Dalam kitab Mukhtashar Quduri, karya Imam Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad al-Qudūrī al-Baghdādī, kita menemukan bahwa air dan debu bukan sekadar benda mati. Keduanya adalah guru kehidupan, dua sahabat yang selalu hadir, bahkan ketika manusia abai. Frasa kunci Mukhtashar Quduri penting untuk kita renungkan, karena dari kitab ringkas inilah ribuan pelajar fikih Hanafi belajar mengenal syariat dari hal paling dasar: bersuci.
Betapa mulianya air yang membersihkan. Dan betapa sabarnya debu yang tak pernah protes saat dijadikan pengganti wudhu. Imam Quduri menulis dalam bab thaharah:
الماءُ الطَّهورُ يُزيلُ الحَدَثَ ويُطهِّرُ الخَبَثَ
“Air suci itu menghilangkan hadats dan menyucikan najis.”
Di Indonesia, kita sering menyaksikan air diperebutkan, entah di musim kemarau atau di daerah konflik sumber daya. Namun dalam fiqh, air hadir sebagai hakikat kesucian.
Saat Lidah Kering, Debu Menjadi Guru
Tidak semua orang beruntung hidup di tempat air berlimpah. Imam Quduri dengan bijak membuka jalan:
فإن لم يجدِ الماءَ تيمَّمَ بالصعيدِ الطيِّبِ
“Jika tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang suci.”
Debu, yang sering kita anggap kotor, justru diangkat derajatnya oleh Allah. Ia mengajarkan kerendahan hati. Dalam realitas sosial kita, betapa banyak orang kecil—seperti debu—yang sering diabaikan, padahal tanpa mereka, hidup kita tak pernah lengkap.
Seorang kiai pernah bercanda kepada santrinya:
“Air itu ustadz besar, debu itu ustadz kampung. Tapi keduanya sama-sama bisa bikin kamu sah shalat.”
Santri tertawa, tapi wajahnya merah: ia baru sadar, kesombongannya kepada “yang kecil” bisa membatalkan ilmunya.
Air, Debu, dan Wajah Kita yang Sering Lalai
Mukhtashar Quduri tidak hanya membahas hukum teknis, tetapi juga menyentuh etika spiritual. Imam Quduri menulis:
ويجبُ غسلُ الوجهِ من منابتِ الشَّعرِ إلى الذَّقَنِ
“Wajib membasuh wajah dari tempat tumbuh rambut sampai dagu.”
Wajah adalah cermin jiwa. Membasuh wajah seakan membersihkan hati dari topeng kepura-puraan. Air menyingkap kebenaran, debu mengajarkan kesederhanaan.
Di negeri ini, wajah-wajah sering disiram iklan pemutih, bukan air wudhu. Orang lebih takut wajah kusam daripada hati berkarat. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
“Kebersihan adalah separuh dari iman.” (HR. Muslim)
Kebersihan dalam fiqh bukan hanya soal fisik. Imam Quduri juga menyinggung:
ولا يجزئُ التيممُ إلا بضربتَينِ: ضربةٍ للوجهِ وضربةٍ لليدينِ
“Tayammum tidak sah kecuali dengan dua tepukan: satu untuk wajah, satu untuk tangan.”
Dua tepukan sederhana, tapi filosofis: wajah sebagai identitas, tangan sebagai tindakan. Hidup yang suci harus terlihat di wajah dan nyata dalam tindakan.
Apakah wajah kita hanya bersih oleh air, atau juga oleh kejujuran?
Apakah tangan kita hanya bersih dari debu, atau juga dari korupsi?
Langkah Praktis
- Jadikan wudhu bukan hanya syarat shalat, tapi terapi jiwa setiap kali marah.
- Latih diri untuk tayammum meski ada air, agar kita paham bahwa kesederhanaan punya derajat suci.
- Ingatlah: yang kecil seperti debu bisa menggantikan yang besar seperti air. Maka jangan meremehkan orang kecil.
Air dan debu memang dua guru yang tak pernah protes. Mereka mengajarkan kita tentang kesucian, kesabaran, dan kerendahan hati. Mukhtashar Quduri menempatkan keduanya di awal kitab, seakan berpesan: sebelum kau sibuk beribadah, belajarlah dulu dari mereka.
اللَّهُمَّ طَهِّرْ قُلُوبَنَا كَمَا طَهَّرْتَ وُجُوهَنَا، وَجَعَلْنَا مِمَّنْ يَرَى فِي الْمَاءِ رَحْمَتَكَ، وَفِي التُّرَابِ حِكْمَتَكَ.
Ya Allah, sucikanlah hati kami sebagaimana Engkau sucikan wajah kami, dan jadikan kami orang yang melihat rahmat-Mu dalam air, serta hikmah-Mu dalam debu.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemprer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
