Celaan sering terasa pedih. Ia seperti jamu pahit yang menempel di lidah, membuat kita ingin memuntahkannya. Namun, kitab al-Tawbīkh karya Imam Ibn Hibbatillah al-Makkī mengajarkan bahwa celaan ibarat obat: pahit ketika ditelan, tetapi menyembuhkan luka yang tak terlihat. Dalam kehidupan sosial Indonesia, kita kerap mendengar kritik—dari orang tua, guru, tetangga, bahkan warganet di media sosial. Sebagian orang patah hati karenanya, sementara sebagian lain menemukan jalan pulang kepada Allah.
Imam Ibn Hibbatillah menulis:
“التَّوْبِيخُ لِلْعَاصِي دَوَاءٌ وَإِنْ كَانَ مُرًّا”
“Celaan bagi orang yang bermaksiat adalah obat, meskipun terasa pahit.”
Celaan adalah cermin. Ia menunjukkan noda di wajah, bukan untuk mempermalukan, tetapi agar kita bisa membersihkannya. Namun manusia sering salah paham: mengira celaan sebagai hinaan, bukan peringatan.
Luka Sosial yang Menyembuhkan
Di sebuah warung kopi, saya pernah mendengar percakapan dua sahabat.
A: “Aku sakit hati, difitnah tak jujur.”
B: “Mungkin bukan fitnah, tapi peringatan agar kau lebih hati-hati.”
Dialog itu sederhana, tetapi mengajarkan bahwa setiap kata pahit bisa menjadi pintu refleksi. Banyak anak muda Indonesia kini terseret arus hedonisme digital. Mereka lebih takut dicela warganet ketimbang dicela malaikat. Padahal Imam Ibn Hibbatillah mengingatkan:
“مَنْ لَمْ يَتَّعِظْ بِالتَّوْبِيخِ، اسْتَحَقَّ الْفَضِيحَةَ”
“Barang siapa tidak mengambil pelajaran dari celaan, maka ia pantas mendapatkan kehinaan.”
Al-Qur’an pun mengajarkan teguran yang menyentuh. Allah berfirman:
﴿وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ﴾
“Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzāriyāt: 55)
Celaan adalah bentuk kasih sayang. Ia mungkin datang dari seorang guru yang keras, dari seorang ibu yang cerewet, atau dari seorang sahabat yang berani jujur.
Renungan di Balik Suara Pedih
Imam Ibn Hibbatillah menulis lagi:
“لَا تَكْرَهِ التَّوْبِيخَ، فَفِيهِ حَيَاةُ قَلْبِكَ”
“Janganlah engkau membenci celaan, karena di dalamnya ada kehidupan bagi hatimu.”
Betapa sering kita menolak kritik, lalu membiarkan hati kita keras. Padahal, celaan yang tulus laksana air yang membasahi tanah kering, membuat benih kebaikan kembali tumbuh.
Celaan adalah jamu, pahit namun menyembuhkan.
Orang yang menolak celaan bagaikan pasien yang menolak obat.
Hati yang menerima teguran akan tumbuh lembut dan penuh cahaya.
Dalam budaya Jawa ada pepatah, “witing tresna jalaran saka kulina.” Tetapi ada juga “sabda pandita ratu tan kena wola-wali.” Masyarakat tradisional memahami bahwa kata bisa jadi penopang sekaligus teguran keras. Di sekolah-sekolah pesantren, santri terbiasa menerima teguran. Mungkin pahit, tapi teguran itu menanamkan disiplin dan adab.
Riset sosiologi menunjukkan bahwa komunitas yang sehat adalah komunitas yang berani memberi masukan satu sama lain. Dalam dunia modern, feedback dianggap vital bagi perkembangan pribadi maupun organisasi. Kitab al-Tawbīkh justru sudah menegaskan hal ini berabad-abad lalu.
Langkah Praktis
- Dengarkan setiap teguran dengan hati tenang, tanpa buru-buru membela diri.
- Bedakan antara celaan yang tulus dengan hinaan kosong. Ambil hikmahnya.
- Catat kritik yang sering muncul; di situlah letak kelemahan kita.
- Balaslah teguran dengan doa, bukan dengan marah.
Seseorang mungkin marah ketika pertama kali dicela. Tapi waktu akan membuktikan: teguran itu menyelamatkan. Imam Ibn Hibbatillah berkata:
“مَنْ قَبِلَ التَّوْبِيخَ، فَقَدْ قَبِلَ نُورَ اللَّهِ”
“Barang siapa menerima celaan, maka ia telah menerima cahaya Allah.”
Celaan adalah obat pahit di lidah, tetapi manis di dalam darah. Ia membersihkan penyakit hati, menumbuhkan kesadaran, dan mengantarkan kita pada cinta Ilahi.
Hidup bukan hanya tentang pujian manis, tapi juga tentang celaan pahit yang menyehatkan. Janganlah kita takut pada teguran, karena di baliknya ada rahmat yang tersembunyi.
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ، وَلَا تَجْعَلْ قُلُوبَنَا غَلِيظَةً عَنِ النُّصْحِ وَالتَّوْبِيخِ.
Maukah kita mulai menerima celaan dengan lapang dada, seperti kita menerima jamu pahit yang menyembuhkan?
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
