Opinion
Beranda » Berita » Tawakal: Berbaring di Pangkuan Angin, Percaya pada yang Tak Terlihat

Tawakal: Berbaring di Pangkuan Angin, Percaya pada yang Tak Terlihat

lelaki berbaring di padang rumput dengan angin berhembus lembut
Ilustrasi simbolik tawakal, manusia yang pasrah namun tenang, menyatu dengan alam dan angin.

Tawakal adalah seni berbaring di pangkuan angin—percaya pada sesuatu yang tak terlihat mata, namun terasa nyata di dalam dada. Dalam al-Tawbīkh, Imam Ibn Hibbatillah al-Makkī menegur manusia yang lebih percaya pada makhluk daripada pada Allah. Seolah-olah daun ingin berpaut pada sesama daun, padahal hanya batanglah yang mampu menahannya dari jatuh.

Di Indonesia, banyak orang bekerja keras siang malam, mencari rezeki dengan segala cara, bahkan kadang kehilangan doa di tengah usaha. Padahal, Al-Qur’an sudah menjanjikan:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS. At-Ṭalāq: 3).

Ketika Hati Gelisah Mencari Sandaran

Ada seorang sahabat yang pernah berbisik lirih,

“Aku sudah bekerja keras, tapi rezeki tetap seret.”
Aku menjawab, “Mungkin kerja kerasmu seperti perahu tanpa layar: ia bergerak, tapi angin tak pernah kau percayai.”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Imam Ibn Hibbatillah menulis dalam al-Tawbīkh:

«مَنِ اعْتَمَدَ عَلَى قُوَّتِهِ ضَعُفَ، وَمَنِ اعْتَمَدَ عَلَى رَبِّهِ قَوِيَ»
“Barangsiapa bergantung pada kekuatannya sendiri, ia akan lemah; barangsiapa bergantung pada Rabb-nya, ia akan kuat.”

Betapa sering kita menyandarkan hidup pada otot, jabatan, atau koneksi, lalu patah ketika semua itu runtuh. Padahal, yang Maha Memelihara tak pernah runtuh.

Angin yang Menggerakkan Layar

Tawakal bukan pasrah tanpa usaha, melainkan layar yang dibentangkan. Angin tak bisa didorong oleh manusia, tapi layar bisa dipasang. Ibn Hibbatillah kembali mengingatkan:

«التَّوَكُّلُ لَا يُنَافِي الْعَمَلَ، بَلْ هُوَ قُوَّةٌ لَهُ»
“Tawakal tidak menafikan usaha, bahkan ia adalah kekuatan baginya.” (al-Tawbīkh).

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Di sebuah desa kecil di Jawa, petani menanam padi dengan penuh harap. Ia tahu hujan bukan di tangannya, tapi bajak sawah tetap ia dorong. Seperti itu pula kehidupan: bekerja adalah kewajiban, hasilnya adalah rahmat.

Ketika Dunia Memberi Janji Palsu

Manusia kerap berlari mengejar janji dunia, padahal ia seperti fatamorgana. Ibn Hibbatillah menuliskan dengan tegas:

«مَنْ تَعَلَّقَ بِالْخَلْقِ أُسْلِمَ إِلَيْهِمْ، وَمَنْ تَعَلَّقَ بِاللَّهِ كَفَاهُ»
“Barangsiapa bergantung pada makhluk, ia akan diserahkan kepada mereka; barangsiapa bergantung kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya.”

Betapa nyata gambaran ini dalam kehidupan kita: mahasiswa berharap penuh pada koneksi dosen untuk pekerjaan, pedagang terlalu takut kehilangan pelanggan hingga lupa pada doa, atau rakyat yang menaruh harapan total pada janji politisi. Seakan-akan lupa, yang mencukupi adalah Allah.

Tawakal adalah meletakkan kepala di bantal takdir sambil tetap mengayuh perahu usaha.
Rasa tenang hadir ketika hati berhenti mengejar kendali penuh.
Doa adalah nafas tawakal; usaha adalah gerak tubuhnya.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Langkah Praktis

  1. Mulai dengan doa setiap aktivitas. Biarkan doa menjadi layar pertama sebelum angin berhembus.
  2. Kerjakan kewajiban dengan tekun. Usaha tanpa tawakal lelah, tawakal tanpa usaha kosong.
  3. Latih hati menerima hasil. Apa pun yang datang, itu adalah jawaban Allah, bukan kegagalan.
  4. Perkuat dzikir. Mengingat Allah mengikat hati agar tak liar mengejar dunia

Tawakal mengajarkan manusia untuk percaya pada sesuatu yang tak kasat mata, seperti benih yang yakin tanah akan melahirkan kehidupan. Hidup bukan sekadar perhitungan angka, tapi juga keajaiban yang datang dari Yang Maha Mengatur.

Ibn Hibbatillah menutup pelajaran ini dengan kalimat penuh makna:

«لَوْ عَلِمْتَ أَنَّ رِزْقَكَ لَا يُنْقِصُهُ تَأْخِيرٌ، وَلَا يَزِيدُهُ تَعْجِيلٌ، لَسَكَنَ قَلْبُكَ»
“Seandainya engkau tahu bahwa rezekimu tidak akan berkurang karena tertunda, dan tidak akan bertambah karena tergesa, niscaya hatimu akan tenang.”

Ya Allah, ajari kami untuk berbaring di pangkuan angin-Mu. Ajari kami percaya pada yang tak terlihat, dan jadikan tawakal kami bukan sekadar kata, melainkan napas dalam setiap langkah.

Apakah kita siap meninggalkan cawan retak kebergantungan pada manusia, dan mulai meminum dari mata air tawakal yang jernih?

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement