Opinion
Beranda » Berita » Perdamaian: Menang Tanpa Ada yang Kalah

Perdamaian: Menang Tanpa Ada yang Kalah

Perdamaian dalam Islam sebagai kemenangan tanpa korban.
Ilustrasi perdamaian menurut Mukhtashar Quduri: kemenangan tanpa ada yang kalah.

Surau.co. Kata perdamaian sering kita dengar, tetapi terasa jauh dari keseharian. Kita lebih sering mendengar kata “konflik,” “sengketa,” atau “perang urat saraf.” Padahal, di dalam kitab Mukhtashar Quduri karya Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad al-Qudūrī al-Baghdādī, perdamaian memiliki tempat istimewa dalam hukum Islam. Bahkan, perdamaian adalah bentuk kemenangan yang tak melukai siapa pun.

Di Indonesia, kita sering menyaksikan konflik kecil yang membesar. Mulai dari perdebatan di warung kopi, perselisihan keluarga, hingga pertikaian politik. Kadang, ego lebih menonjol daripada nurani. Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:

«أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud)

Kebenaran sejati justru menumbuhkan keadilan dan kedamaian, bukan pertumpahan darah.

Jalan Tenang yang Lebih Mulia

Mukhtashar Quduri menegaskan pentingnya memilih perdamaian sebelum jalan perang:

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

«وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِذَا لَمْ يَتَضَمَّنْ إِبَاحَةَ مَحْظُورٍ»
“Perdamaian itu sah di antara kaum Muslimin selama tidak mengandung hal yang diharamkan.”

Kalimat ini sederhana tapi menohok: hukum Islam sendiri memberi ruang luas bagi perdamaian. Dalam bahasa sehari-hari, perdamaian bukan tanda kelemahan, melainkan bukti kebijaksanaan.

Saya pernah menyaksikan dua tetangga yang hampir bertahun-tahun tak saling menyapa karena urusan sepele: batas pagar. Setelah didamaikan oleh tokoh kampung, mereka justru menangis bersama, lalu makan pecel pitik satu tampah. Tidak ada yang kalah, dan semua merasa lega.

Sering kali, manusia ingin menang tanpa memikirkan luka yang ditinggalkan. Padahal, Mukhtashar Quduri mengingatkan:

«إِذَا دَعَاهُمْ الْإِمَامُ إِلَى الصُّلْحِ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ لَزِمَهُمُ الْإِجَابَةُ»
“Jika imam mengajak mereka berdamai, dan perdamaian itu lebih baik, maka wajib bagi mereka untuk menerimanya.”

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Ayat ini relevan dengan kehidupan sosial kita. Kalau pemimpin saja diwajibkan memilih jalan damai, bagaimana dengan rakyat biasa? Namun, nafsu manusia kadang sulit diajak berdamai. Ia lebih suka berseteru di media sosial daripada saling mengalah.

Seorang teman saya pernah bergumam,
“Damai itu enak, tapi gengsi ini, loh, yang susah dilepas.”
Saya tersenyum dan menjawab,
“Kalau gengsi terus dipelihara, kita hanya akan punya tembok, bukan jembatan.”

Harmoni yang Menyelamatkan Banyak Nyawa

Islam bukan agama yang mendewakan perang. Dalam Mukhtashar Quduri bahkan ditegaskan:

«إِذَا عَقَدَ الْإِمَامُ الصُّلْحَ مَعَ الْعَدُوِّ لَزِمَهُ الْوَفَاءُ»
“Jika imam telah mengadakan perdamaian dengan musuh, maka wajib baginya untuk menepati janji tersebut.”

Pernyataan itu penting diingat. Perdamaian bukan sekadar tanda tangan di atas kertas, tetapi komitmen moral dan spiritual. Dalam konteks Indonesia, janji damai seharusnya berlaku sejak dari keluarga, sekolah, hingga politik. Kalau perdamaian hanya slogan, ia tak akan menyejukkan siapa pun.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Riset terbaru dalam ilmu sosial menunjukkan bahwa masyarakat yang menumbuhkan budaya damai lebih cepat maju, lebih sejahtera, dan lebih bahagia (Institute for Economics and Peace, 2023). Perdamaian bukan hanya urusan agama, tapi juga syarat kemakmuran.

Langkah Praktis: Menyemai Perdamaian dalam Hidup Sehari-hari

  1. Tahan lidah sebelum marah. Fitnah atau kata kasar bisa melukai lebih dari pisau.
  2. Mulai dari hal kecil. Ucapkan maaf lebih dulu, meski bukan kita yang salah.
  3. Bangun ruang dialog. Dengarkan sebelum menjawab, pahami sebelum menghakimi.
  4. Jaga komitmen. Kalau sudah berdamai, jangan membuka luka lama.

Menang Tanpa Ada yang Kalah

Perdamaian adalah kemenangan sejati, sebab ia tidak menyisakan korban. Semua pulang dengan wajah lega, meski mungkin gengsi masih tersisa. Bukankah indah bila kita bisa menang tanpa membuat orang lain kalah?

Dalam doa kita, sering kita panjatkan:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ إِخْوَانِنَا سَلَامًا وَمَوَدَّةً
Ya Allah, jadikanlah antara kami dan saudara-saudara kami rasa damai dan kasih sayang.

Kini, pertanyaan yang tersisa: apakah kita berani menurunkan gengsi demi mengangkat perdamaian?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement