SURAU.CO – Abu Ali Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham, atau yang lebih terkenal luas sebagai Ibnu Haitham, merupakan salah satu tokoh paling cemerlang dalam sejarah peradaban Islam dan dunia. Lahir di Basra pada tahun 965 Masehi dan wafat di Kairo pada tahun 1039 Masehi, ia terkenal di Barat dengan nama Alhazen. Seorang polymath sejati, Ibnu Haitham menguasai berbagai bidang ilmu seperti sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Penelitiannya yang mendalam tentang cahaya tidak hanya memicu perkembangan penting dalam sains optik, tetapi juga menginspirasi ilmuwan Barat terkemuka seperti Roger Bacon, Johannes Kepler, serta berkontribusi pada penciptaan mikroskop dan teleskop. Kontribusinya secara jelas menepis pandangan keliru yang sering menggambarkan Islam sebagai agama yang menghambat kemajuan ilmu.
Masa Keemasan Intelektual Islam
Gambaran bahwa Islam adalah agama yang mundur dan tidak mendorong pengembangan ilmu pengetahuan adalah suatu kekeliruan besar. Sejarah justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Dunia Islam telah melahirkan banyak sarjana dan ilmuwan luar biasa yang unggul dalam filsafat, sains, politik, kesusastraan, kemasyarakatan, agama, pengobatan, dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Ciri menonjol para cendekiawan Muslim ini adalah kemampuan mereka menguasai ilmu pada usia muda, dan seringkali menguasai beberapa bidang ilmu secara bersamaan dalam waktu singkat. Seorang tokoh yang terkenal ahli dalam sains dan pengobatan, misalnya, juga memiliki keahlian tinggi dalam agama dan filsafat. Ibnu Haitham adalah representasi sempurna dari kejeniusan intelektual pada era keemasan Islam.
Perjalanan Hidup Sang Penjelajah Ilmu
Ibnu Haitham lahir di Basrah pada tahun 354 Hijriah atau 965 Masehi. Ia memulai pendidikannya di kota kelahirannya dan sempat menjabat sebagai pegawai pemerintah. Namun, dahaga ilmunya mendorongnya untuk merantau ke Ahwaz dan Baghdad. Di sana, beliau melanjutkan studinya dan memfokuskan diri pada penulisan.
Kecintaannya pada ilmu pengetahuan membawanya berhijrah ke Mesir. Selama di Mesir, Ibnu Haitham melakukan berbagai penelitian mengenai aliran Sungai Nil dan menyalin buku-buku matematika serta falak. Tujuannya adalah mengumpulkan dana untuk membiayai perjalanannya menuju Universitas Al-Azhar, pusat pembelajaran terkemuka saat itu.
Berkat ketekunan dan dedikasinya, Ibnu Haitham menjadi sangat mahir dalam sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Tulisan-tulisannya mengenai mata menjadi rujukan penting dalam studi sains di Barat, dan penelitiannya tentang pengobatan mata bahkan menjadi dasar bagi pengobatan mata modern.
Karya dan Penelitian Revolusioner
Optik
Ibnu Haitham adalah seorang ilmuwan yang tak kenal lelah dalam melakukan penyelidikan. Penyelidikannya tentang cahaya memberikan ilham besar bagi ilmuwan Barat seperti Roger Bacon, Johannes Kepler, dan lainnya, yang kemudian berhasil menciptakan mikroskop dan teleskop. Ia adalah individu pertama yang menulis dan menemukan berbagai data penting mengenai cahaya.
Beberapa bukunya tentang cahaya telah ada penerjemahannya ke dalam bahasa Inggris, termasuk “Light” dan “On Twilight Phenomena“. Kajiannya membahas secara mendalam fenomena senja, lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari, serta bayang-bayang dan gerhana.
Karya monumental Ibnu Al Haitham, Kitab al-Manazir (Kitab Optik), antara tahun 1011–1021, semasa ia menjadi tahanan rumah. Lahirnya karya tersebut bermula dari pemikiran Al Haitham untuk menggali lebih lanjut teori mengenai prinsip-prinsip penglihatan, optik, dan cahaya. Menurutnya, teori Euclid dan Ptolemeus pada saat itu, kurang tepat.
Al Haitham tergolong sebagai salah satu ilmuwan pertama yang mempelajari karakteristik cahaya dan mekanisme/proses penglihatan. Ia mengutamakan eksperimen, ia merancangnya dengan cermat untuk menguji teori dan hipotesis, sebagaimana metode ilmiah di zaman sekarang. Dari situlah, Ibnu Al Haitham ahli di bidang optik, matematika, juga astronomi, dan melahirkan karyanya yang terkenal, Kitab al-Manazir (Kitab Optik). Kitab al-Manazir menunjukkan beberapa pengaruh dari karya Ptolemeus, dalam versi yang lebih tepat. Ia menjelaskan dalam kitab ini bahwa penerimaan pasif sinar cahaya yang dipantulkan dari objek oleh mata, bukan pancaran sinar cahaya aktif dari mata.
Kitab al-Manazir juga berisi tentang “masalah Alhazen”, atau cara menentukan titik refleksi dari bidang atau permukaan lengkung, dengan titik pusat mata dan titik yang diamati. Kitab al-Manazir, yang diterjemahkan dalam bahasa Latin dengan judul De Aspectibus, menjadi rujukan para ilmuwan Eropa, termasuk para ilmuwan era Renaisans yang terkenal.”
Menurut Ibnu Haitham, “cahaya fajar bermula apabila matahari berada di garis 19 derajat di ufuk timur. Warna merah pada senja pula akan hilang apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat.” Dalam kajiannya, ia juga berhasil menjelaskan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.
Ibnu Haitham melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar, dan dari situlah ia menemukan teori lensa pembesar. Dengan menggunakan teori ini para ilmuwan di Italia untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia.
Prinsip Volume Udara dan Filsafat
Lebih menakjubkan lagi, Ibnu Haitham menemukan prinsip volume udara jauh sebelum Evangelista Torricelli mengetahuinya 500 tahun kemudian. Ia juga menemukan keberadaan tarikan gravitasi sebelum Isaac Newton. Selain itu, teori Ibnu Haitham mengenai jiwa manusia sebagai “satu rentetan perasaan yang bersambung-sambung secara teratur” menginspirasi ilmuwan Barat untuk menghasilkan wayang gambar. Teorinya ini mengarah pada penemuan film, yang kemudian disambung-sambung dan diproyeksikan kepada penonton sebagaimana yang kita saksikan saat ini.
Filsafat yang Berpijak pada Kebenaran
Selain sains, Ibnu Haitham juga banyak menulis tentang filsafat, logika, metafisika, dan isu-isu keagamaan. Ia menulis ulasan dan ringkasan terhadap karya-karya sarjana sebelumnya. Penulisan filsafatnya banyak berpusat pada aspek kebenaran dalam masalah yang menjadi pertikaian. Baginya, pertikaian dan perselisihan mengenai suatu perkara bersumber dari pendekatan dalam memahaminya.
Beliau berpendapat bahwa “kebenaran hanyalah satu.” Oleh karena itu, semua klaim kebenaran harus diragukan dalam mengevaluasi semua pandangan yang ada. Pandangan filosofisnya ini sangat menarik dan relevan.
Bagi Ibnu Haitham, filsafat tidak dapat dipisahkan dari matematika, sains, dan ketuhanan. Ia meyakini bahwa ketiga bidang ilmu ini harus dikuasai, dan untuk mencapainya, seseorang harus “menggunakan waktu mudanya dengan sepenuhnya,” karena “apabila umur semakin meningkat, kekuatan fizikal dan mental akan turut mengalami kemerosotan.”
Karya Abadi yang Melampaui Zaman
Ibnu Haitham membuktikan pandangannya melalui semangatnya yang luar biasa dalam mencari dan mendalami ilmu pengetahuan di usia muda. Hingga kini, beliau berhasil menulis banyak buku dan makalah. Di antara karya-karya monumentalnya adalah:
Al’Jami’ fi Usul al’Hisab yang berisi teori-teori matematika dan analisis matematika.
Kitab al-Tahlil wa al’Tarkib mengenai ilmu geometri.
Kitab Tahlil ai’masa^il al ‘Adadiyah tentang aljabar.
Maqalah fi Istikhraj Simat al’Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat untuk setiap wilayah.
Maqalah fima Tad’u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syariat.
Risalah fi Sina’at al-Syi’r mengenai teknik penulisan puisi.
Sumbangan Ibnu Haitham kepada ilmu sains dan filsafat sangatlah besar dan tak terhingga. Karena itulah Ibnu Haitham terkenal sebagai seorang yang “miskin dari segi material tetapi kaya dengan ilmu pengetahuan.” Banyak pandangan dan pendapatnya tetap relevan dan menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern. Kejeniusan Ibnu Haitham adalah bukti nyata betapa cemerlangnya peradaban Islam dalam memajukan ilmu pengetahuan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
