menjadi wajib, jika mempertahankan pernikahan justru menjerumuskan pada dosa. Misalnya salah satu pasangan menghalangi ibadah. Dan perceraian menjadi sunnah, apabila perpisahan menjadi jalan terbaik untuk menjaga kehormatan dan menghindari kemudaratan yang lebih besar. Dengan demikian, Islam memperbolehkan perceraian sebagai solusi darurat, tetapi bukan sebagai tindakan yang mudah.

Di Indonesia, negara mengatur perceraian secara yuridis melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI). Regulasi ini menegaskan bahwa orang hanya bisa melakukan perceraian di depan pengadilan dengan alasan yang sah dan terbukti. Alasan tersebut mencakup perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan pasangan tanpa kabar lebih dari dua tahun, masuk penjara dalam waktu lama, atau terjadi perbedaan agama yang menimbulkan ketidakharmonisan.

Baik suami maupun istri memiliki hak yang sama untuk mengajukan perceraian, dan negara menekankan bahwa proses ini tidak boleh sembarangan. Dengan adanya regulasi ini, negara berusaha mencegah perceraian secara serampangan. Talak maupun gugatan cerai harus melewati proses hukum agar lebih tertib, adil, dan mempertimbangkan hak-hak anak maupun pasangan.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Perceraian dalam Perspektif Psikologi

Dari perspektif psikologi, perceraian merupakan tanda gagalnya pasangan menyesuaikan diri terhadap konflik rumah tangga. Ketidakmampuan menghadapi masalah membuat perceraian dipandang sebagai jalan cepat, padahal dampaknya luas dan kompleks.

Bagi suami maupun istri, perceraian menimbulkan berbagai konsekuensi. Mulai dari masalah ekonomi karena kehilangan nafkah, utamanya bagi perempuan yang hanya menjadi ibu rumah tangga. Dengan perceraian mengharuskan istri untuk mandiri secara finansial.

Perubahan praktis juga akan terjadi dalam mengurus rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga yang dahulu dibagi kini harus ditangani sendiri. Hingga tekanan emosional berupa rasa marah, dendam, atau penyesalan. Meski ada rasa lega karena terbebas dari konflik, akan tetapi perasaan negatif juga sering menyertai. Tidak jarang, pasangan yang berpisah mengalami krisis identitas dan saling menyalahkan sehingga hubungan menjadi penuh kebencian.

Dampak yang lebih berat justru dirasakan oleh anak-anak. Mereka kehilangan keteladanan dari kedua orang tua sekaligus berisiko menghadapi gangguan perkembangan emosional maupun sosial. Anak korban perceraian sering kali tumbuh dengan rasa marah, menyalahkan salah satu orang tua, bahkan menolak pernikahan ketika dewasa karena trauma. Dalam banyak kasus, prestasi akademik mereka menurun akibat tekanan mental, dan sebagian anak mencari pelarian dengan pergaulan bebas atau perilaku menyimpang. Meski demikian, tidak semua anak mengalami dampak serupa.

Riset menunjukkan bahwa anak dari keluarga broken home lebih rentan terhadap masalah kepribadian dibanding anak yang tumbuh dalam keluarga harmonis. Oleh sebab itu, orang tua yang bercerai tetap dituntut untuk bekerja sama dalam pengasuhan agar anak tidak kehilangan rasa aman dan kasih sayang. Peran aktif orang tua dalam memberikan dukungan emosional dan tetap bekerja sama dalam pengasuhan dapat meminimalisasi luka psikologis yang muncul.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Hikmah di Balik Perceraian

Meski sering dipandang negatif, perceraian terkadang membawa hikmah. Islam memperbolehkan talak sebagai jalan keluar jika mempertahankan rumah tangga justru mendatangkan mudharat yang lebih besar. Misalnya, dalam kasus kekerasan rumah tangga atau pengabaian hak, perceraian bisa menjadi sarana untuk menjaga kehormatan dan keselamatan pasangan.

Allah SWT berfirman, “Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya.” (QS. An-Nisa: 130).

Allah menegaskan bahwa jika keduanya bercerai, Allah akan mencukupi masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Ayat ini meneguhkan bahwa meski perceraian pahit, Allah menjanjikan jalan keluar yang lebih baik bagi mereka yang berpisah dengan alasan benar. Artinya, perceraian bisa menjadi pintu menuju kehidupan baru yang lebih maslahat, asalkan dilakukan dengan tanggung jawab dan tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan.

Refleksi Sosial dan Keagamaan

Fenomena perceraian di Indonesia terus meningkat. Data menunjukkan bahwa mayoritas perceraian justru diajukan oleh pihak istri, dengan alasan terbanyak meliputi faktor ekonomi, ketidakharmonisan, dan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini menggambarkan bahwa kesadaran hukum dan keberanian perempuan untuk memperjuangkan haknya semakin tinggi.

Namun, tingginya angka perceraian juga menjadi peringatan penting bahwa persiapan pernikahan tidak boleh dianggap sepele. Pendidikan pranikah, bimbingan keluarga, serta pemahaman mendalam tentang hak dan kewajiban suami-istri menjadi langkah penting untuk mencegah perceraian di kemudian hari.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi).

Hadis ini mengingatkan bahwa inti dari rumah tangga yang harmonis adalah sikap saling menghormati, memperlakukan pasangan dengan baik, dan menunaikan kewajiban secara seimbang.

Dengan demikian, perceraian dalam Islam dan hukum Indonesia bukanlah sesuatu yang dilarang mutlak, melainkan jalan terakhir yang diperbolehkan untuk menjaga kemaslahatan. Akan tetapi, setiap pasangan sebaiknya mengupayakan musyawarah, sabar, dan saling menghargai sebelum mengambil keputusan untuk berpisah.

Pernikahan idealnya dibangun atas dasar iman, cinta, dan tanggung jawab. Namun, bila perceraian tak terelakkan, setiap pihak harus berusaha menjalankannya dengan penuh tanggung jawab, tetap menjaga silaturahmi, dan mengutamakan kepentingan anak. Dengan sikap demikian, perceraian tidak lagi semata-mata dipandang sebagai kegagalan, melainkan sebagai ikhtiar terakhir untuk membuka lembaran hidup baru yang lebih baik sesuai janji Allah SWT.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement