Di tengah derasnya arus dunia modern, dzikir menjadi kata kunci yang sering terucap tapi jarang benar-benar dirasakan. Ia bukan sekadar lafaz yang diputar di bibir, melainkan tali yang menjaga hati agar tidak hanyut di laut gelap dunia: lautan iklan, ambisi, dan kegelisahan. Kitab al-Tawbīkh karya Imam Ibn Hibbatillah al-Makkī mengingatkan, siapa yang melupakan dzikir, sama saja dengan melepaskan ikatan perahunya sendiri.
Hati yang Bergetar, Bukan Bibir yang Sibuk
Imam Ibn Hibbatillah menulis:
«الذِّكْرُ حَبْلُ الْقَلْبِ إِلَى اللهِ، فَمَنْ قَطَعَهُ غَرِقَ فِي بَحْرِ الْغَفْلَةِ»
Dzikir adalah tali hati kepada Allah. Siapa yang memutuskannya, ia akan tenggelam dalam lautan kelalaian.
Betapa sering kita melihat orang rajin melafalkan dzikir selepas shalat, namun wajahnya masih keras, lisannya masih getir. Dzikir yang sejati tidak berhenti di bibir; ia menetes ke hati, menggetarkan urat, melembutkan jiwa.
Al-Qur’an menegaskan:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (الرعد: 28)
Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.
Di sini dzikir bukan lagi ritual, melainkan ruang perjumpaan.
Ketika Dunia Menyergap dengan Hiruk Pikuk
Di pasar tradisional sebuah kota kecil, seorang pedagang tua berkata kepadaku, “Nak, kalau saya tidak istighfar di sela jualan, pikiran ini penuh dengan cara menipu timbangan.” Ucapannya sederhana, tapi menusuk. Dzikir bagi lelaki itu bukan teori, melainkan tameng dari dosa harian.
Dalam al-Tawbīkh disebutkan:
«مَنْ أَكْثَرَ مِنَ الذِّكْرِ فُتِحَ لَهُ بَابُ الْمَعْرِفَةِ، وَمَنْ غَفَلَ انْغَلَقَ عَنْهُ بَابُ الْحِكْمَةِ»
Barang siapa memperbanyak dzikir, terbukalah baginya pintu makrifat. Barang siapa lalai, tertutuplah darinya pintu hikmah.
Seakan-akan dzikir adalah kunci tak kasat mata yang membuka pintu kebijaksanaan.
“Kenapa kau selalu tampak tenang, meski masalahmu bertumpuk?”
“Aku ikat hatiku pada satu nama: Allah.”
“Apakah masalah langsung hilang?”
“Tidak. Tapi hatiku tidak ikut tenggelam bersamanya.”
Percakapan ini saya dengar dari dua sahabat di warung kopi. Bukankah inilah hakikat dzikir—bukan menghapus badai, tapi menjaga perahu tetap utuh?
Dzikir sebagai Ilmu Jiwa yang Terlupakan
Riset neurosains modern mengungkap, repetisi kalimat bermakna spiritual mampu menurunkan tingkat stres, memperlambat detak jantung, dan menguatkan fokus. Dalam bahasa psikologi, dzikir adalah terapi. Dalam bahasa sufi, dzikir adalah pintu rumah Tuhan.
Imam Ibn Hibbatillah menulis lagi:
«إِذَا أَظْلَمَ الْقَلْبُ فَأَكْثِرُوا مِنْ ذِكْرِ اللهِ، فَإِنَّهُ نُورُهُ»
Jika hati menjadi gelap, perbanyaklah dzikir kepada Allah, karena ia adalah cahayanya.
Dzikir bukan hanya wirid di sajadah. Ia adalah lampu jalan ketika kau menyetir dalam gelap, suara ibu yang menenangkan anak, dan napas yang kau sadari saat dunia terasa sempit.
Langkah Praktis
- Sisihkan 5 menit sehari untuk dzikir dengan kesadaran penuh, bukan sekadar hitungan tasbih.
- Tanamkan dzikir di momen duniawi: saat menanak nasi, menunggu lampu merah, atau berjalan ke pasar.
- Gunakan dzikir pendek namun dalam: Allāhu Akbar, Astaghfirullāh, Hasbunallāhu wa ni‘mal-wakīl.
Perahu hidup kita kecil, laut dunia terlalu luas. Tanpa tali dzikir, kita hanyut ke entah mana. Mari kita jaga ikatan itu. Semoga Allah mengikatkan hati kita pada-Nya, sebagaimana perahu nelayan yang selalu kembali ke dermaga.
اللهم اجعل قلوبنا عامرة بذكرك، ولا تجعلنا من الغافلين.
Apakah perahu hidupmu masih terikat pada tali dzikir, atau sudah hanyut perlahan tanpa kau sadari
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
