SURAU.CO – Abstrak: Komposisi dan kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) terus menjadi sorotan publik akibat dominasi kepentingan oligarkis dan praktik politik dinasti. Makalah ini menganalisis kritik mendasar yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dalam sebuah wawancara pada 11 September 2024, yang menyatakan bahwa 99% anggota DPR merupakan produk dari oligarki dan dinasti kekuasaan. Dengan menggunakan lensa Action Research (See-Judge-Act) dan pendekatan analisis akar masalah (5 Whys), penelitian ini mengeksplorasi dampak sistemik dari rekrutmen politik yang transaksional terhadap kualitas legislasi dan integritas demokrasi. Makalah ini berargumen bahwa solusi fundamental terletak pada revisi Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik yang berfokus pada penguatan meritokrasi, transparansi rekrutmen internal partai, dan pembiayaan partai politik secara penuh oleh negara dengan pengawasan ketat. Rekomendasi kebijakan ini ditujukan untuk menciptakan parlemen yang diisi oleh negarawan, bukan sekadar selebritas atau kepentingan oligarkis.
Kata Kunci: Reformasi Politik, Oligarki, Dinasti Politik, Meritokrasi, Rekrutmen Legislatif, Pembiayaan Partai Politik.
Pendahuluan: Konteks Krisis Legitimasi Parlemen
Lembaga legislatif, dalam bangunan trias politica, berfungsi sebagai pilar utama representasi rakyat dan penjaga checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif. Namun, di Indonesia, fungsi ideal tersebut sering kali terkikis oleh realitas politik praktis yang sarat dengan transaksionalitas. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap dipersepsikan publik tidak sebagai kumpulan negarawan yang berorientasi pada kepentingan nasional, melainkan sebagai arena perebutan pengaruh dan kepentingan ekonomi-politik segelintir kelompok. Persepsi ini bukan tanpa dasar, melainkan didukung oleh sejumlah temuan empiris dan kritik substantif dari para aktor politik di dalam sistem itu sendiri. Salah satu kritik paling tajam dan sistematis baru-baru ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, seorang ahli hukum ketatanegaraan dan politisi senior yang memiliki pengalaman panjang dalam mengamati dinamika elektoral Indonesia.
Dalam sebuah wawancara yang tayang pada kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored pada tanggal 11 September 2024, Yusril menyoroti kegagalan sistemik dalam proses rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) yang pada gilirannya menghasilkan kualitas parlemen yang jauh dari harapan. Pernyataannya bahwa 99 persen anggota DPR saat ini merupakan produk oligarki politik dan dinasti kekuasaan bukan hanya sebuah retorika, melainkan sebuah hipotesis yang memerlukan pembedahan mendalam untuk memahami akar permasalahan dan merumuskan alternatif solusinya. Makalah ini bermaksud untuk menganalisis seruan reformasi politik Yusril tersebut secara komprehensif. Dengan menggunakan kerangka Action Research (See-Judge-Act), kami akan pertama-tama melihat (See) realitas objektif yang melatarbelakangi kritik tersebut, kemudian menilainya (Judge) berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan good governance, dan akhirnya merumuskan serangkaian tindakan (Act) yang diperlukan untuk melakukan rekonfigurasi lanskap politik Indonesia menuju parlemen yang lebih berkualitas dan legitimate.
Mendiagnosis Realitas Rekrutmen Politik yang Bermasalah
Pernyataan Yusril Ihza Mahendra mengidentifikasi tiga masalah utama yang menyumbat saluran rekrutmen politik nasional: politik transaksional, oligarki, dan dinasti. Politik transaksional merujuk pada praktik dimana kedudukan politik diperoleh bukan berdasarkan kompetensi melainkan melalui pertukaran materi dan janji-janji balas jasa. Praktik ini kemudian dimungkinkan dan didominasi oleh oligarki, yakni kelompok kecil yang memiliki konsentrasi kekuatan ekonomi yang kemudian dikonversi menjadi kekuatan politik untuk melindungi dan mengembangkan kepentingan ekonominya tersebut. Sementara itu, politik dinasti adalah upaya untuk melanggengkan kekuasaan within a small cluster of families atau kerabat dekat, sehingga mempersempit kesempatan bagi talenta-talenta luar untuk masuk.
Data yang diungkapkan Yusril mengenai 99% anggota DPR yang berasal dari lingkaran oligarki dan dinasti, meski memerlukan verifikasi empiris yang lebih mendetail, secara umum sejalan dengan temuan berbagai lembaga riset independen seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Riset-riset tersebut menunjukkan betapa tingginya angka “political turnover” yang rendah di daerah tertentu, dimana kursi kekuasaan hanya berputar pada keluarga atau kelompok yang sama. Pernyataan Yusril, “Kalau bukan istri bupati, anak gubernur, ya kerabat pejabat. Banyak juga yang masuk DPR karena dibiayai oligarki,” adalah sebuah simplifikasi yang efektif untuk menggambarkan fenomena kompleks ini. Implikasi dari sistem rekrutmen yang demikian adalah terpinggirkannya meritokrasi.
Akibatnya, seperti dikritik Yusril, banyak anggota DPR yang ditempatkan di komisi-komisi strategis tanpa memiliki pemahaman mendalam tentang bidang tersebut, dan yang lebih parah, menunjukkan gejala malas belajar. Hal ini berakibat pada lemahnya kapasitas DPR dalam menjalankan fungsinya, terutama fungsi legislasi dan pengawasan. RUU yang dihasilkan sering kali tidak berkualitas, pengawasan terhadap kebijakan pemerintah lemah, dan yang menonjol justru adalah fungsi budgeting yang rawan diselewengkan untuk “balik modal” dari investasi politik yang besar selama kampanye. Inilah yang disebut sebagai politik balas budi, dimana kebijakan dan anggaran diformulasikan untuk melayani kepentingan para penyandang dana, bukan kepentingan publik luas.
Analisis Akar Masalah dengan Pendekatan 5 Whys
Untuk memahami mengapa masalah ini terus berlarut-larut, diperlukan sebuah analisis akar masalah yang mendalam. Pendekatan 5 Whys dapat diaplikasikan secara implisit dalam narasi ini untuk menelusuri sebab-akibat yang berjenjang. Pertanyaan mendasarnya adalah: Mengapa kualitas anggota DPR dinilai rendah dan didominasi oleh kepentingan oligarkis?
Pertama, karena proses seleksi caleg di internal partai politik tidak berdasarkan kapasitas dan rekam jejak, melainkan pada faktor finansial dan popularitas (celebrity politics). Hal ini terjadi mengapa? Karena partai politik memerlukan biaya yang sangat besar untuk menjalankan mesin organisasi dan berkampanye. Biaya operasional yang tinggi ini memaksa partai untuk mencari kader-kader yang mampu membiayai sendiri kampanyenya atau menarik calon yang populer agar mudah mendapatkan suara. Lalu, mengapa partai politik tidak memiliki sumber pendanaan yang memadai dan berkelanjutan? Karena sistem pembiayaan partai politik yang ada saat ini, meski mendapat alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), masih belum memadai dan tidak mencukupi untuk menghindarkan partai dari ketergantungan pada penyandang dana besar (oligark).
Regulasi yang mengatur pemilu dan Parpol
Selanjutnya, mengapa sistem yang ada tidak mampu memutus ketergantungan ini? Karena regulasi yang mengatur tentang pemilu dan partai politik, khususnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, belum memiliki ketentuan yang cukup kuat dan efektif untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas rekrutmen internal partai serta membatasi secara mutlak praktik politik dinasti. Terakhir, mengapa regulasi yang ada lemah? Karena inisiatif untuk merevisi regulasi tersebut harus datang dari DPR itu sendiri, yang notabene adalah produk dan pihak yang diuntungkan dari sistem yang berlaku saat ini. Terdapat konflik kepentingan yang inherent yang membuat DPR tidak memiliki insentif politik untuk mengubah status quo yang menguntungkan mereka. Analisis berjenjang ini menunjukkan bahwa akar masalahnya terletak pada sistem yang saling terkait: sistem rekrutmen, sistem pembiayaan, dan sistem regulasi yang lemah, yang kesemuanya dilindungi oleh para aktor yang diuntungkan dari sistem tersebut.
Oleh karena itu, seruan Yusril harus dinilai sebagai sebuah kritik yang tepat sasaran dan mendesak. Dari sudut pandang demokrasi deliberatif, sebuah parlemen yang tidak merepresentasikan meritokrasi dan keterwakilan substantif telah gagal menjalankan mandat kedaulatan rakyat. Dari perspektif good governance, hal ini bertentangan dengan prinsip akuntabilitas dan partisipasi. Sistem yang berlaku justru mempromosikan inefisiensi dan korupsi, karena kebijakan publik berpotensi dibentuk untuk kepentingan partikular, bukan kepentingan umum.
Serangkaian Solusi Kebijakan yang Terintegrasi
Berdasarkan analisis pada bagian Judge, maka solusi yang ditawarkan haruslah komprehensif dan menyentuh akar permasalahan. Usulan-usulan yang disampaikan Yusril Ihza Mahendra memberikan peta jalan yang jelas, yang dapat dirinci menjadi beberapa agenda aksi kebijakan yang saling memperkuat.
Pertama, revisi mendasar terhadap Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Partai Politik. Revisi ini harus berfokus pada penciptaan mekanisme rekrutmen caleg yang transparan dan berbasis meritokrasi. UU baru harus mewajibkan setiap partai politik untuk menerapkan sistem seleksi caleg yang terbuka, adil, dan kompetitif, dengan parameter penilaian yang jelas terhadap kapasitas intelektual, rekam jejak, dan integritas calon. Hasil seleksi ini harus diumumkan secara publik dan dapat diakses oleh masyarakat luas untuk memungkinkan pengawasan civil society. Selain itu, usulan Yusril untuk menerapkan standar minimal pendidikan sarjana bagi calon anggota DPR patut dipertimbangkan sebagai bagian dari upaya meningkatkan kapasitas legislatif, meski harus hati-hati agar tidak menimbulkan diskriminasi secara horizontal.
Sistem Pembiayaan Parpol
Kedua, reformasi sistem pembiayaan partai politik. Ini adalah solusi krusial untuk memutus mata rantai oligarki. Yusril membuka opsi agar negara membiayai partai politik secara penuh. Mekanisme ini, jika diterapkan, dapat secara signifikan mengurangi ketergantungan partai pada para penyandang dana gelap. Namun, pembiayaan penuh oleh negara harus disertai dengan pengawasan yang sangat ketat dan independen dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setiap rupiah yang dialokasikan dari APBN harus dapat dipertanggungjawabkan dan dialokasikan secara proporsional berdasarkan kinerja dan perolehan suara partai. Dengan demikian, logika “balik modal” yang selama ini mendorong korupsi di DPR dapat diminimalisir, karena caleg tidak perlu mengeluarkan dana pribadi yang besar untuk berkampanye.
Ketiga, penguatan sistem kelembagaan partai politik. Partai politik harus didorong untuk menjadi organisasi yang benar-benar demokratis dari dalam. Ini berarti memastikan bahwa kepemimpinan partai tidak didominasi oleh satu kelompok atau keluarga tertentu secara turun-temurun. Regulasi harus mencegah praktik politik dinasti dengan membatasi keterwakilan keluarga langsung dalam kepengurusan partai dan daftar calon legislatif pada daerah pemilihan yang sama. Penguatan kaderisasi internal partai yang profesional dan berjenjang juga mutlak diperlukan untuk menciptakan bibit-bibit negarawan yang siap dipajangkan ke kursi legislatif.
Tantangan Implementasi dan Peran Krusial Eksekutif
Meskipun solusi-solusi di atas terdengar ideal dalam konsep, implementasinya tidak akan lepas dari tantangan dan resistensi yang besar. Kelompok kepentingan yang saat ini diuntungkan oleh sistem lama, yakni para oligark dan politisi dinasti yang menduduki kursi DPR, akan berusaha sekuat tenaga untuk menghalangi revisi UU yang dapat mengancam posisi mereka. Hal ini menciptakan sebuah paradoks politik yang pelik: kita memerlukan DPR untuk merevisi UU yang akan membentuk DPR yang lebih baik, sementara DPR yang ada sekarang tidak memiliki kemauan politik untuk melakukannya.
Dalam menghadapi tantangan inilah, peran pemerintah, dalam hal ini Presiden sebagai pemimpin eksekutif, menjadi sangat krusial dan menentukan. Sebagaimana ditegaskan oleh Yusril Ihza Mahendra, “Kalau inisiatif datang dari DPR sulit jalan. Tapi kalau presiden tegas memimpin, reformasi politik bisa jadi warisan besar bagi bangsa.” Presiden Prabowo Subianto, yang memiliki basis dukungan politik yang kuat dan mandat dari rakyat, dapat menggunakan pengaruhnya untuk mendorong agenda reformasi ini menjadi prioritas nasional. Inisiatif dapat dimulai dari pemerintah dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif Presiden ke DPR mengenai revisi UU Partai Politik dan UU Pemilu. Hal ini akan memaksa DPR untuk menempatkan RUU tersebut dalam agenda pembahasan.
Selain itu, Presiden dapat memanfaatkan momentum politik yang ada, seperti putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), sebagai sebuah langkah awal menuju sistem yang lebih inklusif. Putusan tersebut membuka jalan bagi kompetisi yang lebih sehat dan mengurangi hegemoni partai-partai besar. Presiden dapat membingkai agenda reformasi rekrutmen ini sebagai kelanjutan logis dari semangat inklusivitas tersebut, yakni tidak hanya inklusif bagi partai kecil, tetapi juga inklusif bagi calon-calon berkualitas dari latar belakang non-oligarkis dan non-dinasti. Dukungan dari masyarakat sipil, akademisi, dan media juga harus digalang untuk menciptakan tekanan moral dan politik dari luar, sehingga membentuk opini publik yang kuat yang mendesak DPR untuk menyetujui revisi UU tersebut.
Penutup: Menuju Parlemen Negarawan
Seruan Reformasi Politik yang disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra bukanlah sekadar kritik biasa, melainkan sebuah diagnosis mendalam dan seruan untuk aksi kolektif dalam memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia inti. Masalah dominasi oligarki dan dinasti dalam rekrutmen anggota DPR telah menggerus integritas lembaga legislatif dan mempersempit ruang partisipasi publik. Melalui kerangka See-Judge-Act, terlihat jelas bahwa akar masalahnya bersifat sistemik, meliputi sistem rekrutmen, pembiayaan, dan regulasi yang lemah.
Solusi yang ditawarkan haruslah equally systemic dan terintegrasi. Tiga agenda utama, revisi UU Pemilu dan Partai Politik, reformasi pembiayaan partai oleh negara, dan penguatan kelembagaan partai merupakan pilar-pilar utama untuk mewujudkan parlemen yang diisi oleh negarawan yang berkapasitas, berintegritas, dan berorientasi pada kepentingan nasional. Peran kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto adalah kunci untuk memecahkan kebuntuan politik dan menginisiasi proses reformasi ini. Dengan komitmen yang kuat dari eksekutif, dukungan dari masyarakat sipil, dan kemauan dari elemen-elemen progresif di dalam parlemen sendiri, reformasi politik yang menyeluruh bukanlah sebuah hal yang mustahil. Pada akhirnya, upaya ini adalah investasi untuk membangun pondasi demokrasi Indonesia yang lebih kuat, legitimate, dan berkualitas untuk generasi yang akan datang.
Daftar Pustaka
1. Mahendra, Y.I. (2024, September 11). Wawancara Eksklusif dengan Akbar Faizal Uncensored. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=[contoh_link]
2. Indonesia Corruption Watch (ICW). (2023). Laporan Tahunan tentang Politik Uang dan Dinasti Politik di Indonesia. Jakarta: ICW.
3. Centre for Strategic and International Studies (CSIS). (2024). Analisis Komposisi dan Rekrutmen Anggota DPR RI Periode 2024-2029. Jakarta: CSIS.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
6. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor …/PUU-XXI/2023 mengenai Pengujian Undang-Undang Pemilu terkait Presidential Threshold.
7. Mietzner, M. (2013). Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia. Singapore: NUS Press.
8. Slater, D. (2014). Ordering Power: Contentious Politics and Authoritarian Leviathans in Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
9. Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
10. Tomsa, D., & Ufen, A. (Eds.). (2013). Party Politics in Southeast Asia: Clientelism and Electoral Competition in Indonesia, Thailand and the Philippines. London: Routledge. (Dr. Surya Wiranto, SH MH)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
