Surau.co. Kitab al-Kharāj karya Abū Yūsuf Ya‘qūb ibn Ibrāhīm al-Anṣārī adalah kitab klasik yang hingga kini masih terasa hangat di telinga petani, pedagang, dan rakyat kecil yang sering jadi korban kebijakan yang tidak adil. Kitab ini ditulis pada masa Khalifah Hārūn al-Rasyīd, ketika urusan pajak bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan perkara hidup dan mati rakyat di sawah, ladang, dan pasar.
Abū Yūsuf menulis kitab itu bukan untuk menambah rak perpustakaan istana, melainkan untuk menasihati raja agar jangan seenaknya memungut pajak. Karena kalau pajak hanya memberatkan rakyat kecil, terutama petani yang tiap hari ngarit, jangan heran bila tangisan mereka mengalahkan suara azan di desa.
Keadilan yang Tak Boleh Ditawar
Sejak awal, Kitab al-Kharāj mengingatkan bahwa keadilan adalah napas bagi kehidupan bernegara. Abū Yūsuf menulis:
فَإِنَّ الْعَدْلَ أَصْلٌ تُبْنَى عَلَيْهِ الدُّوَلُ، وَإِذَا زَالَ الْعَدْلُ زَالَتِ الْبَرَكَةُ
“Sesungguhnya keadilan adalah fondasi yang di atasnya berdiri negara. Jika keadilan hilang, maka hilang pula keberkahan.”
Pesan ini terasa sekali ketika kita melihat kondisi Indonesia hari ini. Banyak petani sudah lelah menanam, tapi harga panen tak sebanding. Sementara itu, pajak dan pungutan tak jarang datang tanpa memandang wajah lelah mereka.
Al-Qur’an pun menegaskan:
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ (الأعراف: 85)
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya.”
Keadilan bukan hadiah, ia kewajiban.
Pajak Itu Ibarat Pisau
Pajak yang adil bisa menjadi berkah, tapi pajak yang sewenang-wenang bisa jadi petaka. Dalam al-Kharāj, Abū Yūsuf menulis:
لَا يَحِلُّ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْ أَمْوَالِ الرَّعِيَّةِ إِلَّا بِحَقٍّ وَعَدْلٍ
“Tidak halal mengambil sesuatu dari harta rakyat kecuali dengan hak dan keadilan.”
Di Indonesia, pajak seharusnya menjadi jalan untuk membangun irigasi sawah, memperbaiki jalan desa, dan memudahkan pupuk. Namun, bila pajak hanya menambah gendut perut pejabat, petani bisa semakin miskin. Mereka bukan hanya kehilangan hasil panen, tapi juga kehilangan harapan.
Tangisan Petani adalah Doa
Pernah suatu ketika saya duduk bersama seorang petani di pojok warung kopi desa. Ia berkata, “Pak, kami ini kerja dari pagi sampai sore, tapi hasilnya tidak seberapa. Yang bikin sedih, saat kami menjual gabah murah, di kota orang makan nasi tetap mahal.”
Kalimat itu membuat saya ingat pada nasihat Abū Yūsuf:
إِنَّ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ سَاعِدَةٌ إِلَى السَّمَاءِ، لَا يَحْجُبُهَا حَاجِبٌ
“Sesungguhnya doa orang yang terzalimi naik ke langit tanpa ada yang menghalanginya.”
Tangisan petani bukan hanya keluhan di warung kopi. Itu bisa menjadi doa yang mengetuk pintu langit, doa yang jauh lebih keras dari orasi di jalanan.
Abū Yūsuf tidak menulis kitabnya dengan bahasa marah. Ia menulis dengan hati, dengan logika yang jernih, agar raja sadar: tanpa keadilan, rakyat akan sengsara. Dalam kitabnya, ia menegaskan:
إِذَا أَنْصَفَ السُّلْطَانُ رَعِيَّتَهُ، رَخُصَتِ الْأَسْعَارُ وَكَثُرَتِ الْخَيْرَاتُ
“Jika penguasa berlaku adil kepada rakyatnya, harga-harga akan stabil dan kebaikan akan melimpah.”
Bayangkan jika harga beras, cabai, dan bawang di pasar selalu stabil. Petani tidak rugi, pedagang bisa untung wajar, dan rakyat tidak mengeluh. Itulah keadilan yang mendatangkan keberkahan.
Keadilan memang mahal, tapi lebih mahal lagi bila ia absen. Karena tanpa adil, bukan hanya petani yang menangis, tapi seluruh negeri bisa ikut menjerit. Kitab al-Kharāj mengingatkan bahwa pajak dan kebijakan ekonomi tidak boleh lepas dari prinsip keadilan.
Mari kita belajar, bahwa doa orang desa bisa lebih tajam dari pisau analisis politik. Jangan sampai yang ngarit malah nangis, sementara yang duduk di kursi empuk hanya sibuk menghitung angka di layar laptop.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
