Opinion
Beranda » Berita » Zuhud: Melepaskan Baju Besi Dunia agar Nafas Menjadi Ringan

Zuhud: Melepaskan Baju Besi Dunia agar Nafas Menjadi Ringan

Ilustrasi zuhud dengan melepas baju besi dunia dan berjalan ringan menuju cahaya
Ilustrasi zuhud: seorang manusia melepas baju besi dunia agar langkahnya ringan menuju Allah.

Zuhud sering disalahpahami. Ada yang mengira ia berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, padahal hakikatnya bukanlah membuang rezeki atau lari dari kehidupan, melainkan melepaskan hati dari cengkeraman dunia. Zuhud adalah seni bernafas ringan di tengah hiruk pikuk pasar, tetap tersenyum meski dunia menggoda, dan tetap jernih walau harta datang silih berganti.

Di kota-kota besar Indonesia, kita melihat orang berlari tanpa henti. Gaji naik, cicilan pun naik. Rumah diperbesar, namun hatinya semakin sempit. Imam Ibn Hibbatillah al-Makkī dalam al-Tawbīkh menegur manusia yang menjadikan dunia sebagai baju besi: berat, membatasi gerak, dan membuat jiwa tak mampu menghirup udara kebebasan.

Nafas yang Sesak oleh Ikatan Dunia

Beliau menulis:

«مَنْ جَعَلَ الدُّنْيَا هَمَّهُ أَثْقَلَ قَلْبَهُ وَضَيَّقَ نَفْسَهُ»
Siapa yang menjadikan dunia sebagai obsesinya, hatinya menjadi berat dan nafasnya terasa sempit.

Betapa tepat nasihat ini. Banyak orang bekerja keras, namun merasa terus kehabisan tenaga. Dunia menjadi beban, bukan ladang kebaikan.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Al-Qur’an juga mengingatkan:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ (آل عمران: 185)
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Ayat ini bukan ajakan membenci dunia, melainkan peringatan agar tidak terjebak dalam tipu dayanya.

Seorang sahabat pernah bertanya pada seorang kiai kampung:

“Pak Yai, apakah saya harus tinggalkan pekerjaan agar bisa zuhud?”

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Kiai itu tersenyum, “Tidak. Yang harus kau tinggalkan adalah hatimu yang rakus pada pekerjaan itu.”

Dialog sederhana ini mencerminkan makna zuhud. Dunia boleh di tangan, asal tidak menenggelamkan hati.

Ibn Hibbatillah menulis:

«الزُّهْدُ لَيْسَ تَرْكُ المَالِ، وَلَكِنْ أَنْ يَكُونَ المَالُ فِي يَدِكَ لا فِي قَلْبِكَ»
Zuhud bukanlah meninggalkan harta, tetapi menjadikan harta ada di tanganmu, bukan di hatimu.

Di desa-desa Indonesia, kita bisa melihat wajah-wajah zuhud. Seorang petani dengan sawah kecil, yang tetap tersenyum meski hasil panennya pas-pasan. Ia tidak iri pada pemilik hektaran tanah, karena hatinya lapang. Bandingkan dengan para pejabat yang tersandung kasus korupsi, meski rumah megah dan mobil mewah, tetapi wajah mereka penuh cemas.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Psikologi modern pun menemukan bahwa kepuasan hidup tidak selalu linear dengan jumlah harta. Riset dari Journal of Positive Psychology (2018) menyebutkan, setelah kebutuhan dasar terpenuhi, kebahagiaan lebih banyak ditentukan oleh kualitas hubungan dan makna hidup, bukan kekayaan materi.

Zuhud adalah melepaskan baju besi dunia yang memberatkan, agar jiwa bisa bernafas dengan ringan dan bebas.

Langkah Praktis

Sisihkan waktu sepekan sekali untuk muhasabah: apakah harta masih di tangan, atau sudah masuk ke hati?

Latih diri memberi, meski sedikit. Bersedekah seribu rupiah pun bisa melatih jiwa agar tidak terikat.

Saat mendapat nikmat dunia, ucapkan dalam hati: “Ini titipan, bukan kepemilikan abadi.”

Jalan Ringan Menuju Allah

Ibn Hibbatillah juga menulis dengan lembut:

«إِذَا خَفَّ قَلْبُكَ مِنَ الدُّنْيَا، خَفَّتْ خُطَاكَ إِلَى اللهِ»
Jika hatimu ringan dari dunia, langkahmu menuju Allah menjadi ringan pula.

Kalimat ini mengajarkan bahwa zuhud adalah kendaraan jiwa. Tanpa beban dunia, seseorang lebih cepat sampai pada tujuan: kedekatan dengan Allah.

Hadis Nabi ﷺ menguatkan hal ini:

ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ
Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu. Zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia pun mencintaimu. (HR. Ibn Mājah)

Zuhud bukanlah meninggalkan dunia, melainkan membebaskan jiwa darinya. Ia adalah seni berjalan ringan, tanpa baju besi yang membuat sesak. Mari kita belajar melepaskan sedikit demi sedikit, agar nafas kita lapang dan hati kita merdeka.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ قُلُوبَنَا خَالِيَةً مِنَ التَّعَلُّقِ بِالدُّنْيَا، وَمَلِيئَةً بِذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ.

Apakah kita siap melepas satu lapis baju besi dunia hari ini, agar jiwa kita bisa berjalan lebih ringan menuju-Nya?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement