Surau.co. Ada saat di mana kata-kata manusia berhenti, tapi pesan hidupnya justru terus berbicara. Wasiyyah, atau wasiat, adalah cara manusia menitipkan kebaikan yang tidak selesai bersama nafas terakhirnya. Dalam kitab Mukhtashar Quduri karya Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad al-Qudūrī al-Baghdādī, wasiat dibahas dengan indah, sederhana, tapi sarat makna. Bukan sekadar hukum, melainkan pesan kemanusiaan: bahwa harta, hidup, dan segala yang kita punya hanyalah titipan.
Di masyarakat kita, sering terdengar kisah warisan yang memecah keluarga. Rumah peninggalan orang tua diperebutkan, sawah dijual tanpa ridha, bahkan adik dan kakak tak lagi saling menyapa. Di tengah hiruk pikuk seperti itu, wasiat sejatinya hadir bukan untuk memecah, melainkan untuk merajut.
Jejak yang Tidak Hilang Bersama Tanah
Hidup, kata orang Jawa, ibarat mampir ngombe. Air itu kita minum, segarnya terasa sesaat, lalu hilang. Tapi ada yang lebih dalam: air yang kita tinggalkan untuk orang lain minum, itulah jejak. Wasiat ibarat air yang tak kering ditelan tanah.
Dalam Mukhtashar Quduri, disebutkan:
«وَالْوَصِيَّةُ جَائِزَةٌ لِلْمُسْلِمِ فِي ثُلُثِ مَالِهِ»
“Wasiat diperbolehkan bagi seorang Muslim pada sepertiga dari hartanya.”
Artinya, seseorang tidak bisa berwasiat sembarangan untuk seluruh harta. Ada aturan, ada batas, agar hak ahli waris tetap terjaga. Wasiat adalah ruang kebajikan yang Allah izinkan, bukan panggung untuk menyalurkan ambisi pribadi.
Saat Hati Lebih Jujur daripada Lisan
Pernah suatu ketika seorang bapak tua di kampung saya berkata pada anak-anaknya:
“Lek, bapak ora duwe bandha akeh, cuma sawah sepetak iki. Yen bapak mati, ojo nganti podo rebutan. Nek iso, tetepke kanggo nandur pari, ben iso mangan bareng.”
Anak-anaknya diam. Tak ada yang membantah. Wasiat sang bapak bukan ditulis dengan tinta, tapi dengan air mata dan kasih sayang. Kadang, wasiat paling jujur bukan di kertas notaris, tapi di hati yang tulus.
Kitab Mukhtashar Quduri kembali mengingatkan:
«وَلَا تَصِحُّ الْوَصِيَّةُ بِأَكْثَرَ مِنَ الثُّلُثِ إِلَّا بِإِجَازَةِ الْوَرَثَةِ»
“Tidak sah wasiat dengan lebih dari sepertiga harta, kecuali dengan izin para ahli waris.”
Batas itu mengajarkan keadilan. Wasiat bukan untuk meninggalkan luka, melainkan menguatkan silaturahmi.
Di Indonesia, wasiat sering kali dipandang sebelah mata. Banyak orang menunda membuatnya karena merasa tabu membicarakan kematian. Padahal, wasiat bukan bicara soal mati, melainkan soal hidup yang masih ingin kita titipkan.
Riset dari Journal of Family Psychology (2017) menyebutkan, perencanaan warisan dan wasiat yang jelas dapat menurunkan konflik keluarga hingga 70%. Fakta ilmiah ini sejalan dengan hikmah Islam: kejelasan wasiat adalah benteng terakhir dari kasih sayang dalam keluarga.
Dalam Mukhtashar Quduri, dinyatakan:
«وَإِذَا أَوْصَى الْمَرِيضُ فِي حَالِ مَرَضِهِ بِوَصِيَّةٍ، فَهِيَ نَافِذَةٌ بَعْدَ مَوْتِهِ»
“Apabila seseorang berwasiat dalam keadaan sakitnya, maka wasiat itu berlaku setelah kematiannya.”
Seakan al-Quduri ingin berkata: jangan menunggu sehat atau sakit parah. Wasiat adalah jembatan kebaikan, kapan pun kita ingat.
Wasiat bukan soal meninggalkan harta, melainkan meninggalkan arah. Ia bukan sekadar tentang “apa yang kita punya”, tapi “apa yang ingin kita wariskan dalam jiwa orang-orang yang kita cintai.”
Wasiat Sebagai Doa yang Menjelma Arah
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
«إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ»
“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menegaskan: keadilan adalah dasar. Wasiat hanya untuk mereka yang tidak otomatis mendapat bagian warisan. Wasiat bukan untuk “mengecoh” hukum Allah, tapi melengkapinya dengan kasih sayang.
Bayangkan jika setiap orang meninggalkan pesan jujur, sederhana, dan adil: tidak akan ada lagi saudara bermusuhan, tidak akan ada tanah keluarga dijual karena dendam.
Dalam Mukhtashar Quduri, ada penutup yang meneguhkan:
«وَالْوَصِيَّةُ صِدْقَةٌ بَعْدَ الْمَوْتِ»
“Wasiat adalah sedekah setelah kematian.”
Dan bukankah kita semua sedang mencari cara untuk tetap bersedekah bahkan setelah tubuh ini kembali ke tanah?
Langkah Praktis
- Mulailah menulis wasiat sederhana, meski hanya satu-dua kalimat.
- Bicarakan niat wasiat dengan keluarga, agar tak menimbulkan salah paham.
- Tetapkan porsi maksimal sepertiga harta, sesuai ketentuan syariat.
- Sertakan pesan non-materi: doa, harapan, dan pesan kasih sayang.
Wasiat, pada akhirnya, adalah cara hidup berbicara lebih jujur daripada lisan kita. Ia bukan tanda takut mati, melainkan bukti cinta yang tidak mau hilang ditelan liang lahat.
Mungkin kita tak bisa menjanjikan rumah megah, tanah luas, atau tabungan besar. Tapi kita bisa meninggalkan pesan yang membuat anak cucu tetap saling merangkul. Dan bukankah itu warisan yang paling mahal?
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَتْرُكُ وَصِيَّةً تَكُونُ جِسْرًا إِلَى الْجَنَّةِ
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
