Dalam kehidupan yang penuh kelalaian, taubat hadir sebagai kunci yang sering kita abaikan. Ia bagaikan sapu halus yang menyeka kaca jendela hati agar cahaya bisa masuk kembali. Di jalanan kota, di pasar yang riuh, hingga di kampung yang sunyi, manusia tampak sibuk mengejar dunia, namun sering lupa menyapu hatinya dari debu dosa. Imam Ibn Hibbatillah al-Makkī dalam al-Tawbīkh berulang kali menegur orang-orang yang menunda taubat. Mereka seakan yakin hari esok pasti datang, padahal esok hanyalah bayangan.
Beliau menulis:
«التَّوْبَةُ مِسْحَةُ الْقَلْبِ، فَإِذَا لَمْ تُجْلِهِ الظُّلْمَةُ بَقِيَتْ عَلَيْهِ»
Taubat adalah lap pembersih hati. Jika seseorang tidak menggunakannya, kegelapan tetap melekat pada dirinya.
Seperti kaca jendela rumah yang jarang diseka, hati pun menjadi buram ketika debu maksiat menempel. Akibatnya, sinar kebaikan sulit menembus, doa terasa kering, dan ibadah berjalan sekadar rutinitas.
Panggilan dari Al-Qur’an
Al-Qur’an menegaskan:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (النور: 31)
“Bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang beriman, agar kamu beruntung.”
Ayat ini bukan hanya seruan keras, melainkan juga undangan lembut: pulanglah sebelum terlambat. Oleh karena itu, siapa pun yang mendengar ayat ini sebaiknya segera menata hatinya, bukan menunda lagi.
Menunda Taubat, Menggadaikan Esok
Dalam al-Tawbīkh, Ibn Hibbatillah memberi teguran tajam:
«مَنْ قَالَ سَأَتُوبُ غَدًا، فَقَدْ أَمَّلَ مَا لَا يَمْلِكُهُ»
“Siapa yang berkata: Aku akan bertaubat besok, berarti ia berharap pada sesuatu yang tidak ia miliki.”
Bukankah banyak orang berkata, “Nanti setelah tua,” atau “Tunggu hati ini siap”? Padahal, kematian sering datang seperti tamu tak diundang.
Saya pernah melihat hal itu di sebuah pemakaman kecil di kampung. Seorang pemuda berusia 24 tahun dimakamkan, padahal sehari sebelumnya ia sempat berkata ingin memperbaiki hidup. Kalimat itu menusuk hati saya. Dengan demikian, taubat bukan untuk nanti, melainkan untuk sekarang.
Dialog Sunyi di Dalam Hati
Sering kali hati kita berdialog dengan diri sendiri:
-
“Apakah Allah mau menerima aku yang kotor ini?”
-
“Bukankah Dia sendiri berfirman: Aku menerima taubat hamba-Ku sebelum nyawa sampai ke tenggorokan?”
-
“Lalu mengapa aku masih takut?”
-
“Karena engkau belum percaya, bahwa kasih sayang-Nya lebih besar dari dosamu.”
Dialog semacam ini hidup dalam hati manusia yang resah. Namun pada akhirnya, yang berani percaya pada rahmat Allah akan lebih mudah melangkah.
Air Mata sebagai Obat Jiwa
Ibn Hibbatillah juga menulis:
«الدُّمُوعُ مَاءُ التَّوْبَةِ، مَنْ لَمْ يَبْكِ لَمْ يُطَهِّرْ قَلْبَهُ»
“Air mata adalah air taubat. Siapa yang tidak menangis, berarti ia belum membersihkan hatinya.”
Di balik tangisan seorang ibu yang menyesali kelalaiannya, atau air mata seorang pemuda yang kembali dari jalan salah, ada energi suci yang membersihkan. Selain itu, psikologi modern mengakui hal serupa. Menurut penelitian, tangisan yang disertai kesadaran dapat meredakan stres, menurunkan hormon kortisol, serta menghadirkan efek penyembuhan emosional.
Taubat, oleh karena itu, bukan sekadar menoleh ke belakang dengan malu, melainkan melangkah ke depan dengan hati yang diperbarui.
Langkah Praktis
-
Pertama, sisihkan waktu lima menit sebelum tidur untuk mengingat kesalahan harian, lalu istighfar dengan sepenuh hati.
-
Kedua, tulis satu dosa yang paling sering muncul, lalu niatkan sungguh-sungguh untuk meninggalkannya.
-
Ketiga, sertakan doa singkat: Allāhumma innī tubtu ilayka, faghfir lī (Ya Allah, aku bertaubat kepada-Mu, maka ampunilah aku).
Perjalanan taubat memang tidak selalu mulus. Kadang kita jatuh lagi, kadang pula kita tergoda kembali. Namun sebagaimana jendela yang terus berdebu, ia tetap perlu dibersihkan berulang kali. Syukurlah, Allah tidak pernah bosan menerima, selama kita tidak bosan kembali.
Imam Ibn Hibbatillah menutup satu nasihatnya dengan penuh harapan:
«إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَنْ يَعُودُ إِلَيْهِ، وَلَوْ عَادَ كُلَّ يَوْمٍ مَرَّاتٍ»
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang kembali kepada-Nya, meski ia kembali setiap hari berkali-kali.”
Penutup
Hati ibarat jendela yang menanti cahaya. Jika kita biarkan, ia akan tetap buram. Namun bila kita menyapunya dengan taubat, cahaya Allah segera menerangi. Mari bersama-sama menyapu debu dosa dengan sapuan taubat. Semoga Allah menuntun kita kembali sebelum terlambat dan menjadikan air mata kita saksi cinta, bukan sekadar penyesalan.
اللهم تب علينا توبة نصوحا، واغسل قلوبنا من أدران الذنوب، واجعلنا من التائبين الصادقين.
Apakah kaca jendela hatimu masih tertutup debu, atau justru sudah mulai kau bersihkan dengan sapuan taubat?
* Reza Andik Setiawan
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
