Surau.co. Warisan dalam Islam – Di setiap keluarga Indonesia, kata warisan bukan sekadar pembagian harta setelah kematian, tapi juga bisa menjadi bara yang membakar persaudaraan. Dalam kitab Mukhtashar Quduri, Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad al-Qudūrī al-Baghdādī membahas warisan bukan hanya sebagai hitungan matematis, melainkan sebagai penegasan hukum agar manusia belajar tentang akhir perjalanan hidupnya.
Warisan adalah tanda bahwa kita sudah tidak ada, tubuh sudah kembali ke tanah, nama tinggal terukir di batu nisan. Namun ironisnya, justru di saat itu, orang-orang yang kita cintai sibuk memperdebatkan siapa yang berhak mendapat bagian lebih banyak.
Harta yang Menyisakan Luka
Di desa saya, ada cerita seorang bapak yang meninggalkan sebidang sawah dan rumah sederhana. Anaknya ada lima. Awalnya semua terlihat damai. Namun ketika sawah itu hendak dijual, konflik pun muncul. “Aku yang paling lama merawat bapak, jadi bagianku harus lebih besar,” kata anak sulung. Si bungsu tak kalah keras, “Kalau begitu, aku yang paling sering menemani ibu, jadi aku juga berhak lebih.”
Dialog semacam itu bukan hanya cerita satu rumah, tapi fenomena di banyak keluarga Indonesia. Harta yang mestinya menjadi berkah, justru meninggalkan luka.
Al-Qur’an mengingatkan:
﴿يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَـٰدِكُمْۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ﴾
“Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua anak perempuan.” (QS. An-Nisā’: 11)
Ayat ini bukan soal siapa lebih berharga, melainkan keseimbangan peran sosial yang ada di masa itu. Namun makna terpentingnya: warisan harus dibagi dengan adil, sesuai hukum Allah, bukan sesuai hawa nafsu.
Keadilan yang Tertulis Sejak Lama
Dalam Mukhtashar Quduri, pembahasan warisan begitu detail, seolah ulama abad lampau sudah membaca potret pertengkaran masa kini.
Quduri menulis:
«وَيُقَسَّمُ الْمِيرَاثُ عَلَى أَهْلِهِ بَعْدَ قَضَاءِ الدُّيُونِ وَالْوَصَايَا»
“Warisan dibagi kepada ahli warisnya setelah dilunasi hutang dan wasiat.”
Betapa sering kita melupakan hutang, langsung membagi harta seakan semua itu sudah milik kita. Padahal, bisa jadi tanah itu masih tergadai, atau ada janji yang belum lunas.
Lalu beliau juga menegaskan:
«إِذَا اجْتَمَعَ الْعَصَبَةُ قُسِمَ الْمِيرَاثُ بَيْنَهُمْ بِالسَّوَاءِ»
“Apabila para ‘ashabah (kerabat laki-laki) berkumpul, maka warisan dibagi rata di antara mereka.”
Kesetaraan dalam warisan kadang lebih sederhana daripada yang kita ributkan. Namun karena hati manusia sering terikat pada harta, yang sederhana menjadi rumit.
Seorang kiai di kampung saya pernah berkata:
“Warisan dalam Islam itu bukan soal harta, tapi soal hati. Yang dibagi bukan cuma sawah dan rumah, tapi juga kerukunan. Kalau hatinya kotor, pembagian yang adil sekalipun akan tetap menimbulkan iri.”
Dan Quduri kembali mengingatkan:
«وَالْبِنْتُ الْوَاحِدَةُ لَهَا النِّصْفُ، فَإِنْ كُنَّ اثْنَتَيْنِ فَصَاعِدًا فَلَهُنَّ الثُّلُثَانِ»
“Seorang anak perempuan mendapat separuh (harta). Jika mereka dua atau lebih, maka mereka mendapat dua pertiga.”
Sistem ini adalah pagar agar manusia tidak saling merampas. Tetapi pagar hanya berguna kalau kita mau menundukkan ego.
Bayangan Hidup yang Sesungguhnya
Dalam satu pengajian, ada percakapan kecil:
“Pak, kalau kita mati, apa yang kita bawa?”
“Yang kita bawa cuma amal. Warisan tinggal jadi rebutan.”
“Lalu, untuk apa kita terlalu cinta pada harta?”
“Karena kita lupa bahwa tanah yang menutup tubuh kita jauh lebih sempit dari tanah sawah yang kita kejar.”
Mukhtashar Quduri pun menutup pengingatnya dengan jelas:
«وَالْوَارِثُ لَا يَحْجُبُ أَصْلًا عَنِ الْفَرَائِضِ»
“Ahli waris tidak boleh menutup hak pokok orang lain dalam faraidh.”
Inilah inti: jangan sampai karena warisan, kita menutup pintu keadilan dan merusak silaturahmi.
Harta warisan dalam Islam adalah ujian hati, bukan sekadar angka.
Sebelum membagi, lunasi hutang dan tunaikan wasiat.
Adil lebih penting daripada banyak.
Yang abadi bukan harta yang kita tinggalkan, tapi doa anak-anak yang ikhlas.
Menggenggam Doa, Bukan Berebut Pembagian Harta Warisan
Ketika kita meninggal, yang kita tinggalkan hanyalah nama. Mungkin sawah, rumah, atau tabungan bisa terbagi, tetapi doa anak-anak dan saudara yang ikhlas adalah warisan sejati yang terus mengalirkan pahala.
Mari kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita ingin meninggalkan kenangan sebagai orang yang harta peninggalannya merusak keluarga, atau sebagai sosok yang warisannya menjaga silaturahmi?
Semoga Allah memberi kita hati yang lapang, keluarga yang rukun, dan akhir yang husnul khatimah. آمين.
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
