Opinion
Beranda » Berita » Zakat: Mengeluarkan yang Sebenarnya Bukan Milikmu

Zakat: Mengeluarkan yang Sebenarnya Bukan Milikmu

Ada satu kalimat sederhana tapi berat untuk direnungkan: zakat itu bukan memberi, tapi mengembalikan. Kitab Mukhtashar Quduri, karya Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad al-Qudūrī al-Baghdādī, mengingatkan kita bahwa harta yang kita genggam erat sering kali hanya titipan. Zakat hadir bukan sekadar kewajiban, tetapi sebagai cara agar kita jujur pada hati: bahwa yang kita anggap milik sendiri ternyata ada hak orang lain di dalamnya.

Di tengah hiruk pikuk Indonesia hari ini—dengan berita tentang kesenjangan sosial, antrean panjang bantuan sosial, hingga cerita getir petani yang kalah harga dengan tengkulak—zakat terasa bukan hanya ritual. Ia adalah nafas keadilan.

Saat harta dititipkan di genggaman kita

Imam al-Qudūrī menuliskan dalam Mukhtashar-nya:

“وَأَمَّا الزَّكَاةُ فَإِنَّهَا فَرِيضَةٌ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ حُرٍّ مَالِكٍ لِلنِّصَابِ”
“Adapun zakat, maka ia adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim yang merdeka dan memiliki harta yang mencapai nisab.”

Kalimat itu sederhana, tapi seperti tamparan. Betapa banyak dari kita yang merasa sudah “baik” karena memberi seribu-dua ribu di jalan, padahal zakat punya ukuran yang jelas, bukan sekadar rasa iba.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Di kampung saya, ada seorang tetangga yang wajahnya selalu cerah. Ia bukan orang kaya, hanya tukang kayu. Tapi setiap panen kayu, ia selalu menyisihkan sebagian untuk zakat. Suatu ketika saya bertanya, “Pak, apa tidak sayang dikeluarkan?” Ia tersenyum, “Saya takut kalau kayu itu nanti menjadi bara di akhirat. Lebih baik jadi pahala.”

Mengeluarkan yang bukan milikmu

Al-Qudūrī menulis lagi:

“وَلا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَمْنَعَ الْفُقَرَاءَ حَقَّهُمْ”
“Tidak halal bagi seseorang menahan hak fakir miskin yang ada dalam hartanya.”

Coba bayangkan. Uang yang kita simpan dengan susah payah ternyata ada bagian orang lain di dalamnya. Menahannya sama saja dengan menyembunyikan sesuatu yang bukan milik kita.

Saya jadi teringat percakapan sederhana antara seorang anak muda dan kakeknya di warung kopi:

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Pemuda: “Kek, kenapa kita harus bayar zakat? Itu kan uang kita.”
Kakek: “Nak, kalau uang itu benar-benar milikmu, kenapa Allah bisa mengambilnya kapan saja dengan sakit, musibah, atau rezeki yang tersumbat?”

Hening. Kadang jawaban orang tua seperti itu lebih tajam daripada seribu khutbah.

Saat tangan memberi, hati ikut lapang

Dalam bab zakat fitrah, Mukhtashar Quduri menyebutkan:

“وَفَرَضَ رَسُولُ اللهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى”
“Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sha‘ dari kurma atau satu sha‘ dari gandum atas setiap orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan.”

Indah sekali. Zakat fitrah bahkan tak membedakan status sosial. Kaya-miskin, merdeka-budak, semuanya dipanggil untuk ikut menyucikan diri. Bukankah ini pelajaran sosial luar biasa?

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Di Indonesia, momen zakat fitrah itu seperti pesta kecil yang khidmat. Anak-anak berbondong membawa beras dalam plastik, ibu-ibu menyiapkan dengan penuh cinta. Ada rasa damai yang tak bisa dibeli uang.

Rahasia kelapangan rezeki

Dalam Mukhtashar Quduri juga ditegaskan:

“وَالزَّكَاةُ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ”
“Zakat diambil dari orang-orang kaya mereka, lalu diberikan kembali kepada fakir miskin mereka.”

Bayangkan bila ini benar-benar berjalan jujur. Tidak ada lagi kisah bayi gizi buruk di negeri yang lumbung padinya melimpah. Tidak ada lagi nelayan menjual ikan murah sementara di restoran kota harga melambung.

Ilmuwan sosial Indonesia sering menyinggung soal ketimpangan. Riset dari Bappenas mencatat, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Maka zakat, bila ditunaikan sungguh-sungguh, bisa jadi jembatan yang nyata untuk mengurangi jurang itu.

Zakat itu bukan hanya membersihkan harta, tapi juga menyembuhkan hati.
Zakat bukan sekadar memberi, melainkan mengembalikan titipan Allah.
Menunaikan zakat berarti belajar jujur pada diri sendiri: kita hanyalah perantara, bukan pemilik sejati.

Zakat, pada akhirnya, adalah tentang kejujuran. Bukan sekadar angka dalam kalkulator, melainkan cermin hati: apakah kita ikhlas melihat orang lain ikut tersenyum dengan rezeki yang kita keluarkan?

Kita berdoa: Ya Allah, jadikan zakat kami bukan sekadar kewajiban, tetapi jalan menuju keikhlasan. Lapangkan hati kami agar tidak menahan yang bukan milik kami. Aamiin.

Lalu saya ingin bertanya pada Anda, sebagaimana saya bertanya pada diri saya sendiri: Apakah kita sudah benar-benar mengeluarkan yang bukan milik kita itu?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement